Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia merilis laporan kasus yang memperlihatkan kerugian negara akibat penebangan hutan alam seluas 38.357 hektar sekitar Rp 687 triliun. Jauh lebih besar dari perhitungan KPK yang hanya Rp519 miliar.
“Bedah kasus ini bagian dari partisipasi publik mengawasi peradilan di Indonesia, tujuan bedah kasus ini memberi masukan pada Kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung,” kata Dio, Koordinator MAPPI FH UI. “Bedah kasus ini tidak hanya analisis semalam. MAPPI bersama tiga majelis bedah kasus membedah selama empat bulan.”
Laporan ini bertajuk Putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru atas nama Burhanuddin Husin atas Korupsi Penilaian dan Pengesahan Rencana Kerja Tahunan IUPHHK HT 12 Perusahaan Tanaman Industri tahun 2005-2006 di Riau.
“Bedah kasus ini bagian dari partisipasi publik mengawasi peradilan di Indonesia. Tujuan memberi masukan pada Kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung. Ini tidak hanya analisis semalam. MAPPI bersama tiga majelis bedah kasus membedah selama empat bulan,” kata Dio, Koordinator MAPPI FH UI.
Dalam laporan ini terekam, seluas 38.357 hektare hutan alam ditebang oleh 12 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang mendapat izin rencana kerja tahunan (RKT) di Kabupaten Pelalawan dan Siak. Ia diterbitkan terpidana Burhanuddin Husin, semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Riau periode 2005-2006.
Total kerugian negara akibat penebangan hutan alam ini sekitar Rp687 triliun. “Sebaiknya, kerugian negara tidak dihitung dari PSDH-DR, sebab RKT yang diterbitkan Burhanuddin Husin bertentangan hukum,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Jika RKT ilegal, berarti bertentangan dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan. “Areal ilegal itu, bisa dihitung kerugian ekologis-ekonomisnya.” Dasar penghitungan dilakukan Prof Bambang Hero Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). Pendekatan ekologis-ekonomis, kata Muslim, untuk memberi rasa keadilan pada hutan alam dan lingkungan yang dirusak perusahaan.
Pada 24 Oktober 2012, meski terjadi dissenting opinion, majelis hakim PN Tipikor Pekanbaru memvonis Burhanuddin Husin dua tahun enam bulan penjara karena terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi kehutanan. Perkara Tipikor Burhanuddin Husin ditangani tiga majelis Hakim, Isnurul Syamsul Arif, dan Krosbin Lumban Gaol (hakim karir) dan Rakhman Silaen (hakim ad hoc).
Dalam putusan setebal 669 No 21/Pid.Sus/ 2012/PN-PBR, vonis majelis hakim berbeda jauh dengan tuntutan Jaksa yang menuntut enam tahun penjara. “Vonis Burhanuddin Husin lebih ringan dari terpidana dalam kasus kehutanan sebelumnya, terpidana Asral Rahman lima tahun dan Syuhada Tasman empattahun, yang sama-sama terlibat kasus korupsi kehutanan saat menjabat Kadishut Riau,” kata Suryadi, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, salah satu majelis bedah kasus. “Ada apa di balik putusan ini?”
Selain itu, kata Suryadi, dari April hingga Agustus 2013, MAPPI FH juga bedah kasus bersama majelis bedah kasus terdiri atas Dr Saifuddin Syukur, dosen hukum tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Laporan setebal 62 halaman itu memuat sejumlah analisis hukum mulai dari titik lemah dakwaan Jaksa yang menggunakan dakwaan subsidiaritas hingga pertimbangan majelis hakim. Titik berat temuan ada pada pertimbangan majelis hakim.
Dalam putusan itu, Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melanggar Pasal 3 dengan hukuman rendah. Suryadi membandingkan Pasal 2 dan Pasal 3. Pidana penjara Pasal 2 paling singkat empat tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp200 juta, paling banyak Rp1 miliar.
Dalam Pasal 3 pidana penjara paling singkat satu tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp50 juta, paling banyak Rp1 miliar. “Mengapa majelis hakim tidak memilih Pasal 2 yang pidana penjara paling singkat empat tahun? Padahal dalam unsur-unsur Pasal 2 dan 3, tidak ada perbedaan yang substantif,” kata Suryadi.
Lantas, fakta hukum menunjukkan telah terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sama. Putusan majelis hakim pada terpidana Asral Rahman, eks Kepala Dinas Kehutanan Riau periode 2003-2004, dan Syuhada Tasman mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau 2004-2005, menyatakan perbuatan terdakwa memenuhi semua unsur Pasal 2. “Putusan majelis hakim terhadap Burhanuddin Husin menunjukkan Hakim tidak punya komitmen dan keberanian melawan korupsi kehutanan yang merugikan keuangan negara.”
Temuan lainnya, beschiking berupa Kepmenhut saling berbenturan. Satu sisi melarang hutan tanaman di atas hutan alam, sisi lain membenarkan. Beschiking saling berbenturan yaitu Kepmenhut No 10.1/Menhut-II/2000 berbenturan dengan Kepmenhut No.101/Menhut-II/2004.
Kedua “keputusan” itu diatas disebut “peraturan”, karena sifat berlaku umum. Sebuah keputusan (beschikking) seharusnya berupa penetapan bersifat individual, konkrit, dan final, yang tidak terpenuhi oleh dua Kepmenhut. Lalu, substansi pengaturan kedua “keputusan” yang masing-masing dibuat pada masa Nur Mahmudi Ismail dan M. Prakosa sebagai Menteri Kehutanan itu, cacat hukum. “Jadi batal demi hukum, minimal ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hutan alam karena substansi yang diatur menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” kata Saifuddin Syukur.
Majelis bedah kasus memberi apresiasi pada majelis hakim karena dalam pertimbangan berkesimpulan kualfikasi “turut serta melakukan dalam pasal 55 ayat ke-1 telah terpenuhi. Menurut majelis hakim dalam mewujudkan niat melakukan tindak pidana terkait pengesahan URKT perusahaan-perusahaan wilayah kerja di Kabupaten Pelalawan dan Siak, tidak berdiri sendiri. Namun, dilakukan bersama-sama dengan saksi Tengku Azmun Jaafar, saksi Edi Suriandi (Pelalawan), saksi H Arwin As, saksi Amin Budyadi serta 12 perusahaan-perusahaan yang mengajukan URKT.
“Rekomendasi kami, KPK segera menetapkan saksi Edi Suriandi, saksi Amin Budyadi dan 12 korporasi sebagai tersangka,” kata Suryadi. “Mahkamah Agung ataupun Komisi Yudisial segera memeriksa hakim majelis hakim dalam perkara ini.”