,

Pemilik Ratusan Paruh Enggang Gading Hanya Divonis 8 Bulan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak menjatuhkan vonis delapan bulan penjara dan denda Rp10 juta kepada Lim Sim Mong alias Among, terdakwa kasus paruh enggang gading. Dalam masa persidangan keenam Selasa (27/8/13) sore, Majelis Hakim yang diketuai Edi Hamsil menjatuhkan vonis lebih berat tiga bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Abdul Samad.

Among divonis bersalah atas kepemilikan 229 paruh enggang gading (Rhinoplax vigil), 27,3 kg sisik trenggiling (Manis javanica), satu taring beruang madu (Helarctos malayanus), dan 44 kuku beruang madu (Helarctos malayanus). Barang ilegal itu disita aparat gabungan dari Sporc Brigade Bekantan dan Polda Kalbar di kediaman Among di Dusun Laja Permai, Desa Paal, Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalbar pada Kamis (25/4/13).

Meski vonis majelis hakim lebih berat dari tuntutan jaksa hanya lima bulan, sejumlah pihak menilai masih jauh dari ideal. “Pelaku perdagangan hewan langka itu seyogyanya dikenakan sanksi berat. Sanksi ringan jelas tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Padahal, kerugian negara sangat besar,” kata Niken Wuri Handayani, Koodinator Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Kalbar.

Kekhawatiran Niken ini sangat beralasan. Pasalnya, dalam catatan Indonesian Hornbill Conservation Society dan Yayasan Titian, kurun 2012-2013, aparat di Kalbar telah menyita total paruh enggang gading mencapai 716. Besarnya sitaan ini menunjukkan populasi satwa dilindungi itu kian terancam.

Lebih mencengangkan, hasil investigasi lembaga ini menemukan setiap bulan ada sekitar 100-2.000 enggang gading yang diburu. Aktivitas ini terjadi di Kabupaten Melawi, Sintang, dan Ketapang. Bahkan, di blok hutan Ketapang, keberadaan enggang gading sudah sulit dijumpai dalam tiga tahun terakhir.

“Dalam satu desa, kita bisa menemukan dua sampai lima kelompok pemburu. Mereka berburu dalam kelompok kecil. Rata-rata satu kelompok terdiri dari empat orang. Sasaran lokasi perburuan di hutan-hutan yang masih terdapat pohon beringin,” kata Yokyok Hadiprakarsa, Direktur Indonesian Hornbill Conservation Society.

Menurut pria yang akrab disapa Yoki ini perburuan enggang gading oleh warga dengan iming-iming dari pembeli dengan besaran berkisar antara Rp500 ribu-Rp9 juta.  Kisaran harga Rp50 ribu-Rp80 ribu per gram, tergantung kualitas paruh. Kepala enggang gading memiliki berat sekitar 95-120 gram.

Produk-produk perdangangan ilegal ini dijual ke Kemangai dan Serawai atau langsung dibawa ke Pontianak dan Malaysia, lalu dijual ke Singapura. Di pasar dunia, harga paruh enggang gading jauh lebih tinggi.

Paruh Enggang Disita
Klik gambar untuk memperbesar

Sementara, para pemburu di lapangan, warga asli Kalbar, selalu menduduki neraca paling bawah dengan nominal keuntungan paling kecil. “Masalah perekenomian masyarakat daerah pun sama sekali tidak membaik dengan memburu enggang gading ini.”

Rudi Zapariza, Project Leader Sintang-Melawi, WWF-Indonesia Program Kalbar, menambahkan, perbandingan keuntungan ini makin jauh tidak sesuai dengan dampak penyusutan populasi satwa ini. “Membunuh seekor enggang gading itu sama dengan membunuh dua burung enggang sekaligus karena satwa ini tidak mampu bertahan hidup tanpa pasangan. Kematian 229 enggang gading sama dengan memusnahkan 458 enggang gading di habitatnya,” ucap Rudi.

Penyusutan populasi enggang gading, katanya,  ternyata bisa berakibat langsung pada kondisi dan kelestarian hutan. Sebagai hewan penyebar benih di hutan, jika populasi makin berkurang, pertumbuhan benih pohon-pohon hutan juga lambat.

Akibatnya, hutan yang merupakan habitat banyak satwa, sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar, dan penyumbang oksigen terbesar bagi manusia, akan terancam. “Kebanyakan orang tidak sadar fungsi enggang ini di alam. Apalagi waktu reproduksi terbilang lama. Jika terus diburu, bukan tak mungkin enggang hanya tinggal nama bagi anak cucu kita.”

Perburuan enggang gading ini juga berdampak langsung pada budaya, adat, dan identitas masyarakat Kalbar. Apalagi, enggang gading adalah maskot Kalbar. Pemilihan maskot ini bukan tanpa pertimbangan budaya dan mitos. Bagi sebagian besar masyarakat Dayak, enggang gading memiliki nilai spiritual.

Dalam laporan Ekspedisi Uud Danum yang didukung WWF-Indonesia Program Kalbar, Pemerintah Kalbar, dan Paguyuban Dayak Uud Danum, Juli 2013 disebutkan, enggang gading dalam budaya masyarakat Dayak Kayaan, dianggap sebagai penyelamat kehidupan mereka saat zaman perpindahan dari Tanah Apo.

Bagi suku Kayaan, enggang gading adalah penuntun jalan mereka hingga akhirnya kini bermukim di hulu Sungai Mendalam. Hal sama terdapat dalam masyarakat Dayak Uud Danum. Masyarakat yang bermukim di hulu Sungai Ambalau, Sintang, menganggap enggang gading sebagai perwujudan roh-roh baik dari dunia Kolimoi, istilah dunia nirwana dalam literatur masyarakat Uud Danum.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,