, , ,

Kala Duet Tim Laman-Ed Scholes 8 Tahun Merekam 39 Spesies Cendrawasih

Menari. Berputar-putar. Ke kiri, ke kanan. Sayap dengan bulu berwarna hitam pekat itu mengembang menyerupai lingkaran. Begitu aksi seekor jantan cendrawasih jenis Parotia sefilata mencari perhatian sang betina. Dari atas dahan, beberapa betina tampak memperhatikan dengan seksama. Kepala mereka bergerak ke kiri dan ke kanan seakan mengikuti gerakan si jantan. Tak beberapa lama, satu per satu si betina terbang. Ternyata, hari itu si jantan harus kecewa karena tak menjadi pilihan para betina.

Pada bagian lain terlihat sepasang cendrawasih di atas dahan. Si jantan berusaha menarik perhatian dengan menari dan mengembangkan bulu-bulu indahnya. Sang betina tertarik, mereka pun terbang bersama memulai musim kawin.

Ada juga aksi lucu dan unik dari jantan cendrawasih botak (Cicinnurus respublica) yang ditemukan di Raja Ampat, Papua Barat. Guna menambat ‘hati’ sang betina, burung dengan kepala biru terang ini selalu bersih-bersih lokasi sekitar ia berada. Patuknya tak henti-henti semacam memindahkan sesuatu.

Berbagai aksi ini merupakan perilaku perkawinan cendrawasih yang menjadi pemandangan unik yang berhasil diabadikan duet, Tim Laman dan Ed Scholes dalam proyek Bird of Paradise. Dalam ekspedisi itu, Laman, bersama Scholes, berhasil merekam 39 spesies cendrawasih di Australia, Papua New Gunea dan Papua serta Maluku—seluruh spesies di dunia—yang memakan waktu selama delapan tahun!

Laman adalah ahli biologi lapangan dan fotografer alam. Dia mendapatkan gelar PhD dari Harvard University,  setelah meneliti hutan di Kalimantan, pada 1987.  Kini dia kontributor foto di Majalah National Geographic dan Research Associate in Ornithology di Harvard Museum of Comparative Zoology. Sedang Scholes, dari Cornell University, yang telah menggunakan video digital untuk mempelajari tingkah laku dan evolusi burung-burung cendrawasih.

“Kami memulai proyek ini 2004. Selama delapan tahun kami berhasil merekam 39 spesies cendrawasih. Hanya empat di Australia. Lainnya di PNG dan Indonesia,” kata Tim Laman, kala presentasi di @America pada 22 Agustus 2013.

Cendrawasih merah (Paradisaea rubra), yang ditemukan di Papua. Foto: Tim Laman
Cendrawasih merah (Paradisaea rubra), yang ditemukan di Papua. Foto: Tim Laman

Hingga sukses mereka semua spesies cendrawasih di dunia itu bukan pekerjaan mudah. Mereka memerlukan 544 hari di lapangan. Tinggal di hutan-hutan belantara bahkan di pengunungan yang begitu terpencil. Mereka melakukan 18 kali ekspedisi, 200 penerbangan, 58 perjalanan dengan kendaraan air, 33 kali helikopter untuk mengunjungi 51 field sites.

Saat mengabadikan aksi-aksi aneh dan unik burung-burung ini, mereka harus berjuang menempatkan posisi kamera dengan tepat. Kadang harus memanjat pohon tinggi dan men-setting kamera di mana burung kemungkinan hinggap.

Bahkan, mereka membuat blind atau ‘tempat menyamar’ di tanah maupun di atas pohon agar mudah mengamati cendrawasih-cendrawasih ini. Saat di Pulau Aru, misal, Laman harus membuat blind di atas pohon cukup tinggi. Warga lokal yang membantu membuatkan ‘rumah’ yang ditutupi dedaunan hijau ini. Warga membuat blind hanya menggunakan 12 batang kayu kecil.

“Saya tanya, apa cukup pakai kayu ini saja. Saya harus bawa berbagai peralatan. Kata warga itu jika kayu lebih dari 12 burung tak akan datang. Saya berpikir, apakah burung bisa berhitung…” Dia tertawa.

Kala sudah berada di lokasi yang diperkirakan menjadi tempat cendrawasih ini pun belum tentu bertemu. Tak jarang mereka harus datang lagi pada musim kawin tahun depan. Seperti kejadian pada 2005. Mereka sudah membuat blind dan beberapa hari menanti si jantan. Jantan datang, dan mengeluarkan suara panggilan kepada betina. Sayangnya, san betina tak kunjung tiba. Merekapun harus datang lagi tahun depan.

Berbagai kesulitan menempatkan posisi kamera itupun hilang, kala mereka berhasil merekam momen-momen unik pasangan-pasangan cendrawasih ini.  Kerja berat mereka berdua terbayar karena sukses mengabadikan 39 spesies cendrawasih dengan hasil 3.000 an foto.

Ptiloris victoriae, spesies cendrawasih yang ditemukan di Queensland, Australia. Foto: Tim Lamam
Ptiloris victoriae, spesies cendrawasih yang ditemukan di Queensland, Australia. Foto: Tim Lamam

Jaga Habitat

Dengan kondisi hutan Papua, yang masih relatif terjaga, kata Laman, populasi cendrawasih masih bisa dikatakan aman. Meskipun ada perburuan, tetapi hanya beberapa spesies yang mudah dijumpai. Banyak dari jenis burung ini tinggal di tempat-tempat yang sangat sulit dijangkau manusia. “Banyak hanya ada di kawasan-kawasan kecil, jauh di pedalaman, tidak ada jalan darat. Kami ke sana harus pakai helikopter,” ujar dia.

Namun, semua itu tergantung bagaimana hutan, sebagai habitat cendrawasih ini dijaga. Untuk itu, dia berharap, Indonesia, bisa menjaga hutan Papua, sebagai habitat terbesar cendrawasih.

Ada beberapa jenis cendrawasih dilindungi di Indonesia, seperti cendrawasih raja (Cicinnurus regius), cendrawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus), cendrawasih botak (Cicinnurus respublica), cendrawasih besar (Paradisaea apoda), cendrawasih kecil (Paradisaea minor), cendrawasih panji (Pteridophora alberti) dan cendrawasih merah.

Cendrawasih botak (Cicinnurus respublica), yang ditemukan di Raja Ampat. Foto: Tim Laman
Cendrawasih botak (Cicinnurus respublica), yang ditemukan di Raja Ampat. Foto: Tim Laman
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,