Hasil analisis Greenpeace Internasional menunjukkan minyak sawit merupakan penyebab terbesar atau sekitar seperempat dari total deforestasi di Indonesia pada 2009—2011. Lebih parah, deforestasi signifikan malah terjadi di konsesi-konsesi perusahaan anggota Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO), termasuk Wilmar International. Data Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1,24 juta hektar hutan periode 2009—2011, setara 620.000 hektar tiap tahun.
Dari laporan berjudul Certifying Destruction yang dirilis Selasa (3/9/13) itu juga mengungkapkan temuan konsesi RSPO bertanggung jawab atas 39 persen dari total titik api pada konsesi minyak sawit di Riau selama periode Januari-Juni 2013.
Bustar Maitar, Kepala Juru Kampanye Hutan Indonesia, Greenpeace Internasional dalam rilis mengatakan, RSPO menginginkan anggota menjadi pemimpin dalam industri berkelanjutan, tetapi standar mereka justru membiarkan penghancuran hutan dan mengeringkan lahan gambut.
Para anggota RSPO bisa jadi memiliki kebijakan tanpa bakar, tetapi lahan gambut yang sudah dikeringkan sangat mudah tersulut. “Hanya butuh satu percikan,” katanya.
Sejak Juni, Greenpeace menghubungi lebih dari 250 perusahaan yang menjadi pembeli minyak sawit guna menanyakan bagaimana mereka memastikan rantai pasokan tak terkait kerusakan hutan. Namun, jawaban mereka menunjukkan hampir seluruh perusahaan hanya bergantung pada RSPO dalam memenuhi komitmen ‘keberlanjutan.’ “Temuan Greenpeace justru RSPO tidaklah sesuai dalam memenuhi tujuan ini.”
Areeba Hamid, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Internasional mengatakan, merek-merek kebutuhan rumah tangga di swalayan-swalayan tak dapat bergantung pada RSPO dalam menjaminan mereka tak terlibat perusakan hutan.
Laporan itu juga menyebutkan, mekanisme perdagangan yang ditawarkan oleh perusahaan ber-RSPO, tak memiliki penelusuran rantai pasokan. Keadaan ini memungkinkan, minyak sawit dari deforestasi dan perusakan hutan bisa bercampur dengan yang bersertifikat.
Sejumlah pedagang, seperti Wilmar, menguasasi banyak perdagangan minyak sawit dari Indonesia. Para pedagang ini juga prosesor minyak sawit hasil pencampuran dari deforestasi dan perusakan habitat kritis maupun lahan gambut dalam kilang mereka.
Bukan itu saja, produsen bisa menjadi anggota RSPO tanpa memiliki sertifikat konsesi apapun. Anggota RSPO bisa bebas berdagang tandan buah segar (TBS) dan produksi minyak dari bukan anggota–yang tak memiliki komitmen berkelanjutan.
Bahkan, beberapa anggota RSPO prosesor ternama termasuk IOI, Wilmar and Musim Mas, bergantung pada sumber dan perdagangan TBS dari pemasok pihak ketiga. TBS dari perkebunan tak berlisensi maupun area yang dibersihkan lewat pembakaran bisa berakhir di pabrik milik anggota RSPO.
“Satu-satunya solusi bagi perusahaan pembeli dan penghasil minyak sawit adalah mengambil kebijakan melampaui RSPO, seperti dilakukan beberapa anggota RSPO,” kata Hamid.
Merek atau produk harus mencari tahu asal-usul minyak sawit yang mereka gunakan. “Ini untuk memberi jaminan kepada konsumen di seluruh dunia bahwa produknya bukanlah salah satu yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan.”