,

Jatam Desak Kemenhut Tutup Tambang Arthaindo

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak Kementerian Kehutanan menutup operasi tambang dan menindaklanjuti dugaan tindakan pidana kehutanan, PT Arthaindo Jaya Abadi. Perusahaan ini diduga melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Jatam juga menuntut pemerintah memberikan kepastian keselamatan pada warga Podi yang menolak tambang biji besi, sebagai wujud komitmen pemenuhan hak tenurial dan atas lingkungan hidup sehat.

Arthaindo merupakan anak perusahaan PT Earth Resources, bisnis tambang milik dua warga negara India dikenal dengan sebutan “Iron Man” kawasan hutan lindung,  Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Sejak 28 Juni 2013, Polda Sulawesi Tengah (Sulteng), memasang police line (garis polisi) di areal tambang Arthaindo atas dugaan tindak pidana penggunaan  kawasan hutan tanpa izin di Desa Podi. Anehnya, sampai saat ini operasi tambang bijih besi tetap berjalan.

Andhika, Manager Penggalangan Dukungan Jatam mengatakan, terjadi masalah besar sejak masyarakat Podi memblokir koridor tambang pada akhir Juli 2013. Karena penolakan tambang ini, para petani nelayan kini berurusan dengan aparat kepolisian.

Masyarakat protes pada perusahaan yang sudah di-police line karena kejahatan kehutanan malah dikriminalisasi. “Polisi menuding nelayan dan petani melakukan penyerobotan lahan tambang,” katanya di Jakarta, Selasa(3/9/13).

Menurut Andhika, warga menolak tambang karena beberapa alasan. Pertama, operasi tambang biji besi dilakukan di puncak Gunung Umogi, kawasan hulu Desa Podi. Artaindo juga membangun pelabuhan di Dusun IV desa Podi, pelabuhan ini tepat di sisi jalan Trans Sulawesi,  yang menghubungkan antara ibukota Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Poso. Luas konsesi 5.000 hektar.

Kedua, Podi adalah desa dengan penduduk nelayan dan petani dan merupakan daerah penghasil ikan yang rawan banjir bandang. Banjir bandang Desa Podi pertama 1990- 1991, menghanyutkan jembatan dan merendam seluruh rumah warga. Tahun 1997, pemerintah merelokasi dengan membangun 67 rumah untuk warga Podi yang kini menjadi Dusun II, menghabiskan anggaran sekitar Rp500 juta.

Banjir bandang kedua pada 2005, menghanyutkan jembatan dan rumah warga. Pada 2007, pemerintah kembali merelokasi warga dengan membangun 272 rumah, sekarang masuk Dusun IV Desa Podi.

Ketiga, data tim konsultan tata ruang Tojo Una-Una tahun 2008 ditemukan perkiraan hingga 2028, daerah hulu, tepatnya di Pegunungan Podi, terdapat titik rawan runtuh seluas 169, 84 hektar dengan potensi kuantitas reruntuhan 509, 520 juta meter kubik. Potensi areal rawan banjir mencapai lebih 92, 62 hektar dengan titik lebar longsor 1,90 kilometer.

Keempat, perubahan izin eksplorasi dari PT. Adiguna Usaha Semesta kepada Arthaindo oleh Pemerintah Kabupaten Toju Una-una secara sepihak tanpa melalui persetujuan masyarakat Podi. Bupati Touna memaksakan tambang ini berdasarkan surat permohonan yang dikeluarkan Arthaindo tertanggal 26 Maret 2012.

Pada 3 April 2012, Bupati Tojo Una-una, Damsik Ladjalani mengeluarkan SK Nomor: 188.45/115/Distamben. SK ini tentang perubahan keputusan Bupati Tojo Una-una memberi izin usaha pertambangan eksplorasi biji besi kepada Arthaindo. “Alasan-alasan penolakan warga ini perlu menjadi pertimbangan Kemenhut untuk menindak tegas Arthaindo.”

Fakta-fakta ini, ucap Andhika, menunjukkan bagaimana kondisi hutan di hulu Sungai Podi kritis dan terancam degradasi lingkungan. “Ini mengancam keselamatan warga Desa Podi.” 

Alat-alat berat perusahaan tengah bekerja memborbardir hutan untuk operasi tambang Arthaindo. Foto: Jatam
Alat-alat berat perusahaan tengah bekerja memborbardir hutan untuk operasi tambang Arthaindo. Foto: Jatam

Usut Serius

Sementara itu, Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) mendesak polisi serius menangani dugaan kejahatan kehutanan oleh Arthaindo. “Buktinya, hingga saat ini tidak satupun pihak diperiksa terkait tindak pidana kehutanan perusahaan itu,” kata Ahmad Pelor, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng.

Ahmad mengatakan, Walhi Sulteng mendesak kasus tindak pidana kehutanan ini segera diproses. Kepolisian, harus segera memeriksa Arthaindo dan pihak-pihak lain yang terkait. “Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertambangan Kabupaten Tojo Unauna mesti diperiksa.”

Walhi Sulteng juga meminta Polda mensupervisi dan memastikan penanganan kasus oleh Polres Tojo Unauna berjalan baik dan transparan. “Kami minta Polda ikut mengawasi penanganan hukum kasus ini agar berjalan baik, cepat dan transparan. Jika melihat lambannya langkah Polres Tojo Unauna, terus terang kami khawatir kasus ini akan makin tidak jelas,” ujar dia.

Aktivitas tambang ini, sangat  berdampak langsung terhadap warga, air minum mulai tercemar dan berwarna merah hingga tidak layak dikonsumsi. “Ini sudah pasti berdampak terhadap kesehatan mereka.”

Selain itu, sekitar 20 kebun warga dirusak perusahaan yang menggusur  tanpa sepengetahuan pemilik kebun, seperti para petani coklat dan durian di Desa Podi. Mereka harus tersingkir. “Akumulasi kerusakan oleh Arthaindo makin massif.”

Sementara itu, pada Selasa (3/9/13), puluhan massa aksi tergabung dalam Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan (ARPL) berdemonstrasi mendukung perjuangan petani Podi. Mereka mendesak perusahan tidak lagi beroperasi di Kabupaten Tojo Una-una karena dinilai merusak lingkungan dan menyingkirkan petani.

Artahindo dinilai bermasalah, mulai dari titik pusat aktivitas berjarak satu kilometer dari perkampungan khusus dusun II Podi. Irsan Koordinator Lapangan, dalam orasi mengatakan, saat ini perusahaan belum ada izin pelepasan kawasan hutan dari Kemenhut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,