Nestapa Tombak Haminjon Pandumaan Sipituhuta (Bagian II): Potret Ketertindasan Hutan Adat Rakyat

PT Toba Pulp Lestari (TPL) mendapat perluasan izin IUPHHK HTI pada 2009. Perluasan izin itu menuai konflik dari masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara. “TPL telah merambah hutan adat kami,”kata Haposan Sinambela, Pendeta GPDI desa Pandumaan di depan sepuluh wartawan pada 26 Agustus 2013. “TPL tida lakukan sosialiasi ke masyarakat Pandumaan Sipituhuta ketika mau beroperasi. Hutan adat kemenyan kami masuk dalam konsesi TPL,” kata Budiman Lumban Batu, Kepala Desa Pandumaan usai santap malam di Hotel Toledo, Danau Toba,  sehari sebelumnya di depan tiga wartawan.

Sinambela dan Lumban Batu baru mengetahui kehadiran TPL  setelah salah seorang warga Pandumaan bercerita telah menjual tanah adat kepada TPL. “TPL melakukan sosialisasi dengan segelintir orang di Desa kami, itu pun dengan ancaman dan menakuti masyarakat,” kata Lumban Batu, “setahu kami TPL masuk sudah bawa alat berat, mereka sudah bawa bulldozer meratakan hutan adat kemenyan.”

Hutasoit (memegang anak) korban kriminal aparat. Foto: Made Ali
Hutasoit (memegang anak) korban kriminal aparat. Foto: Made Ali

“Sering TPL datangi saya mau kasih duit. Aku tolak. Saya ditawari jadi kontraktor oleh TPL. Sepuluh kali saya ditawari jadi kontraktor,” kata Lumban Batu yang menjadi Kepala Desa Pandumaan sejak 2011. Kepala Desa sebelumnya menyetujui kehadiran PT TPL.

Sinambela berkisah, salah satu korban mendatanginya. Si korban bercerita, orang-orang yang mengaku suruhan  TPL mendatanginya, lantas mengatakan bahwa semua tombak haminjon sudah dikasih izin oleh pemerintah dan akan dikelola TPL. “Hutan ini dikasih atau tidak TPL tetap beroperasi,” kata Sinambela menirukan ucapan korban. Si korban lantas menjual hutan kemenyan senilai sejuta sehektar. “Pikir mereka sudah untung, sebab dikasih atau tidak hutan adat tetap diambil TPL.”

Sinambela bersama sesepuh adat di Pandumaan dan Sipituhuta berkumpul membahas terkait sosialisasi ala TPL. Setelah dijelaskan pada 16 korban yang telah menjual tanahnya pada TPL, “mereka sepakat kembalikan uang tersebut pada TPL, karena sudah ditipu pihak TPL,” kata Sinambela, “makanya TPL kami anggap telah merambah hutan adat kami.”

“Perusahaan tidak sah lakukan operasi, karena belum ada persetujuan dari bapak-bapak. Secara hukum ini tidak sah karena baru penunjukkan kawasan hutan,” kata Kasmita Widodo, Koordinator  Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), yang hari itu hadir di tengah masyarakat.

Hutan yang dibelah PT TPL untuk membuat akses jalan. Di areal ini juga lokasi peristiwa penangkapan warga. Foto: Made Ali
Hutan yang dibelah PT TPL untuk membuat akses jalan. Di areal ini juga lokasi peristiwa penangkapan warga. Foto: Made Ali

Ia menerangkan, penunjukan kawasan hutan merupakan kegiatan awal dalam pengukuhan kawasan hutan meliputi kegiatan penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan.”Setelah mendapat izin prinsip, perusahaan harus melakukan penataan batas. Intinya harus mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar sebelum ditetapkan agar perusahaan bisa beroperasi,” kata Dodo, sapaan akrab Kasmita Widodo.

Dodo merujuk pada UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

Hutan Adat Perlu Percepatan Pengukuhan Legalitas

Pada Juli 2011 silam, Lima bupati dan satu wiraswasta di Kalimantan Tengah menggugat Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.

Menurut mereka, frasa “ditunjuk dan atau” bertentangan dengan UUD 1945. Februari 2012 MK mengabulkan permohonan mereka, salah satu pertimbangan majelis hakim yang diketua Moh. Mahfud MD, “Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.”

Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali
Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali

Maret 2012, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama masyarakat adat kenegerian Kuntu, Riau dan Kasepuhan Cisitu Banten menggugat salah satunya Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan berbunyi: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Mereka meminta status Hutan Adat berdiri sendiri, bukan bagian dari Hutan Negara.

Setahun kemudian, Mahkamah Konstitusi yang diketuai Moh. Mahfud MD memenuhi tuntutan mereka, salah satu pertimbangan majelis hakim termaktub dalam Nomor 35/PUU-X/2012, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.

Dua putusan tersebut menegaskan bahwa izin yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan telah memasukkan hutan adat dan kawasan hutan milik masyarakat setempat ke dalam konsesi untuk salah satunya bisnis hutan tanaman industri hanya bermodalkan penunjukkan kawasan hutan.

“Ada keputusan MK tersebut bahwa kemenhut ketika penunjukan kawasan hutan harus melakukan pengukuawan kawasan hutan. Menhut tidak boleh memberikan izin kalo blum lakukan suvei dan penataan batas,” kata Dodo.

Pemetaan partisipatif di Indonesia kerap digunakan oleh organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan dan hak kelola masyarakat atas sumber daya alam untuk memetakan klaim dan batas ekosistem yang masuk dalam konsesi perusahaan di bidang sumber daya alam.

Abdon Nababan, Ketua AMAN, mengatakan dari 40 juta hektare wilayah adat di Indonesia yang masih berhutan untuk dipetakan, “Baru sekitar 7 juta hektare yang sudah dipetakan AMAN sepanjang 15 tahun terakhir ini.”

Pasca putusan MK tersebut, menurut Abdon, yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, salah satu mandatnya percepatan pengukuhan kawasan hutan untuk masyarakat hukum adat, Abdon menilai butuh percepatan pengukuhan kawasan hutan, jika tidak ,”Kalau menggunakan cara sekarang kita butuh waktu 15 tahun untuk memetakan wilayah adat.”

Tumpukan kayu alam di kanan kiri jalan areal PT TPL. Foto: Made Ali
Tumpukan kayu alam di kanan kiri jalan areal PT TPL. Foto: Made Ali

“AMAN sepakat tahun 2020 sekitar 40 juta hektare wilayah adat sudah dipetakan. Oleh karena itu kita butuh belajar metolodogi pemetaan yang berhasil dilakukan oleh rekan rekan masyarakat adat di dunia,” kata Abdon Nababan di depan delegasi perwakilan masyaraka adat dari Filipina, Vietnam, Nepal, Kenya, Malaysia, Suriname, Selandia Baru, Brazil, Panama, Meksiko, Kolombia dan Indonesia, pada 24 Agustus 2013 saat pembukaan Konferensi Global Pemetaan Partisipatif di Wilayah Masyarakat.

“Dengan pemetaan wilayah adat, kita sesungguhnya sedang merubah wajah bumi yang sedang bersedih dan menangis agar wajah bumi kembali tersenyum,” kata Abdon Nababan.

“Sistem adat di sini masih hidup. Secara pribadi tak bisa dijual tanah adat, karena bersifat komunal berupa warisan. Pemerintah pernah memberi solusi agar tanah adat dibuat atas nama pribad. Namun masyarakat menolak,” kata Delima Silalahi, dari KSPPM yang telah mendampingi masyarakat sejak tahun 2009.

“Hutan adat ini warisan nenek moyang kami. Sebelum Indonesia merdeka ini sudah dikelola nenek moyang kami. Hutan adat sumber kehidupan kita disini,” kata Pendeta Haposan Sinambela pada Mongabay-Indonesia.  

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,