Nilai impor kelapa sawit Eropa untuk digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak tahun 2006 silam, dan hal ini membuat sejumlah kalangan semakin peduli akan hal ini karena peningkatan konsumsi kelapa sawit ini kemungkinan ikut berkontribusi dalam laju deforestasi, konflik dengan masyarakat dan meningkatkan emisi gas rumah kaca di Asia Tenggara, setidaknya demikianlah temuan yang dipublikasikan dalam jurnal International Institute for Sustainable Development (IISD).
Laporan yang diterbitkan 9 September 2013 ini menemukan bahwa 80% dari konsumsi kelapa sawit di negara-negara Uni Eropa antara tahun 2006 hingga tahun 2012 tersebut terkait erat dengan produksi bahan bakar minyak (biofuel). Namun penggunaan untuk keperluan lain seperti kosmetik dan pangan nyaris tidak ada pertambahan.
Secara keseluruhan konsumsi kelapa sawit di 27 negara Uni Eropa melonjak 41% dari 4,51 juta ton di tahun 2006 menjadi 6,38 juta ton di tahun 2012. Kebutuhan kelapa sawit untuk bahan bakar minyak kendaraan bermotor naik pesat sekitar 365% dari 402.000 ton menjadi 1,87 juta ton.
Belanda, negara terbesar yang mengonsumsi kelapa sawit di Eropa, mengalami kenaikan pesat sebanyak 9500% dari 5.000 ton menjadi 480.000 ton sepanjang periode ini.
Sementara Jerman, negara kedua terbesar pengguna kelapa sawit mengonsumsi 300.000 metirk ton di tahun 2012, diikuti oleh Italia 220.000 ton, Spanyol 200.000 ton dan Finlandia 200.000 ton. Hanya Inggris yang penggunaan kelapa sawitnya menurun pada periode tersebut.
Temuan dalam laporan ini menyarankan agar produsen kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia membuat terobosan penting untuk melayani pasar bahan bakar di Eropa ini. Uni Eropa sendiri telah mewajibkan setidaknya 10% dari pasar bahan bakar minyak di Eropa untuk transportasi sudah memenuhi persyaratan energi terbarukan di tahun 2020. Namun rencana ini -yang akan melalui voting hari Rabu 11 September 2013 ini- akan memotong target tersebut hingga setengahnya, dan membatasi jumlah biodiesel berbasis tanaman yang bisa diproduksi.
Angka ini juga mengindikasikan bahwa harga kelapa sawit yang lebih rendah akan memungkinkan membuka pasar yang baru untuk minyak berbasis sayur, yang biasanya digunakan untuk memasak. Lalu lemak yang biasa digunakan untuk makanan olahan, sabun dan kosmetik dan kebutuhan industri lainnya. Hingga saat ini, tingginya harga kelapa sawit membuat konversi ke biodiesel menjadi pilihan yang tidak menarik, namun jika harga kelapa sawit bisa turun hingga 40% maka penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar menjadi sebuah pilihan menarik.
Lebih dari 85% kelapa sawit diproduksi di Indonesia dan Malaysia. Sebagian besar ekspansi perkebunan komoditi ini sudah mengorbankan hutan hujan tropis yang menjadi habitat satwa liar dan lahan gambut yang menyimpan jutaan ton karbon, dan hal ini menjadikan kelapa sawit sebagai target serangan banyak aktivis lingkungan di dunia, yang melihat fenomena ini sebagai ancaman serius terhadap satwa-satwa yang terancam punah, perubahan iklim dan masyarakat adat.
Terkait hal ini, Friends of Earth Eropa, lembaga yang menaungi laporan ini meminta agar Uni Eropa segera menyetujui rencana untuk mengurangi jumlah kelapa sawit tersebut.
“Kelapa sawit menyebabkan deforestasi dalam jumlah masif, hilangnya satwa-satwa liar, konflik masyarakat, dan mempercepat perubahan iklim,” ungkap Juru Kampanye Biodiesel Friends of Earth Eropa, Robbie Blake dalam pernyataannya. “Menjadi sebuah tanda bahaya melihat penggunaan kelapa sawit sebagai bahan bakar kendaraan di Eropa yang meroket, dan akan terus bertambah, kecuali mereka melakukan pembatasan. Para pegendara secara diam-diam sudah dipaksa untuk mengisi bahan bakar yang sudah menghancurkan hutan tropis, masyarakat adat dan iklim.”
Sementara itu, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi di Indonesia, Nur Hidayati menambahkan bahwa menekan penggunaan bahan bakar biodiesel di Eropa akan mengurangi konflik sosial di Indonesia.
Organisasi masyarakat sipil di negara-negara selatan telah menyaksikan pengembangan kebijakan biofuel di Eropa dengan kecemasan,” kata Nur. “Peningkatan yang besar dalam permintaan minyak sawit di Eropa meningkatkan deforestasi, perampasan tanah, dan konflik di Indonesia. Permintaan biofuel harus ditutup dan dikurangi jika Eropa hanya akan menyebabkan masalah bagi orang-orang Indonesia yang terkena dampak perluasan perkebunan kelapa sawit. ”
Data dari Greenpeace pekan lalu mengungkapkan bahwa sekitar seperempat dari deforestasi di Indonesia antara tahun 2009 hingga 2011 disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Greenpeace juga menekankan perusahaan-perusahaan untuk memperketat kebijakan mereka untuk membeli kelapa sawit dari penyuplai mereka yang tidak menebang hutan alam dan lahan gambut demi perkebunan baru.
Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan akibat dari perkembangan lahan kelapa sawit ini memaksa sejumlah pelaku industri untuk bertindak. Namun kendati sudah ada lembaga yang bertugas memberi koridor ramah lingkungan terhadap proses produksi kelapa sawit, yaitu RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), namun sejumlah kalangan seperti Friends of Earth di Eropa dan Greenpeace menilai bahwa penegakan aturan di dalam organisasi ini masih terlalu lemah.
Sementara itu, sebagian besar kelapa sawit masih dikonsumsi di negara-negara yang tidak terlalu peduli dengan standar ramah lingkungan, seperti Indonesia, India, Cina, Malaysia dan Pakistan. Akibatnya dampak sertifikasi terhadap kelapa sawit hanya terbatas pada pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat, dan hal ini membuat isu sawit yang ramah lingkungan sulit untuk dilakukan.