, ,

Walhi akan Laporkan Kasus KSO Perhutani ke KPK

Sejak dilaporkan ke Polda Jawa Barat (Jabar) 23 Januari 2013, , penyidikan kasus pertambangan yang menyeret Perhutani dan 12 perusahaan tambang di Bogor, belum ada perkembangan berarti. Walhi  sudah menerima lima berkas surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SPPHP), tetapi  penanganan kasus masih jalan di tempat. Langkah lanjutan, Walhi pun akan melaporkan kasus ini ke KPK.

Munhur Satyahaprabu, Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional, mengatakan, pelaporan ke KPK karena kerugian negara atas dugaan pelanggaran praktik KSO sangat besar. Walhi Jabar merilis angka kerugian mencapai Rp78,59 miliar. “Kami akan laporkan ke KPK dalam waktu dekat,” katanya dalam diskusi di Bandung, Kamis (5/9/13).

Untuk penanganan di Polda Jabar, dia meminta polisi transparan.“Kami minta ke Polda kendala dimana. Keterbukaan informasi penanganan kasus ini  penting.” Menurut dia, perlu komitmen Polda dalam menuntaskan kasus ini agar tak dipetieskan. “Jika itu terjadi, membuktikan Polda tak punya kapasitas mengungkap kasus ini. Ini akan jadi preseden buruk. Mengungkap kasus gamblang susah, apalagi kasus korporasi,” ucap Munhur.

Munhur menyarankan, Polda segera memeriksa direksi  Perum Perhutani, Dewan Pengawas, Badan Lingkungan Hidup dan kepala daerah. “Semua harus dipanggil. Ini akan menentukan apakah kasus ini merupakan tindakan korupsi penyalahguaan wewenang atau penggelapan anggaran negara.”

Pendekatan hukum, katanya,  seharusnya menggunakan multi legal enforcement dan multidoor. Jangan hanya menggunakan UU No. 41 tentang Kehutanan. “Polisi juga tak bisa sendirian, harus menggandeng pihak lain seperti LSM dan akademisi untuk mengungkap kasus ini.”

Wahyu Widianto, Koordinator bidang Advokasi Walhi Jabar  mengatakan, SP2HP terakhir diterima Juli dengan isi tak ada perkembangan apapun. “Polda mengatakan perlu keterangan para ahli. Sampai detik ini belum ada tindak lanjut lagi.”

Perhutani, menganggap kawasan pertambangan merupakan hutan produksi perbatas. Saat Walhi Jabar investigasi ke lapangan, menemukan hal berbeda.“Kawasan itu hutan campuran memiliki tingkat kemiringan cukup terjal hampir 45 derajat. Menurut kami itu hutan lindung. Kalau hutan produksi harusnya jenis tumbuhan homogen, ketika kami ke sana tumbuhan sangat heterogen. Istilah hutan produksi terbatas juga tak ada dalam UU.”

Di dalam perjanjian KSO itu, yang menjadi landasan hukum PP nomor 30 tahun 2003, Permenhut nomor  50 tahun 2006 dan keputusan-keputusan direksi. Tak ada izin dari Menteri Kehutanan.

“Dalam Permenhut nomor 50 itu memang ada pasal enam menyebutkan reklamasi dan rehabilitasi bisa di kawasan hutan yang mengandung bahan galian. Ini yang menjadi multitafsir. Kalau kita balik lagi ke UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dijelaskan tidak ada kegiatan tambang dalam rehabilitasi dan reklamasi hutan,” kata Wahyu.

Lokasi pengolahan galena PT Shakinah, berbatasan dengan RPH Cigudeg. Inikah yang dikatakan Perhutani sebagai proses reklamasi dan rehabilitasi? Polda Jabar masih juga berdalih sulit penanganan meskipun kasus sudah begitu gamblang. Foto: Walhi Jabar
Lokasi pengolahan galena PT Shakinah, berbatasan dengan RPH Cigudeg. Inikah yang dikatakan Perhutani sebagai proses reklamasi dan rehabilitasi? Polda Jabar masih juga berdalih sulit penanganan meskipun kasus sudah begitu gamblang. Foto: Walhi Jabar

Achmad Sjarmidi, Pakar Kehutanan ITB, mengatakan, kerugian negara, sebenarnya masih sangat besar. Sebab, Walhi Jabar belum menghitung kerugian masyarakat sekitar.

“Kita jangan terpaku pada angka kerugian  negara. Karena kerugian masyarakat sangat tinggi. Berapa penyakit yang ditimbulkan dari pertambangan itu, berapa banyak air yang kotor harus dihitung. Masyarakat sudah tak bisa mengambil air bersih lagi. Air harus beli. Ini menunjukkan penurunan kualitas lingkungan,” katanya.

Dia mengatakan, sejak dimintai pendapat Walhi Januari lalu, sudah melihat banyak kejanggalan dalam kasus ini. “Itu praktik bukan reklamasi dan rehabilitasi, tapi eksploitasi. Di surat perjanjian  tercantum kalimat untuk reklamasi dan rehabilitasi, perlu dilakukan  pengambilan galian. Itu kan kedok, ada pemahaman yang aneh. Masa mau rehabilitasi dengan menggali tambang?” kata Sjarmidi.

Menurut dia, Perhutani menggunakan kata reklamasi untuk menghindari tanggung jawab. “Rehabilitasi itu seharusnya mendekati ke kondisi semula. Harusnya pakai istilah restorasi, bukan rehabilitasi dan reklamasi. Fakta-fakta yang dikumpulkan Walhi Jabar sudah gamblang mengatakan ada pelanggarakan dalam praktik KSO Perhutani itu.” “Jika sampai detik ini polisi masih kesulitan, itu hal yang sangat aneh.”

Menurut pengakuan warga, banyak sumber mata air tercemar. Tak hanya merugikan masyarakat yang tinggal di sana, juga satwa liar di hutan seperti burung dan monyet. Beberapa perusahaan yang mengolah hasil tambang di lokasi hutan menyebabkan Sungai Cibolang tercemar. Padahal, sungai itu sumber mata air utama warga Dusun Rengganis dan Desa Cintamanik, Cigudeg Bogor.

“Dulu saat awal beroperasi PT Indoloma Perkasa, banyak monyet mati karena minum air sungai yang tercemari pertambangan. Ada juga air terjun yang dulu tinggi tujuh meter, sekarang hanya tersisa setinggi mata kaki,” kata Bayu Kurnia, warga Desa Cintamanik, Cigudeg Bogor.

Bayu mengatakan, mencuatnya kasus pertambangan berkedok KSO oleh Perhutani ini berawal dari sengketa tanah antara warga dan Perhutani. Luas lahan warga yang diklaim seluas 2.800 hektar tahun 2004. “Kasus itu sempat dibawa ke Komnas HAM. Setelah dokumen-dokumen dipelajari Walhi,  ternyata ada praktik pelanggaran KSO.”

Dedi Mizwar, Wakil Gubernur Jabar yang hadir dalam acara itu mengatakan akan mendorong penyelesaian kasus ini. “Mari bersama-sama mendorong penyelesaian kasus ini. Penegakan hukum harus jelas. Saya siap berkomitmen mendorong penyelesaian kasus ini.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,