ProFauna: Pelestarian Habitat dan Satwa Akan Lebih Efektif Dengan Keterlibatan Masyarakat

Puluhan aktivis ProFauna berkumpul di padepokan Petungsewu Wildlife Education Center (P-WEC) Malang, Jawa Timur, dalam acara ProFauna Conference 2013. Pada pertemuan aktivis atau supporter ProFauna dua tahunan ini, beberapa isu penting terkait pelestarian alam dan konservasi satwa liar dibahas dalam pertemuan 3 hari, 12-14 September 2013.

Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid menjelaskan, persoalan Degradasi Hutan, Pelestarian Penyu, serta Peran Media Massa Terhadap Pelestarian Satwa Liar, menjadi tiga topik utama yang dibahas bersama aktivis ProFauna dari seluruh Indonesia dan luar negeri.

Degradasi hutan menurut Rosek Nursahir, telah menjadi isu yang sangat penting karena banyaknya laporan dan fakta alih fungsi hutan sebagai perkebunan Kelapa Sawit, khususnya di Sumatera.

“Kerusakan hutan terparah dilihat terjadi di Sumatera, terutama di Bukit Tigapuluh, Sumatera Utara dan Aceh. Penyebab utamanya karena perluasan perkebunan sawit,” kata Rosek disela-sela acara.

Rosek mengungkapkan, parahnya perusakan hutan akibat alih fungsi lahan dilakukan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lingkungan, sehingga hutan-hutan alami yang menjadi habitat satwa liar menjadi berkurang secara signifikan.

“Seperti orangutan dan gajah, menjadi tersisihkan dan berkurang sangat drastis, sehingga berujung pada konflik dengan manusia. Karena saat satwa liar itu menjadi berkurang rumahnya, mereka tidak ada pilihan lain selain masuk ke perkebunan-perkebunan masyarakat,” ujar Rosek, pendiri ProFauna Indonesia.

Pelestarian hutan bagi ProFauna sangatlah penting, karena terkait juga dengan satwa liar dan kesejahteraan masyarakat. Kasus kerusakan hutan, khususnya di Sumatera menurut catatan ProFauna terjadi di Rawa Tripa, Aceh, yang mengakibatkan berkurangnya habitat 200 Orangutan hingga tinggal 25 persen. Kasus-kasus lain juga terjadi di daerah-daerah di Sumatera lainnya, yang menjadi cermin random tentang degradasi hutan di Sumatera, secara luas di Indonesia.

Rosek Nursahid dari ProFauna Indonesia. Foto: Petrus Rizki
Rosek Nursahid dari ProFauna Indonesia. Foto: Petrus Rizki

Artinya dalam konteks hutan ini akan terkait dengan pelestarian satwa liar dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

“Kita memang belum punya data pasti, karena laporan tidak bersifat nasional dan menyeluruh, tapi hanya beberapa kasus lokal di daerah-daerah. Namun hal itu sudah sangat memprihatinkan,” ungkap Rosek.

Desakan pada pemerintah daerah, sebagai penguasa wilayah akan dilakukan oleh ProFauna, agar tidak membuka hutan untuk dijadikan perkebunan Kelapa Sawit. Avokasi dan kampanye akan dilakukan dengan melibatkan anak-anak muda, serta para tokoh masyarakat di tingkat lokal, sebagai upaya penyelamatan hutan yang merupakan penyangga hidup masyarakat.

“Jadi kita melakukan kampanye, advokasi dan edukasi, sebagai investasi jangka panjang untuk generasi mendatang,” tegasnya.

Perdagangan Telur Penyu Masih Marak

Selain isu kerusakan hutan, ProFauna juga menyoroti masalah penyu yang menjadi hal serius khususnya di Kalimantan. Laporan yang diterima dari aktivis di Kalimantan menyebutkan, program konservasi Penyu di pulau Sangkalaki, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, telah beralih fungsi menjadi kegiatan bisnis penjualan telur Penyu, setelah pemerintah daerah setempat mengambil alih program itu yang dinilai telah gagal.

Diutarakan oleh Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, program konservasi Penyu yang digagas aktivis lingkungan setempat pada dasarnya snagat bagus, karena berhasil memunculkan sekitar 4.000 sarang penyu setiap tahunnya.

“Ujung-ujungnya menjadi bisnis, karena ada mafia yang turut bermain. Mereka mengondisikan bahwa program konservasi Penyu di Kaltim gagal, yang akhirnya diambil alih pemerintah daerah dan ujung-ujungnya adalah penjualan telur,” terang Rosek yang akan membuat gerakan nasional pelestarian Penyu Indonesia, agar kasus itu tidak terjadi di daerah-daerah lain.

Pelestarian penyu menurut Rosek sangat diperlukan terkait tingkat daya tahan telur dan anak Penyu yang sangat rendah. Data hasil penelitan peneliti ProFauna dari Jerman, menyebutkan bahwa dari 1.000 ekor anak Penyu atau Tukik hanya 1 ekor yang mampu bertahan hingga usia dewasa.

“Meski kelihatan telur penyu banyak, ribuan atau bahkan jutaan, tapi yang survive sampai dewasa sebenarnya sedikit. Itu yang membuat kita dan Pemda terlena, sehingga kurang peduli, hingga pada akhirnya dijual,” imbuh Rosek.

Perlindungan hutan dan satwa liar yang ada di dalamnya termasuk penyu, dikatakan oleh Rosek Nursahid, akan lebih efektif jika masyarakat dan media ikut mengawal langkah konservsasi yang telah diatur dalam UU nomor 5 tahun 1990.

Namun demikian, media justru banyak diadukan oleh masyarakat, atas banyaknya tayangan maupun berita yang dimuat terkait perburuan satwa. Hal tersebut tegas Rosek, akan memicu masyarakat untuk meniru perburuan satwa liar berikut teknik-tekniknya seperti yang diberitakan oleh media massa.

“Tahun 2013 ada lebih dari 70 pengaduan masyarakat yang mengeluhkan ada banyak tayangan-tayangan televisi, atau pemberitaan media cetak, yang itu kontra konservasi satwa liar, yang membuat orang berpikir bahwa memang satwa liar dapat diperlakukan seperti itu,” papar Rosek yang berharap media beserta awak yang menjalankannya memahami dan memiliki perspektif lebih terkait konservasi alam dan satwa liar.

“Tiga hal itu yang menjadi bahasan serta strategi kampanye ProFauna di tahun 2014,” pungkas Rosek Nursahid.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,