ForBali: Waspadai Upaya-Upaya Legalisasi Kembali Reklamasi Teluk Benoa

Hasil kajian Universitas Udayana yang menyatakan rencana reklamasi di Teluk Benoa tidak layak, rupanya belum cukup melegakan bagi Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali). Aliansi masyarakat sipil Bali yang tegas menolak rencana reklamasi itu mensinyalir masih ada upaya-upaya melegalisasi reklamasi di Teluk Benoa.

Dalam aksi unjuk rasa yang digelar di depan Kantor Gubernur Bali di Denpasar pada Senin, 16 September 2013, ForBali menuntut Gubernur Bali menghentikan seluruh upaya melegalisasi reklamasi Teluk Benoa, sekaligus mencabut SK Gubernur Nomor 1727/01-B/HK/2013 yang memberikan izin kepada PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) untuk melakukan study kelayakan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa.

“Universitas Udayana sudah jelas jelas mengumumkan bahwa reklamasi di Teluk Benoa tidak layak. Sekarang saatnya Gubernur Bali mencabut izin studi kelayakan itu, seperti pernah dijanjikan sebelumnya,”  Koordinator ForBali, Wayan ‘Gendo’ Suardana menegaskan dalam orasinya.

ForBali menduga bahwa Gubernur Bali beserta stafnya justru memberikan celah kepada PT. TWBI untuk dapat melakukan studi kelayakan dengan menggandeng perguruan tinggi lainnya, paska hasil studi Universitas Udayana menyatakan reklamasi tidak layak.

Gendo secara tegas menyebut bahwa SK Nomor 1727/01-B/HK/2013 ditandatangani Gubernur Bali Made Mangku Pastika pada 16 Agustus 2013 telah melanggar konstitusi. Pasalnya, tambah dia, Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil menyebutkan bahwa penelitian dan perencanaan untuk reklamasi hanya boleh dilakukan oleh Pemerintah dengan kerjasama pihak ketiga untuk keperluan proyek pemerintah. “Jadi izin studi kelayakan itu sebenarnya melanggar konstitusi, harus dicabut segera,” Gendo menegaskan.

“Pemberian izin reklamasi kepada badan privat sama artinya menyerahkan nasib hak hak publik kepada swasta, artinya menyerahkan nasib rakyat kepada satu orang,” Ketua Dewan Daerah Walhi Bali itu menambahkan.

Pernyataan Gubernur Bali sebelumnya yang menyebut reklamasi Teluk Benoa seluas 838 hektar akan menambah luas hutan Bali juga dinilai sebagai logika sesat. “Itu sama artinya menambah hutan Bali dengan menguruk laut Bali. Ini logika sesat. Kalau mau menambah hutan Bali, hijaukan hutan gunung agung, hijaukan Taman Nasional Bali Barat yang gundul,” Gendo mempertanyakan.

“Kalau disebut bahwa pembangunan di wilayah reklamasi akan menyerap 200 ribu tenaga kerja, hitung berapa masyarakat sekitarnya yang kehilangan mata pencaharian dari Teluk Benoa. Selain itu, konsep one stop shopping yang tersedia di sana akan menghancurkan pelaku pariwisata yang kecil kecil. Apanya yang menguntungkan untuk Bali?” ia menambahkan.

Lagu 'Bali Tolak Reklamasi' terus berkumandang sepanjang aksi berlangsung. Foto: Ni Komang Erviani
Lagu ‘Bali Tolak Reklamasi’ terus berkumandang sepanjang aksi berlangsung. Foto: Ni Komang Erviani

Puluhan orang ikut serta dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung damai tersebut, termasuk kalangan aktivis lingkungan hidup, musisi, dan masyarakat umum. Lagu berjudul ‘Bali Tolak Reklamasi’ terus didengungkan selama unjuk rasa. Lagu ‘Bali Tolak Reklamasi’ secara khusus dibuat sejumlah artis Bali untuk mempopulerkan kampanye penolakan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa.

ForBali juga menuntut Gubernur Bali agar tidak lagi melakukan pembohongan publik sebagaimana yang pernah terjadi pada tanggal 27 Juni 2013, bahwa  Gubernur Bali mengatakan belum tahu tentang rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa. Padahal SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa telah dikeluarkan oleh Gubernur sendiri pada tanggal 26 Desember 2012.

Gubernur dituntut tidak lagi melakukan tindakan-tindakan pengelabuan hukum seperti pada tindakan mencabut SK 2138/02-C/HK/2012 dengan menerbitkan SK yang secara substansi tidak berbeda serta tidak melakukan usaha-usaha apapun, serta tidak lagi mengeluarkan aturan apapun dalam usaha melakukan reklamasi di Teluk Benoa.

“Agar tercipta praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik, akuntabel dan memiliki etika, maka ForBALI juga tetap menuntut Gubernur Bali untuk meminta maaf kepada masyarakat Bali karena telah melakukan pembohongan publik atas keberadaan SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa telah dikeluarkan oleh Gubernur sendiri pada tanggal 26 Desember 2012,” demikian ditegaskan dalam pernyataan sikap ForBali.

Teluk Benoa adalah kawasan perairan strategis di bagian selatan Bali dan menjadi muara sejumlah sungai di Bali. Reklamasi kawasan tersebut rencananya dilakukan PT. TWBI untuk membangun kawasan wisata terpadu yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti hotel, restoran, rumah sakit, dan lainnya. Rencana reklamasi Teluk Benoa telah menuai kecaman dan protes dari sejumlah kalangan di Bali, mulai dari aktivis lingkungan, akademisi, mahasiswa, tokoh agama, musisi, serta masyarakat umum.

Gubernur Bali Made Mangku sempat secara diam-diam menerbitkan surat keputusan bernomor 2138/02-C/HK/2012, ditandatangani pada Desember 2012, yang memberikan izin dan hak pemanfaatan dan pengembangan Teluk Benoa kepada PT TWBI. Pada 16 Agustus lalu, gubernur telah mencabut SK tersebut karena menyadari banyaknya kesalahan dalam proses hukumnya. Namun dalam surat keputusannya yang baru, bernomor 1727/01-B/HK/2013, Gubernur Pastika memberi izin studi kelayakan rencana pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa kepada PT. TWBI. Izin baru itu dikhawatirkan menjadi pintu masuk untuk realisasi rencana reklamasi di Teluk Benoa.

Sebelumnya pada  awal September, paska diumumkannya hasil studi kelayakan Universitas Udayana, Gubernur Bali Made Mangku Pastika sempat membantah adanya kesan pihaknya ngotot untuk melanjutkan rencana reklamasi. “Ya, ikuti saja. Kalau katanya tidak layak, ya tidak layak. Kami khan tidak berkompeten menyatakan itu layak atau tidak layak. Jadi kalau memang surveynya menyatakan itu tidak layak, ya tidak layak,” kata Pastika menanggapi hasil kajian Universitas Udayana.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,