, , ,

Laporan: 31% Konsesi Perusahaan di Afrika, Asia dan Amerika Latin Caplok Lahan Masyarakat

Analisis data dari 12 negara ini juga menghitung potensi penurunan finansial dampak konflik tumpang tindih lahan. Ke depan, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemodal maupun asuransi dalam mengevaluasi risiko kepemilikan lahan mereka.

Sebuah laporan terbaru mengenai area konsesi di Afrika, Asia dan Amerika Latin, memperlihatkan, setidaknya 31 persen atau satu dari tiga hektar konsesi pebisnis tumpang tindih dengan lahan masyarakat adat. Bahkan, masalah ini menyebabkan penurunan produksi pertanian sampai US$5 triliun.

Dalam analisis kuantitatif oleh Munden Project for the Rights and Resources Initiative yang dirilis Kamis (19/9/13) menemukan, penguasaan lahan merupakan sebuah sumber penting dari risiko investasi yang meluas ke semua sektor.

Laporan berjudul Global Capital, Local Concessions: A Data-Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies, ini menggunakan teknologi pemetaan dengan sistem informasi geospasial (GIS) yang menganalisis lebih dari 153 juta hektar konsesi di 12 negara.  Jangkauan penelitian dari sektor pertanian, kehutanan sampai sumber daya mineral, dengan menganalisis negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Argentina, Brazil, Kamboja, Kamerun, Chile, Kolumbia, Liberia, Mozambique, Peru, dan Pilipina.

Hasil penelitian memperlihatkan, terjadi tumpang tindih signifikan antara konsesi perusahaan dan lahan masyarakat, teridentifikasi 3.750 konsesi yang tumpang tindih,  dengan total 48,3 juta hektar.

Contoh terbesar ada di Argentina, sekitar 84 persen konsesi kedelai nasional tumpang tindih dengan area masyarakat. Rata-rata area tumpang tindih 26 persen dengan potensi penurunan nilai US $4,6 triliun. Disusul Kamerun,  sekitar 83 persen dari konsesi perusahaan kayu tumpang tindih dengan hutan masyarakat.  Rata-rata potensi risiko nilai sampai 0,4 persen dari gross domestic product (GDP). Di Chili, Kolombia dan Pilipina, 30,5 persen konsesi tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat.

Data spasial yang dikumpulkan dengan sangat bervariasi dari berbagai sumber baik publik maupun swasta ini juga digunakan untuk memetakan area konsesi dan klaim lahan masyarakat di 12 negara. Dari area masyarakat dan konsesi yang tumpang tindih itu, lalu dihitung penurunan finansial yang dipicu konflik.

Andy White, Coordinator of Rights and Resources Initiative (RRI) dalam rilis yang diterima Mongabay mengatakan, para pengembang dan investor sumber daya alam menghadapi tantangan besar.  Keuntungan mereka–sejauh kemampuan mereka memenuhi permintaan pasar global—bisa anjlok jika situasi di lapangan tak stabil.

“Masyarakat yang hidup di lahan juga menghadapi tantangan berbeda, termasuk kemiskinan, kelaparan dan menolak pembangunan yang mengancam mereka tersinggir dari tanah mereka.”

Laporan ini, katanya, akan menjadi acuan bagi pemodal dan asuransi sektor tambang, agrikultur, maupun kehutanan, untuk mengevaluasi risiko penguasaan lahan.

“Langkah pertama untuk mengelola risiko dalam setiap investasi adalah mengerti masalah ini. Apa yang kami sajikan adalah metode statistik yang mengidentifikasi dan mengkualifikasi masalah,” kata Lou Munden, Chief Executive Officer of The Munden Project.

Penelitian ini dirilis dalam sebuah konferensi internasional yang diadakan di Interlaken, Switzerland. Gawe ini diselenggarakan oleh Rights and Resources Initiative (RRI), International Land Coalition (ILC), Oxfam, Helvetas Swiss Intercooperation, dan International Union for Conservation of Nature. Pada kegiatan ini hadir pula pemerintah dan pebisnis yang terlibat dalam investasi lahan, pemimpin masyarakat adat maupun masyarakat lokal serta para lembaga non pemerintah.

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13) Mereka meminta pengembalian tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat tinggal dan hutan mereka turun menurun. Mereka juga meminta pembebasan 16 warga yang ditangkap polisi. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,