,

Tambang Kuasai 7 Juta Hektar Lahan di Kaltim

Hasil monitoring dan investigasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) hingga tahun 2013 menemukan total penguasaan lahan tambang di Kalimantan Timur (Kaltim), berkisar kurang lebih 7 juta hektar. Terdiri dari 1.451 izin usaha pertambangan (IUP) luas 5.314.294,69 hektar, 67 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) menguasai lahan 1.624316,49 hektar, 5 kontrak karya luas konsesi 29.201.34 hektar.

Andika Manager Penggalangan Dukungan Jatam mengatakan, jumlah penduduk Kaltim sebanyak 3.908.737 jiwa. “Jadi, penguasaan lahan tambang itu jika dipersentasekan berdasarkan UU No 5 Pokok Agraria tahun 1960 tentang hak kepemilikan atas tanah, dua hektar bagi tiap warga. Maka, rasionya setiap jiwa di Kaltim kehilangan setengah hektar cadangan pemukiman dan usaha-usaha tani mereka,” katanya Minggu (22/9/13).

Tingkat keselamatan warga jauh dari aman. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sejak 2009 hingga 2012, tercatat 1.374 kasus. Total kerugian mencapai Rp169 miliar dengan korban meninggal 143 orang. Jika dirata-ratakan pada periode itu, terjadi 343 bencana per tahun. Pada 2013, sudah 23 kali banjir yang memaksa 785.635 jiwa mengungsi.

Jika logika produksi kapitalistik terus dipelihara, kata Andhika, krisis ekologi dan pemburukan kehidupan masyarakat antarpulau akan makin cepat. “Itu berpangkal dari komodifikasi alam tanpa melalui perencanaan sosial sesuai kebutuhan berdasarkan pertimbangan daya dukung ruang dan lingkungan.”

Sedangkan, pemilik korporasi tambang hanya peduli pada laba dan kekayaan atas nama kebutuhan pasar global. Praktik ini berlangsung hampir dua generasi, terutama Kaltim sebagai pusat produksi batubara. “Persediaan bekal hidup warga dihancurkan, reklamasi pasca tambang tidak ada kepastian.”

tambang kaltim111-290434_2097884259933_1630182314_1595012_2052820675_o Perusahaan tambang  batubara yang bercokol hanya di Samarinda, Kaltim, sudah sebanyak itu, belum di kabupaten dan kota lain. Grafis: Jatam Kaltim

Audit BPK

Pada semester II 2011, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) sudah melakukan pemeriksaan sektor pertambangan.  Pemeriksaan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan tujuh pemerintah kabupaten dan kota. Yakni, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kota Samarinda, Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Timur, dan Kabupaten Barito Selatan. Diperiksa juga 77 pemegang kuasa pertambangan (KP) atau IUP, 10 kontraktor PKP2B serta instansi terkait lain di Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah.

Pemeriksaan ini untuk menilai apakah sistem pengendalian intern (SPI) atas pengelolaan PNBP, DBH sumber daya alam pertambangan, dan lingkungan pertambangan batubara khusus reklamasi telah sesuai ketentuan. Juga melihat kepatuhan perusahaan terkait kewajiban pelaksanaan izin di kawasan hutan.

Hasil pemeriksaan menunjukkan, rancangan dan implementasi SPI atas pengelolaan pertambangan batubara terkait perizinan, pengelolaan PNBP, dan DBH, serta pengelolaan lingkungan pertambangan batubara pada Kementerian ESDM dan tujuh Pemerintah Kabupaten belum efektif menjamin pencapaian tujuan dan kepatuhan UU.

“Bagi Jatam, audit ini cukup maju, namun belum merepresentasikan seluruh pemburukan kehidupan dan keselamatan penduduk pulau Kalimantan,” kata Andhika.

Dikutip dari situs BPK, hasil pemeriksaan mengungkapkan beberapa hal. Pertama, kekurangan penerimaan  negara dari Iuran tetap dan Royalti serta denda administrasi Rp95,58 miliar dan US$43.33 juta (ekuivalen Rp392,93 miliar) atau total Rp488,52 miliar.  Atas masalah ini, sampai 30 Maret 2012 sebesar Rp221,33 juta dan US$9,40 juta atau keseluruhan Rp84,90 miliar disetor perusahaan ke kas negara. Ini baru 17,37 persen dari total yang harus dibayar perusahaan tambang.

Kondisi ini menambah saldo piutang negara sektor pertambangan umum dalam Laporan Keuangan Kementerian ESDM per 31 Desember 2011 (unaudited) khusus dari iuran tetap, royalti, dana hasil penjualan batubara (DHPB) dan denda menjadi Rp1,1 triliun.

Kedua, pemegang IUP operasi produksi belum menyampaikan rencana reklamasi atau rencana pascatambang. Lalu, 73 pemegang IUP OP dan dua pemegang PKP2B belum menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang minimal Rp2,45 miliar.

Hal ini mengakibatkan pemerintah dan pemerintah daerah tak memperoleh jaminan areal bekas pertambangan batubara akan direklamasi dan berpotensi merusak lingkungan.  Atas masalah ini Kementerian ESDM dan pemda diminta terus membina dan penagihan jaminan reklamasi atau pascatambang sesuai ketentuan.

Ketiga, Menteri ESDM belum menetapkan peraturan tentang tata cara pemberian sanksi administratif dan tata cara pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara. Keadaan ini menyebabkan upaya penegakan hukum dan pengawasan pemerintah atas usaha pertambangan belum berjalan optimal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,