, ,

Telapak Raksasa di Atas Danau Limboto

Biasa para seniman melukis di atas kanvas, kertas, atau tembok. Yang dilakukan Iwan Yusuf, tergolong unik. Dia melukis di atas Danau Limboto, yang nyaris hilang terkena pendangkalan dan alih fungsi.

Danau di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, ini makin kritis. Guna menggugah kesadaran banyak orang agar peduli dan menyelamatkan danau inilah Iwan melukis di atas danau.

Pria kelahiran Gorontalo, 31 tahun lalu ini, menuangkan karya di atas air danau, tidak dengan cat minyak, melainkan eceng gondok yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai telapak kaki raksasa berukuran 500 x 190 meter persegi.

Lukisan ini diberi judul “Lahilote”. Di Limboto, eceng gondok menuntupi sebagian besar danau hingga terbentuk menyerupai pulau.   Iwan membuat proyek pameran tunggal di danau ini bertajuk “Menghadap Bumi”. Karya ini melibatkan belasan nelayan danau sebagai pekerja, dibantu sejumlah rekan dan sahabat di Gorontalo. Para kru dalam proyek ini tergabung dalam “Iwan Yusuf KreaTim.”

Iwan mengatakan, awalnya memerkirakan proses pengerjaan lukisan raksasa ini diselesaikan dalam belasan hari. Karena banyak tantangan dan kendala, lukisan ini memakan waktu sekitar tiga minggu.

“Ternyata tidak semudah yang dibayangkan, tantangan cukup banyak. Mulai faktor cuaca seperti terpaan
angi’?n dan hujan, gelombang air, proporsi dan akurasi bentuk lukisan, ternyata jauh lebih rumit jika dikerjakan di atas air,” katanya kepada Mongabay, Jumat (20/9/13).

Iwan adalan pelukis yang terkenal dengan karya realis. Ini pameran tunggal pertama di Gorontalo. Sebelum ini, Iwan kerap menggelar berbagai pameran, baik lukisan, patung dan karya instalasi di Jakarta, Surabaya, dan Malang.

Menurut dia, karya ini bentuk keprihatinan terhadap kondisi Danau Limboto, danau terbesar di Gorontalo. Adapun gambar telapak kaki itu, diambil dari kisah Lahilote, cerita rakyat Gorontalo yang hidup di danau yang kini kian dangkal itu.

Cerita ini mirip legenda Jaka Tarub. Lahilote adalah seorang pemuda perkasa yang mencuri selendang milik seorang bidadari yang tengah mandi di Danau Limboto , yang kemudian dinikahi.

Suatu hari, sang bidadari berhasil menemukan selendang itu dan kembali ke langit. Lahilote sempat menyusul dengan memanjat untaian rotan dan tinggal di kayangan hingga terjungkal ke bumi dengan tubuh terbelah dua.

Bekas salah satu kaki, konon terhempas di Pohe, sebuah kampung pesisir di Kota Gorontalo, dan masih bisa disaksikan hingga kini. Sedang bekas kaki lain di tempat lain.  Ada yang mengatakan di Pulau Boalemo, Sulawesi Tengah, Gunung Tilongkabila, dan di Desa Botuliodu di Kabupaten Gorontalo.

“Melalui karya ini, saya ingin menyampaikan pesan pentingnya menjaga kelestarian danau Limboto secara berkelanjutan.”

Kondisi danau Limboto yang terus mengalami pendangkalan. Eceng gondok pun memenuhi danau ini. Aksi melukis di atas danau dengan eceng gondok dilakukan Iwan Yusuf guna menggugah semua pihak agar peduli kelangsungan danau terbesar di Gorontalo ini. Christopel Paino
Kondisi Danau Limboto yang terus mengalami pendangkalan. Eceng gondok pun memenuhi danau ini. Aksi melukis di atas danau dengan eceng gondok dilakukan Iwan Yusuf guna menggugah semua pihak agar peduli kelangsungan danau terbesar di Gorontalo ini. Christopel Paino

Data Badan Lingkungan Hidup, Riset, Teknologi dan Informasi (Balihristi) Gorontalo, sedimentasi Danau Limboto kian mengkhawatirkan, mencapai 5.300 ton per tahun. Pembabatan hutan di hulu sungai, pertumbuhan eceng gondok yang massif menjadi persoalan yang memperparah kondisi danau ini.

Pendangkalan di danau yang kini tinggal 2.500 hektar, itu mencapai 66 senti meter per tahun, hingga kehilangan luas 66,7 hektar per tahun. Danau ini masuk dalam 15 danau kritis di Indonesia.

Kedalaman masa lalu mencapai puluhan meter, kini rata-rata hanya 2,5 meter. Jika dibiarkan begitu saja, danau ini diprediksi hilang pada 2025. “Danau kebanggaan Gorontalo ini sedang sekarat, perlu segera ditolong. Telapak kaki ini perumpamaan betapa dangkalnya kini danau ini, hanya setinggi telapak kaki Lahilote,” ucap Iwan.

Selain lukisan telapak kaki, dia akan membuat gambar lain di atas danau itu. Pameran tunggal “Menghadap Bumi” digelar hingga 12 Oktober 2013. Pengunjung dapat menyaksikan dari dekat, dengan menyewa perahu nelayan, atau dari atas Benteng Otanaha.

Lukisan telapak kaki raksasa ini, dapat dinikmati dari atas pesawat udara yang hendak mendarat di Bandara Jalaluddin Gorontalo. “Bagi yang ingin melihat dari pesawat, lukisan akan tampak jelas dengan duduk di kursi A atau sebelah kanan cockpit, pada saat pesawat hendak lepas landas  dan mendarat, baik yang menuju maupun dari arah Makassar.”

Rahman Dako, aktivis lingkungan di Gorontalo menilai yang dilakukan Iwan Yusuf sangat baik, di tengah ketidakpedulian pemerintah. “Kondisi danau sudah memprihatinkan, tapi pemerintah tidak begitu perhatian. Selama ini hanya lips service, kalau ada momen-momen politik baru bicara penyelamatan danau,” kata Rahman.

Menurut dia, kampanye penyelamatan danau ini harus menggunakan berbagai macam media, termasuk lukisan. “Ini sangat baik untuk membangun kesadaran.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,