Anak-Anak Adalah Korban Utama Perubahan Iklim Dunia

Anak-anak akan menerima dampak paling besar akibat perubahan iklim, yang meningkatkan resiko terhadap kesehatan, kekurangan gizi dan migrasi mereka. Hal ini terungkap dalam sebuah studi baru yang dirilis hari Senin 22 September 2013 silam. Sementara itu, harga pangan yang meningkat akibat pemanasan global, akan menghambat upaya untuk memerangi kelaparan. Sorang jurnalis Inggris, Fiona Harvey membahas fenomena ini dalam Harian The Guardian yang diterbitkan tanggal 25 September 2013.

Temuan ini dipublikasikan, saat para pakar tengah melakukan pertemuan di Stockholm, Swedia untuk membahas langkah paling komprehensif untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam lima hari berikutnya, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmenta Panel on Climate Change) yang terdiri dari para pakar dunia yang terkemuka akan memberikan hasil pembicaraan ini kepada pemerintahan negara-negara di dunia.

Para ahli diharapkan bisa menyampaikan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah manusia, dan hal ini akan menyebabkan kenaikan suhu Bumi hingga 2 derajat Celcius, dengan dampak ekstra yaitu menyusutnya lempengan es di Laut Arktik dan gletser, kenaikan permukaan air laut nyaris 1 meter di akhir abad ini dan curah hujan ekstrem di sebagian besar wilayah di dunia.

Anak-anak di Indonesia. Foto: Rhett Butler
Anak-anak di Indonesia. Foto: Rhett Butler

UNICEF, lembaga PBB yang menangani isu anak-anak menyatakan bahwa kendati anak-anak adalah yang paling rentan terdampak perubahan iklim, namun mereka sendiri tidak diikutsertakan dalam pembahasan ini. “Kita tengah berjalan menuju sebuah masa depan dimana segala kelebihan yang diciptakan untuk anak-anak di dunia ini kini terancam dan kesehatan, kesejahteraan, kehidupan dan kberadan mereka terganggu…kendati mereka bukan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim,” ungkap Direktur eksekutif UNICEF Inggris, David Bull. “Kita harus mendengarkan mereka.”

Anak-anak yang dilahirkan tahun 2012 lalu akan menjadi dewasa di tahun 2030, dimana saat itu perubahan iklim dalam bentuk kekeringan, banjir dan badai akan menjadi lebih sering terjadi. Diantara 10 negara yang paling rentan, termasuk Bangladesh, India dan Filipina, ada sekitar 620 juta anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun.

UNICEF memperkirakan bahwa 25 juta anak lainnya akan mengalami kekurangan gizi akibat perubahan iklim, dan 100 juta lainnya akan menderita kekurangan pangan, dimana mereka beserta keluarganya akan mengalami kemungkinan kehabisan pangan. Sementara antara 100 hingga 200 juta anak diperkirakan akan terpaksa mengungsi dari rumah karena perubahan iklim akan membuat mereka lebih menderita dibanding orang dewasa akibat kerentanan mereka terhadap penyakit. Dalam terpaan gelombang panas yang akan semakin kerap terjadi akibat perubahan iklim itu, bayi dan anak-anak balita akan mengalami kemungkinan kematian lebih besar atau menderita serangan panas karena kesulitan untuk menyesuaikan suhu tubuh mereka.

Secara terpisah, sebuah laporan dari Oxfam memperingatkan bahwa pemanasan global akan menyebabkan kenaikan harga pangan, yang akan memberikan dampak mengerikan bagi negara-negara miskin. Kendati orang-orang yang skeptis memandang bahwa perubahan iklim adalah bukan sebuah isu besar dan masih akan sangat lama terjadi, Oxfam memberikan contoh-contoh bahwa cuaca ekstrem yang menyebabkan kekurangan pangan dan kenaikan harga oangan, akan terus meningkat jika pemanasan global terus terjadi. “Hari ini, satu dari delapan orang di dunia mengalami kelaparan. Dari analisis yang ada, diperkirakan bahwa resiko kelaparan akan meningkat antara 10 hingga 20% di tahun 2050 akibat dari perubahan iklim,” ungkap studi ini.

Fiona Harvey, dalam tulisannya juga mencuplik kasus kekeringantahun 2012 yang melanda Rusia yang mengurangi hasil panen gandum hingga hanya seperempatnya, dan mengakibatkan harga gandum serta roti meroket tajam dan membuat sejumlah petani terlilit hutang dan mengalami kebangkrutan. Di tahun yang sama, kekeringan yang terburuk dalam 50 tahun terjadi di wilayah bagian midwest Amerika Serikat telah mengurangi hasil panen jagung hingga seprempatnya, dan membuat harga maizena naik hingga 40%. Dua tahun sebelumnya, Pakistan mengalami banjir besar dan menghancurkan ladang pangan seluas 570.000 hektar, dan 80% pangan yang disimpan hilang di berbagai wilayah.

Oxfam juga mengutip sebuah kajian yang melihat kekeringan yang melanda Afrika Timur di tahun 2011 dan kelaparan di Somalia sebagai akibat dari perubahan iklim. Dengan kemungkinan dampak di masa depan dari kenaikan suhu udara ini adalah semakin seringnya bencana alam seperti badai, banjir dan kekeringan, sulit rasanya jika tidak melihat faktor perubahan ikli sebagai penyebabnya.

Tim Gore dari Oxfam nengatakan,”Kami mengnginkan sebuah dunia dimana semua orang bisa menikmati hak yang sama terhadap makanan yang murah dan bergizi, dan kami tidak akan membiarkan perubahan iklim untuk menghalanginya. Para pemimpin yang mendengarkan berbagai temuan dari para peneliti perubahan iklim harus ingat bahwa dunia yang semakin panas, adalah dunia yang lapar. Mereka harus mengambil langkah taktis untuk menekan emisi dan memperoleh sumber daya ekstra untuk membangun sebuah sistem pangan yang berkelanjutan.”

Cerita Asli dimuat di Harian The Guardian, berjudul Children will bear brunt of climate change impact, new study says. 22 September 2013 oleh Fiona Harvey.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,