,

Nasib Masyarakat Adat Barambang Katute, dari Teror Penangkapan sampai Ancaman Tambang (Bagian 1)

Nasib masyarakat adat Barambang Katute, di Desa Bonto Katute, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan (Sulsel), makin tak menentu. Setelah didera teror penangkapan dengan tuduhan perusakan hutan lindung, kini mereka terancam tergusur akibat rencana tambang emas di kawasan hutan tempat mereka tinggal.

Anehnya, jika mereka terusir dari hutan karena alasan berada di hutan lindung, justru di tempat itu sedang ada eksplorasi tambang emas. Dengan kata lain, jika warga, pemerintah meminta mereka keluar dari hutan, sedang pengusaha malah diberi izin masuk.

Kini, setiap hari mereka diliputi was was dan curiga. Apalagi jika ada pendatang. Trauma penangkapan warga beberapa tahun lalu begitu membekas. Arman Dore Armansyah, Juru Bicara Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute, ketika ditemui Mongabay di Sinjai, menyatakan persoalan warga Barambang Katute, begitu sulit. Gertak sendiri beranggotakan warga Bonto Katute, mahasiswa dan aktivis lembaga non pemerintah di Sinjai dan Makassar.

Menurut dia, ada upaya sistematis mengusir warga dari tanah dan lahan adat saat ini. Kini, semua menjadi terang benderang setelah ada eksplorasi tambang emas di kawasan itu. “Dulu warga ditangkapi dengan tuduhan merusak hutan lindung, justru di daerah yang diklaim hutan lindung itu kini dipersiapkan untuk tambang. Seringkali warga menolak tambang itu mendapatkan intimidasi aparat,” ucap Arman.

Pengusiran pertama kali warga berawal pada 1994, ketika pemerintah menetapkan kawasan itu sebagai hutan lindung, dan tertutup akses masyarakat. Penetapan itu mengabaikan kenyataan di kawasan itu berdiam 2.000-an warga Barambang Katute.

Mereka turun temurun dan ratusan tahun mendiami kawasan ini. Ini bisa dibuktikan dengan sejumlah bukti peninggalan masa lalu, seperti kuburan tua, batas hutan larangan (hutan adat), perkampungan tua, situs perjanjian adat (Lempangang) dan bukti lain.

Pada 2005-2009, kawasan itu menjadi sasaran program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan. Ia berupa penanaman sejumlah pohon pinus, mahoni, gamelina, dan kayu manis dengan target menanami sekitar 84 hektar, dengan anggaran Rp167 juta. Warga awalnya menolak karena proses penanaman lebih banyak melibatkan orang luar.

Dalam perkembangan, sejumlah warga tergiur dengan gaji yang ditawarkan bersedia menanam. Mereka bahkan merelakan kebun ditanami, dengan janji hasil bisa dinikmati kelak jika pohon sudah besar.

Beberapa tahun kemudian, ternyata janji tinggal janji. Warga malah dilarang menebang pohon yang mereka tanam itu. Lebih parah lagi, ketika memasuki kebun mereka juga dilarang.

Mulai dari sinilah, warga terus mendapatkan intimidasi aparat. Puncaknya tahun 2009, sebanyak 11 warga ditangkap kepolisian dengan tuduhan merusak hutan lindung, karena mencabuti 44.000 pinus di lahan hutan seluas 40 hektar. Mereka pun harus menjalani proses pengadilan di PN Sinjai.

Menurut Arman, ada sejumlah keganjilan dalam tuduhan ini. Misal, klaim pinus yang dicabut 44.000 pohon setinggi sekitar satu meter, di lahan seluas 40 hektar. “Bagaimana mungkin warga bisa mencabuti pohon sebanyak itu tanpa teknologi memadai? Apalagi rentang waktu pencabutan pohon terjadi dalam seminggu. Warga malah tak tahu jika ada luasan lahan 40 hektar yang dutanami pinus,” ucap Arman.

 Masyarakat adat Barambang Katute, Kabupaten Sinjai Sulsel, membangun Posko penolakan  rencana tambang di kawasan adat mereka. Upaya eksplorasi tambang oleh  PT. Galena Sumber Energi,  sejak 2012 , namun diusir warga. Foto: Arman Dore Armansyah, Gertak
Masyarakat adat Barambang Katute, Kabupaten Sinjai Sulsel, membangun Posko penolakan rencana tambang di kawasan adat mereka. Upaya eksplorasi tambang oleh PT. Galena Sumber Energi, sejak 2012 , namun diusir warga. Foto: Arman Dore Armansyah, Gertak

Ambo Hasibo, seorang yang disangka mencabut pohon, sudah berusia tua dengan kondisi tubuh lemah. Kehadiran di pengadilan hanya bisa diwakili anaknya, Yusuf, guru honorer di SD Bolalangiri.

Selama proses penahanan dan persidangan berlangsung, warga bahu membahu membiayai transportasi 11 orang itu. Warga bahkan mengambil alih pekerjaan mereka dan menghidupi sanak keluarga yang ditinggal.

Keganjilan lain, kata Arman, saat persidangan, tidak pernah jelas yang dimaksud pelapor dalam kasus itu. Barang bukti yang diajukan di pengadilan hanya dua pinus. Tak pernah ada kejelasan darimana pinus yang tercabut itu.

Dia malah curiga ada indikasi korupsi dari program GNRHL, lalu melimpahkan kesalahan pada warga Barambang Tatute. Dari sidang itu, pada  11 Desember 2009, ke-11 warga dipenjara satu tahun enam bulan dan denda 50 juta per orang.

Upaya banding yang mereka lakukan tak membuahkan hasil. Pada 15 Desember 2011, Pengadilan Tinggi Sulselbar mengeluarkan putusan menguatkan putusan PN Sinjai. Warga yang didampingi tim advokasi dari Yayasan LBH Makassar mengajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung (MA).

MA menolak kasasi warga dan mengeluarkan surat perintah eksekusi badan dengan putusan bertanggal 1 Mei 2012 dengan putusan Mahkamah Agung Nomor : 1452 K/Pid.Sus/2011.

Pada 28 Februari 2013,  Kejaksaan Negeri Sinjai mengeluarkan surat panggilan pertama terhadap 11 warga agar menjalani keputusan MA dan dipanggil pada 6 Maret 2013.

Mereka tak merespon. Panggilan kedua dilakukan 13 Maret 2013. Tetap tak direspon warga. Terakhir, surat panggilan pada 20 Maret 2013, disertai ancaman penjemputan paksa jika warga tak memenuhi panggilan itu.

Warga bersikukuh menolak hukuman. Beberapa kali kepolisian datang untuk eksekusi selalu diusir warga.“Kami sebagian besar warga bersepakat, jika 11 orang itu dieksekusi, mereka pun akan turut masuk sel. Ini bentuk solidaritas warga, karena menilai putusan pengadilan benar-benar tak masuk akal dan menyalahi rasa keadilan,” kata Ramli, warga Desa Bonto Katute. (Bersambung)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,