Aktivitas Manusia, Penyebab Utama Kerusakan Alam dan Pemanasan Global

Aktivitas manusia diakui memang yang paling signifikan dan bertanggung jawab atas memanasnya suhu di Bumi, hal ini diakui oleh Panel Antarpemerintan untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel untuk Perubahan Iklim) atau IPCC melalui rilis yang mereka terbitkan tanggal 28 September 2013 silam.

Pernyataan ini dikeluarkan oleh panel antar pemerintah negara-negara berdasarkan paparan yang dilakukan oleh para peneliti yang mengatakan bahwa antara 95 hingga 100% dipastikan bahwa aktivitas manusia, seperti menggunakan bahan bakar fosil dan menebang hutan adalah semua penyebab di balik naiknya suhu secara global sejak tahun 1950. Kenaikan rata-rata suhu udara diperkirakan 0,85 derajat Celcius sejak tahun 1880, namun laporan baru ini mengingatkan lagi bahwa hal itu tergantung berapa banyak lagi bahan bakar fosil yang dibakar oleh manusia di masa mendatang, suhu udara bisa saja meningkat hingga 4 derajat Celcius dengan berbagai konsekuensi mengerikan bagi peradaban manusia.

“Menilik laporan dari IPCC maka inilah yang akan anda temukan: perubahan iklim itu nyata, hal ini tengah terjadi, manusia adalah penyebab dari perubahan ini, dan hanya tindakan nyata dari umat manusia yang bisa menyelamatkan dunia ini dari dampak terburuk,” ungkap Menteri Luar Negeri AS, John Kerry dalam pernyataannya. “Ini bukan sekedar laporan soal pabrik pengolahan yang bisa dilempar ke lemari besi. Ini bukan dokumen politik yang dihasilkan oleh para politisi. Ini adalah ilmu pengetahuan.”

Emisi akibat deforestasi yang diperkirakan terjadi sepanjang tahun 2000-an
Emisi akibat deforestasi yang diperkirakan terjadi sepanjang tahun 2000-an

Namun bagi orang yang mengikuti isu soal perubahan iklim selama dekade ini, hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan: para ahli dengan meyakinkan menyatakan bahwa bukan hanya Bumi yang memanas dalam seratus tahun terakhir, namun radiasi di bumi telah memaksa emisi gas rumah kaca yang juga menjadi penyebab utama. Terlebih lagi, para ahli semakin memastikan bahwa perubahan iklim tidak akan hanya menaikkan permukaan air laut dan mencairkan gletser, namun juga membuat cuaca ekstrem dan bencana alam semakin kerap terjadi dan semakin berbahaya, juga perubahan pola cuaca global, dan hal ini akan memaksa spesies-spesies yang tak terhitung jumlahnya untuk bermigrasi atau bahkan punah.

Dalam tabel ini terlihat kestabilan kenaikan suhu dan paparan karbondioksida di udara dalam 800.000 tahun, sementara di tabel kecil sebelah kanan terlihat, dalam waktu singkat kenaikan sangat cepat akibat emisi karbondiksida yang sangat parah antara tahun 1958 hingga 2013. Sumber: NOAA
Dalam tabel ini terlihat kestabilan kenaikan suhu dan paparan karbondioksida di udara dalam 800.000 tahun, sementara di tabel kecil sebelah kanan terlihat, dalam waktu singkat kenaikan sangat cepat akibat emisi karbondiksida yang sangat parah antara tahun 1958 hingga 2013. Sumber: NOAA

“Permukaan tanah secara global berubah di akhir abad ke-21 diperkirakan akan mengalami peningkatan sekitar 1,5 derajat Celcius dibandingkan tahun 1850 hingga 1900 dalam skenario yang reguler, namunbisa mencapai 2 derajat Celcius di kemungkinan terburuk,” ungkap Wakil Ketua IPCC di Grup Kerja I, Thomas Stocker. “Gelombang panas akan semakin sering muncul dan bertahan lama. Saat Bumi menghangat, kita kemungkinan akan melihat kawasan-kawasan basah menerima hujan yang lebih sering, dan kawasan kering menerima hujan yang lebih jarang, kendati hal ini akan ada pengecualian.”

Pemerintahan di seluruh dunia telah berkomitmen untuk mencegah kenaikan suhu udara mencapai 2 derajat Celcius selepas abad-21, satu hal yang akan membawa bencana bagi manusia jika ini sampai terjadi. Namun kendati pihak pemerintahan di dunia telah menyampaikan komitmn ini, namun hanya segelintir orang yang secara serius menekan penyebabnya: emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil.

0221-EMISSIONS-FROM-LAND-USE-CHANGE

Untuk mencegah hal ini menjadi lebih parah, untuk pertamakalinya IPCC merilis berapa jumlah karbon yang bisa teremisi ke udara untuk menjaga kenaikan suhu udara di Bumi berada di bawah 2 derajat Celcius: yaitu antara 800 hingga 880 gigaton. Namun peradaban manusia sudah melepaskan hingga 60% dari jumlah maksimal ini, atau sekitar 530 gigaton karbon di tahun 2011. Artinya, sebagian besar bahan bakar fosil yang masih tertanam di Bumi, harus dibiarkan di tempatnya dan tidak dieksplorasi untuk menghindari bencana yang lebih parah.

“Sekali lagi ini merupakan alarm bahaya bagi manusia: siapa saja yang mengabaikan hasil penelitian ilmiah atau tidak mengindahkan hal ini maka sama saja bermain api,” ungkap Kerry.

Penelitian ini memang tidak menutup mata dari temuan bahwa pemanasan global melambat dala 15 tahun terakhir, atau setidaknya lebih dari yang diharapkan. IPCC mengingatkan bahwa pemanasan tidak muncul secepat yang diperkirakan, but harus dicatat bahwa hal ini terkait dengan banyak faktor. Salah satunya, membandingkan suhu udara saat ini dengan tahun 1998 yang sangat panas akibat El Nino -telah membuat catatan seolah-olah kenaikan suhu udara mengalami stagnasi, namun faktanya bahwa setiap dekade dalam 30 tahun terakhir ini Bumi menjadi lebih hangat dibanding sebelumnya.

Selain itu banyak orang melihat bahwa melambatnya kenaikan suhu udara hanya trend jangka pendek yang tidak bertahan lama, seperti misalnya yang disebabkan oleh meletusnya gunung berapi yang memiliki efek mendinginkan, atau panas ekstra yang diserap oleh lautan. Menurut laporan ini, sekitar 90% panas dari emisi gas rumah kaca berakhir di lautan.

Ketua IPCC, Rajendra Pachauri mengatakan kepada Reuters bahwa para pakar harus melihat angka rata-rata melambatnya kenaikan suhu udara global yang terjadi saat ini dalam kerangka tiga atau empat dekade silam sebelum mereka menganggap hal ini sebagai sebuah trend baru dan menyesuaikan ekspektasi mereka.

Kebakaran lahan gambut Rawa Tripa. Foto: Sumatra Orangutan Conservation Program
Kebakaran lahan gambut Rawa Tripa. Foto: Sumatra Orangutan Conservation Program

Baru-baru ini sejumlah pakar yang tidak mempercayai fenomena perubahan iklim memberikan tanggapan kepada laporan IPCC -yang berisi 2500 halaman, mencuplik lebih dari 9.000 kajian, dan melibatkan ratusan pakar dari seluruh dunia- dengan sejumlah kolom opini, termasuk tentang tuduhan klaim ilmiah palsu dan tuduhan-tuduhan sejenis. Mereka bahkan menuduh para pakar yang bekerja menyusun laporan IPCC ini terlalu takut.

“Apa yang dikatakan IPCC itu masih jauh -sebaliknya, ini adalah organisasi yang sangat konservatif,” ungkap Stefan Rahstorf dari Potsdam Instiute for Climate Impact Research di Jerman kepada New York Times. “Itu tidak masalah asalkan pengguna laporan IPCC sangat menyadari hal ini. Konservatisme ini dibangun ke dalam struktur konsensus, yang cenderung menghasilkan denominator terendah di mana sejumlah besar ilmuwan setuju.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,