Sumber daya alam yang ditempatkan sebagai salah satu sumber utama penggerak mesin politik di Indonesia, membuat berbagai praktek buruk pengelolaan lingkungan masih terus terjadi hingga saat ini. Selain itu, lemahnya kehadiran negara dalam penyelesaian masalah lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan juga memperparah kerusakan alam dan hutan yang ada saat ini di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Abetnego Tarigan dalam paparannya di hadapan sekitar 300 mahasiswa yang hadir dalam seminar bertajuk Pemanasan Global Isu Strategis Pemilu 2014 yang digelar oleh Yayasan Perspektif Baru bersama Konrad Adenauer Stiftung (KAS) dan Mongabay-Indonesia di Auditorium Kampus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada hari Selasa, 1 Oktober 2013 silam.
Selain menyoroti lemahnya kehadiran negara dan praktek-praktek buruk pengelolaan alam, problema kebijakan juga menjadi penyebab kerentanan sumber daya alam sebagai sumber dana politik. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pemimpin-pemimpin partai politik dan sejumlah politisi yang menjadi pemilik pertambangan, perkebunan skala besar yang berkontribusi pada kerusakan dan eksploitasi alam secara berlebihan.
“Keterlibatan langsung aktor-aktor penguasa sumber daya alam dalam krisis negara juga memperparah kerusakan alam. Mereka yang menguasai sumber daya alam, maka merekalah yang menentukan siapa yang jadi bupati, siapa yang jadi gubernur, dan siapa yang akan mereka dukung menjadi presiden,” ungkap Abetnego dalam paparannya.
“Dalam konteks itulah, kita tidak bisa lagi bicara bahwa isu lingkungan itu konteksnya hanya sains atau ilmiah, tetapi sekarang ini bagaimana isu lingkungan ini bisa kita masukkan ke dalam agenda proses politik kita yang akan kita hadapi di tahun 2014 mendatang. Pertama targetnya tidak usah muluk-muluk, namun bagaimana kesadaran politik itu tumbuh, kedua adalah mendesak isu-isu lingkungan hidup kepada partai dan kandidat yang mencalonkan diri,” lanjutnya.
“Jika agenda ini bisa mereka bawa, maka ini akan menjadi sesuatu yang penting. Dan yang juga penting adalah memutus rantai penguasa politik dengan penguasa sumber daya alam. Hal ini untuk memutus praktek-praktek demokrasi yang transaksional tadi. Jika hal ini bisa berlanjut, maka kita berharap bisa melanjutkan perubahan ini di parlemen. Gerakan di parlemen ini untuk mendorong lintas partai untuk menangani isu lingkungan secara lebh serius, dan bukan seperti saat ini dimana komisi VII mengurusi lingkungan sekedarnya, dan tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada,” lanjut Abetnego.
Sebelumnya, dalam pembukaannya moderator acara ini, Wimar Witoelar menyampaikan bahwa posisi mahasiswa dan pemilih muda ini sangat strategis dalam pemilu tahun depan. “Dalam pemilu sebelumnya, ada 43% suara yang tidak menentukan pilihannya, sementara partai pemenang pemilu hanya meraih 33%. Nah kita sebagai orang kampus, sebagai akademisi harus tahu siapa yang harus dipilih. Dan suara yang 43% itu harus disumbangkan ke isu yang penting. Tidak ada isu yang lebih penting saat ini dibandingkan pemanasan global, penyelamatan hutan dan perlindungan komunitas,” ungkap Wimar.
“Kita menghadapi pemilu 2014, kita sudah melihat ada capres dari beberapa partai. Banyak kandidat menjanjikan banyak hal kepada rakyat ada yang menjanjikan dana UKM, ada yang menjaikan bantuan pada petani, nah Pemilu 2014 adalah kesempatan bagi mahasiswa bersama rakyat untuk memberikan suara mereka untuk perubahan. Siklus politisi itu cuma lima tahun. Nah sementara siklus kehidupan anda sebagai mahasiswa itu lebih panjang, 5 tahun pacaran, 10 tahun punya anak, 20 tahun menikah dan 30 tahun akan punya cucu. Nah anda punya horison yang lebih panjang dibanding para politisi, dan anda bisa menyelamatkan masa depan anda. Tidak perlu demo, tidak perlu aksi, tidak perlu teriak-teriak. Cukup berikan suara anda kepada calon presiden yang mengerti pemanasan global. Kalaupun tidak mengerti, ya setidaknya mau mendengar,” jelas Wimar lebih jauh.
Diskusi yang digelar sejak pukul 10 pagi ini, juga menghadirkan Gita Syahrani yang merupakan Senior Associate on Climate Change & Green Investment DNC Advocates at Work. Gita menyoroti sejumlah upaya pemerintah dalam menekan pemanasan global yang ada saat ini. Lewat penetapan Badan REDD+ Nasional yang disahkan oleh presiden bulan lalu.
“Namun masalah dalam proyek nasional REDD+ ini memang masih banyak permasalahan di lapangan. Misalnya Walhi yang menolak moratorium yang hanya soal izin pembukaan perkebunan baru, tetapi juga meliputi pembalakan liar secara berkelanjutan. Namun ternyata moratorium yang keluar hanya menolak izin baru di bawah peta kehutanan yang tidak sama dengan Undang-Undang yang ada, sehigga menimbulkan banyak kebingungan. “Salah satu cara terbaik adalah kita harus membuat satu peta yang diakui oleh seluruh pemangku kepentingan yang ada. Dan inilah mengapa dimulai inisiatif One Map harapannya agar Indonesia memiliki satu peta besar kehutanan yang bisa menjadi patokan bersama. Karena percaya atau tidak, kita masih belum punya peta ini,” ungkap Gita Syahrani.
Persoalan pemetaan ini, menjadi salah satu kunci kerumitan persoalan tata guna lahan dan proses perizinan serta konflik sosial yang terus terjadi di Indonesia sampai saat ini. Ketiadaan batas dan kriteria yang jelas dalam peta kehutanan ini mengakibatkan lemahnya legalitas atas lahan dan mendorong pihak pemegang otoritas kebijakan untuk menyalahgunakan wewenang melakukan eksploitasi lahan dan sumber daya alam secara serampangan.
Secara umum, lemahnya penanganan isu lingkungan di Indonesia ini membuat lemahnya daya saing kebijakan politik lingkungan di kancah nasional. Hal ini sangat berlawanan dengan apa yang terjadi di beberapa negara maju, terutama di Eropa saat ini. Dalam paparannya, Dr. Ahmad Maryudi, dosen Universitas Gadjah Mada, melihat fenomena meningkatnya perhatian dan kekuatan politik berbasis lingkungan di Eropa bisa memberikan perubahan yang signifikan dalam kondisi kehidupan masyarakat.