,

Kisah Pemburu Burung Rangkong di Belahan Utara Kalimantan Timur

Kampung Merasa adalah salah satu dari ribuan kampung di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kampung yang terletak  di Kecamatan Kelay, dan dipadati sekitar 1000 jiwa ini, berdiri sejajar dengan salah satu sungai utama yang bernama sama, Sungai Kelay. Nyaris semua aktivitas penduduk desa ini, tidak terlepas dari aliran sungai ini.

Bentangan alam yang indah serta hutan yang masih terlihat rapat di kawasan tersebut, menjadi rumah bagi keragaman hayati di dalamnya. Namun, seperti nasib banyak hutan lain di Indonesia, tangan-tangan jahil pun terus mengintai untuk mengekspolitasinya. Ratusan spesies mamalia, burung dan reptil hidup sebagai bagian dari sebuah rantai ekosistem di hutan ini. Burung Rangkong Badak (Buceros Rhinoceros) adalah salah satu spesies yang mudah ditemui di kawasan ini.

Burung yang memiliki jambul paruh berwarna merah tersebut, sejak tahun 2012 silam semakin marak diincar para pembeli dari luar negeri. Hal ini seperti disampaikan oleh Kepala Kampung Merasa, Effendi. “Warga kampung beberapa bulan lalu sering melakukan perburuan burung rangkong itu, karena banyak permintaan dan harganya cukup tinggi. Yang beli orang dari luar negeri, tapi lewat pengepul,” kata Effendi yang ditemui beberapa waktu lalu di Kampung Merasa.

Seiring ramainya perburuan rangkong di kampung Merasa, harga kepala rangkong pun meroket mencapai jutaan rupiah. Penduduk kampung yang mayoritas hidup dari berburu, mencari kayu gaharu  dan petani itu, sejak awal tahun ini semakin sering melakukan perburuan terhadap burung yang dilindungi tersebut.

Menurut Effendi, sebagai kepala kampung yang juga pernah mengikuti perburuan rangkong tersebut, setiap subuh, ia bersama para penduduk telah memasuki hutan yang ada di belakang kampung, bahkan ia bergerak bersama penduduk menyusuri sungai Kelay, untuk mencari lokasi dimana burung yang sering berkelompok tersebut bertengger.

“Saya waktu itu mendengar besarnya permintaan kepala burung rangkong itu. Bersama-sama penduduk kampung kami melakukan perburuan sejak subuh, kami ada yang membawa sumpit, ada yang membawa sejata rakitan, masuk ke hutan di belakang kampung, bahkan kami juga mencari dengan menyusuri sungai,” kata Effendi. “Kalau sudah dapat burungnya, kami langsung potong di tempat, kadang dagingnya kami makan, kepalanya kami simpan, kadang kami tinggalkan begitu saja. Kami kalau berburu bisa berhari-hari, bisa dua hari bahkan tiga hari. Sekali berburu bisa dapat tiga sampai empat ekor. Burung ini kadang berkelompok dan selalu berpasangan.”

Setelah kembali ke kampung, para pemburu tersebut mulai mengumpulkan hasil buruannnya. Lalu mereka menghubungi perantara pembeli untuk mengambil barangnya. Harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Burung enggang ini sempat menjadi primadona di kampung Merasa, namun saat ini aktivitas perburuan sudah terhenti.

Saat ini, permintaan anjlok dan harga semakin jatuh. Harga setiap paruh bahkan hanya mencapai Rp 100 ribu rupiah perkepalanya. “Kami saat ini sudah tidak lagi melakukan perburuan, karena harganya yang jatuh, bahkan hanya sampai ratusan ribu, tidak sesuai dengan biaya yang kami keluarkan dan resiko yang kami tanggung bila melakukan perburan,” lanjut Effendi

Menurut Effendi, kepala rangkong badak ini digunakan sebagai obat dan ukiran. Biasanya peminatnya dari Negara China. “Kalau kepala rangkong yang sudah diukir pasti sangat mahal, lalu ada yang bilang juga bisa sebagai obat, tidak tahu bagaimana caranya,” tambah Effendi.

Dari data yang ada, Indonesia merupakan rumah bagi 13 jenis burung rangkong yang tersebar di hutan hujan tropis, tiga diantaranya bersifat endemik. Mayoritas, rangkong banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah hutan perbukitan (0 – 1000 m dpl). Di daerah pegunungan (> 1000 m dpl) rangkong sudah mulai jarang ditemukan. Pulau Sumatera menempati jumlah terbanyak dengan 9 jenis, di susul dengan Kalimantan dengan 8 jenis.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,