,

Wilmar Jual Asiatic Persada, Kemitraan Dengan Suku Bathin Sembilan Buyar

Konflik selama 25 tahun antara Masyarakat Batin Sembilan dan PT Asiatic Persada yang sudah hampir bersepakat dengan pola kemitraan dipastikan gagal. Secara diam-diam PT Asiatic -anak perusahaan Wilmar International Limited- ternyata sudah berpindah kepemilikan ke PT Agro Mandiri Semesta (AMS), Ganda Group dan PT Prima Fortune.

Menurut Project Officer Forest Peoples Programme (FPP), Sopie Chao, informasi soal pengalihan kepemilikan ini didapat secara resmi dari pihak manajemen Wilmar Group di Singapura. Peralihan kepemilikan itu terjadi sekitar pertengahan April 2013.

“Informasi itu terlambat kami ketahui. Itupun setelah kami tanyakan ke pihak manajemen Wilmar. Bukan mereka yang mempublikasikan secara terbuka. Kalau tak salah hanya dimuat di Harian Sinar Harapan,” kata Sopie dalam jumpa pers pada Kamis, 3 Oktober 2013 di kantor Yayasan Community Alliance on Pulp and Paper Advocacy (CAPPA). Jumpa pers tersebut juga dihadiri Karlo Lumban Raja dari Sawit Watch, Feri Irawan dari Perkumpulan Hijau, Rukaiyah dari Yayasan Setara, M. Yunus dari Yayasan CAPPA, Ashari dari Serikat Petani Indonesia (SPI) serta perwakilan dari Masyarakat Batin Sembilan.

Menurut Rukaiyah dari Yayasan Setara, masyarakat sudah melakukan tiga langkah menuntut lahan dari PT Asiatic. Pertama adalah mediasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi dan Bank Dunia. Kedua, tekanan dalam bentuk pendudukan lahan dan demonstrasi secara terus menerus bahkan hingga berbulan-bulan. Ketiga, pendekatan persuasif melalui Tim Terpadu.

Rukaiyah mengatakan langkah itu sudah cukup maksimal mereka lakukan sampai akhirnya perundingan sudah hampir mencapai kesepakatan dalam bentuk kemitraan. Namun kesepakatan itu kembali buyar karena PT Asiatic kembali berganti kepemilikan. “Tak heran pada akhirnya masyarakat meminta HGU PT Asiatic dicabut,” kata Uki.

Tiga pekan lalu, seseorang bernama Iwan mendatangi kantor PT Asiatic, ternyata logonya memang benar sudah berganti PT AMS. Iwan bermaksud mengajukan penawaran pengelolaan limbah B3. Iwan akhirnya pulang kembali dan mengganti surat penawaran tersebut. “Tapi tolong jangan ditulis nama perusahaan saya ya, nanti ditolak pula penawaran kami,” kata Iwan kepada Mongabay Indonesia pada Kamis, 3 Oktober 2013.

Mat Samin, 50 tahun, warga Desa Tanjung Lebar mengaku sudah sangat lelah berunding dengan PT Asiatic. Setiap kali hampir berujung kesepakatan dengan pola kemitraan selalu saja perusahaan itu beralih kepemilikan. “Sayo sudah malas nian. Konpensasi, kemitraan, pembakaran, perusakan, berunding lagi, janji mau diberi konpensasi lagi, kemitraan lagi, ukur ulang lagi. Anak saya ditahanlah, dan lain-lain, Begitu terus menerus. Pokoknya kami minta HGU PT Asistic dicabut karena mereka sudah melakukan pelanggaran HAM berat,” kata Mat Samin.

“Saya pun senang daripada konflik berkepenajangan dan bertumpahan darah terus di lapangan. Konflik terus menerus. Baik di Tanjung Lebar, Sungai Beruang, Muara Penyeruan, Bungku, Merkanding. Bagus dicabut saja HGU mereka. Banyak sekali hak masyarakat di sana. Selalu saja ada janji konpensasi, kemitraan, tapi tak kunjung terbukti,” kata Mat Samin.

Masyarakat Batin Sembilan yang kehilangan tempat tinggal. Foto: Dok. Yayasan CAPPA
Masyarakat Batin Sembilan yang kehilangan tempat tinggal. Foto: Dok. Yayasan CAPPA

Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan mengatakan bahwa kasus ini merupakan bukti bahwa pemerintah telah melakukan pembiaran. Jika pemerintah serius dan memiliki itikad baik mereka bisa mengevaluasi izin HGU PT Asiatic. “Ternyata kan tidak, pemerintah selalu berkilah bahwa mereka kecolongan dan tak pernah diberitahu kalau perusahaan itu berpindah-pindah tangan,” katanya.

Dari persepektif hukum internasional, kata Sopie Chao, tidak hanya pemerintah yang bertanggung jawab tetapi juga pihak swasta punya tanggung jawab yang lebih. Perjanjian internasional pada prinsipnya pihak swasta harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Apalagi perusahaan besar macam Wilmar, yang 30 persen produknya dijual ke pasar Eropa. Wilmar juga anggota RSPO. Sopie Chao menyayangkan RSPO tidak pernah memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar prinsip ataupun kode etik.

“Mereka selalu bilang harus ada negoisasi, dialog dan harus cari solusi. Kasus PT Asiatic sudah lama sekali. Tidak ada progres, tidak hasil, tetapi RSPO tidak pernah memberikan sanksi. Pertanyaannya adalah mana kekuatan RSPO memberikan sanksi ketika perusahaan melakukan pelanggaran? Saya khawatir kasus ini justru membahayakan akuntabilitas RSPO sendiri,” katanya.

Peta lahan milik masyarakat. Silakan klik untuk memperbesar peta.
Peta lahan milik masyarakat. Silakan klik untuk memperbesar peta.

Asiatic dan Sejarah Panjang Konflik Sosial 

PT Asiatic Persada dulunya bernama PT Bangun Desa Utama (BDU) yang dimiliki keluarga Senangsyah. Sejak tahun 1970-an memegang konsesi pembalakan yang luas di wilayah tersebut. Pada tahun 1987, PT BDU dengan legalitas yang patut dipertanyakan diberikan izin areal seluas 20.000 hektare. Berada di Kabupaten Batanghari yang belakangan dimekarkan menjadi dua kabupaten: Muaro Jambi dan Batanghari. Izin tersebut diberikan di areal pembalakannya untuk mengembangkan perkebunan.

Menjelang tahun 1990-an barulah perkebunan kelapa sawit dibangun. Pada tahun 1992, perusahaan itu juga berganti nama menjadi PT Asiatic Persada (AP). Saat perkebunan mulai diperluas di tanah Batin Sembilan, sengketa tanah mulai bermunculan hingga sekarang.

Puncaknya pada Juli 2011, perusahaan mengontrak pasukan brigade polisi mobil (Brimbo) untuk mengamankan pengendalian perkebunan. Hingga akhirnya 9-11 Agustus 2011, telah terjadi kekerasan di Desa Sungai Beruang. Sebanyak 83 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal karena digusur Brimob. Satu orang tertembak peluru karet, 15 orang lainnya terluka akibat pukulan benda keras. “16 orang itu kini cacat seumur hidup,” kata Mat Samin.

PT Asiatic adalah perusahaan yang paling sering berganti kepemilikan. Tahun 2001 hingga 2006, dikuasai oleh perusahaan dari Inggris yaitu Commonwealth Development Corporation Pasific Rim (CDC-Pacrim). Tahun 2006 sampai 2007 dikuasai oleh Cargill dari Amerika. Tahun 2008 hingga 2013 giliran Wilmar International Limited yang berbasis di Singapura yang menguasai. Terakhir April 2013, Wilmar Group menjualnya ke PT AMS Ganda Group dan PT Prima Fortune. Dua perusahaan itu juga tidak memiliki website dan nomor telepon yang bisa dikontak.

Data Yayasan CAPPA menyebutkan bahwa pada tahun 2010, jumlah penghuni lapas Muarabulian di Kabupaten Batanghari berjumlah 120 orang. 85 orang di antaranya terkait kasus konflik lahan dengan PT Asiatic.

Peristiwa itu melalui proses perundingan yang panjang selama dua tahun itu kemudian menghasilkan perundingan yang difasilitasi Tim CAO, Bank Dunia, bersama Tim Terpadu. Namun perundingan yang sudah mengerucut pada kesepakatan kemitraan buyar setelah PT Asiatic Persada tiba-tiba dijual kembali.

Tenda pengungsian masyarakat Bathin Sembilan. Foto: Dok. Cappa
Tenda pengungsian masyarakat Bathin Sembilan. Foto: Dok. Cappa

Pihak Pemerintah Enggan Tanggapi

Kepala Biro Humas dan Protokol Provinsi Jambi, Rahmad Hidayat menolak berkomentar terkait proses sengketa Masyarakat Batin Sembilan dengan PT Asiatic. “Kami belum tahu jika PT Asiatic itu sudah dijual ke pihak lain. Sebaiknya Anda konfirmasi saja dengan Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan atau dengan Asisten 2,” katanya kepada Mongabay-Indonesia lewat telepon seluler pada Kamis, 3 Oktober 2013.

Kedua nomor telepon genggam milik Kepala Biro Ekonomi Pembangunan sayangnya tak bisa dihubungi. Mongabay-Indonesia juga gagal menghubungi Asisten 2 Pemprov Jambi. Pesan singkat tak berbalas. Telepon tak kunjung diangkat hingga berita ini diturunkan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,