, ,

Kala Masyarakat Pulau Wangi-wangi Ikut Mengelola Hutan

Desa Longa, terletak di Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dulu, di desa ini hamparan hutan rindang, cuaca sejuk dan segar. Kini semua berlalu. Dalam 20 tahun terakhir, warga Desa Longa, merasakan betapa hutan mereka hilang. Bahkan, tahun 2008, luasan hutan tersisa 2,5 hektar.

Padahal tahun 1960-an, masyarakat desa ini mengenal ada lima hutan di wilayah mereka. Ada hutan Motika Tooge, Motika Jamalagi, Motika Labhangka, Motika Onto Ala, dan Motika Sombu Waliullah. Luas mencapai setengah dari wilayah Desa Longa, 1.728 hektar.

Kondisi ini menyebabkan kekhawatiran Sunarwan Asuhadi. Dia mengajak warga Desa Longa mengidentifikasi berbagai masalah kehutanan di daerah itu. Saat ini, Longa dikenal sebagai salah satu desa sukses dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sunarwan sebelumnya mengikuti pelatihan fasilitator masyarakat.

Sunarwan menceritakan, bagaimana memulai upaya fasilitasi di desa itu. Awalnya dia berkenalan dan berteman akrab dengan enam warga Longa. Kelompok kecil ini aktif mengkaji dan berdiskusi bersama. Dia melakukan ini demi membangun pertemanan dengan masyarakat. “Saya yakinkan warga, saya datang tidak bawa proyek, tidak bawa uang. Ini harus disampaikan. Sebab selama ini warga selalu melihat orang luar sebagai pembawa bantuan, pemberi uang, dan penyedia proyek,” katanya Senin (30/9/13).

Bersama keenam warga ini, Sunarwan mulai mengidentifikasi faktor-faktor penyebab deforestisasi hutan di Desa Longa itu. Mereka pun menyimpulkan, penyebab antara lain kegiatan bertani berpindah-pindah dengan pembakaran, penebangan liar untuk berbagai keperluan, dan melemahnya fungsi pengawasan lembaga adat atau Sara.

Fakta lain, ada perubahan pola tanam, produksi kebun ubi kayu yang makin berkurang, dan persediaan air tawar menipis serta suhu perkampungan Longa makin ekstrem berbeda. Mereka sadar, kegagalan proyek reboisasi hutan selama ini karena tidak menempatkan warga sebagai penentu dan pengambil keputusan. “Selama ini masyarakat hanya penerima. Itu salah satu faktor kegagalan berbagai program.”

Sunarwan bersama keenam warga Desa Longa lalu membentuk Kelompok Kauluma. Kegiatan mereka antara lain pembibitan dan penanaman tanaman lokal di Lahan Kaomu, atau lahan rumpun keluarga seluas kurang lebih 10 hektar. Beberapa jenis pohon antara lain bintangor, bitti, dan beberapa tanaman lain. Warga yang bergabung pun menjadi 20 keluarga.

Pemerintah Wakatobi mendukung aksi ini. Awal 2012, fasilitasi Kelompok Kauluma dilakukan melembaga melalui organisasi pendamping bernama Lembaga Meaka. Kelompok ini pun mulai mengembangkan kegiatan lebih kreatif. “Setiap tamu dapat menanam dan memberikan identitas pada pohon dengan membayar biaya bibit dan pemeliharaan tanaman selama 20 tahun. Cukup membayar Rp100 ribu per pohon.”

Pada 2015, kelompok ini merancang menjadikan lokasi yang disebut Kolo Kauluma sebagai Pasar Kebun atau Wana Wisata. Upaya ini, kata Sunarwan, memadukan prinsip-prinsip ekowisata, dengan praktik agroforestry, laboratorium keragaman hayati tanaman lokal Wakatobi sekitar satu hektar. Ia juga menjadi obyek wisata dengan menyediakan beberapa komoditas pangan, palawija, sayur-sayuran dan kerajinan tangan. 

Kamaruddin Azis, dari Committe, sebuah lembaga yang banyak membantu Sunarwan dan warga Desa Longa, optimistis dengan perkembangan ini.

Dari awal Oktober 2012 hingga akhir Maret 2013, Committe memfasilitasi penyiapan informasi melalui kajian aksi berbasis warga gejala ekstrem ekosistem di Wakatobi. Pada kajian itu, 20 desa, di tiga pulau utama, yaitu Pulau Wangi-wangi, Kaledupa dan Tomia, menjadi sasaran. Teridentifikasi beragam fakta dan isu terkait kegiatan warga berbasis hutan, tanah dan air (HTA).

”Hingga kini, Desa Longa berkembang menjadi arena berbagi pengetahuan tentang bagaimana menyelamatkan ekosistem hutan dengan melibatkan masyarakat. Di sana, terjadi pertukaran gagasan antar aktor, baik lokal, regional maupun internasional,” kata Kamaruddin.

Penilaian Kamaruddin tak berlebihan. Kini, Desa Longa banyak dikunjungi orang-orang yang ingin belajar pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Sejak 2011, ada beberapa beberapa kunjungan ke Kelompok Kauluma, antara lain, dari negara-negara Coral Triangle Initiative’s (CTI) seperti Philipina, Malaysia, Papua New Guinea, termasuk Kepulauan Solomon. Ada juga dari Tanzania. Pada 2012, kunjungan dari Bhutan dan Lombok Timur, Myanmar. 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,