,

Konflik Tak Kunjung Padam, Sumbang PAD 68 Miliar Setahun

Lima komunitas ini memang telah menahun berkonflik dengan perusahaan. Namun setelah dihitung secara cepat dengan metode yang sederhana ternyata total mereka telah berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Batanghari sebesar Rp 68,9 miliar pertahun.

Pendapatan ini dihitung dan dianalisa lewat Workshop Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam yang dilaksanakan pada 8 hingga 10 Oktober 2013 di Jambi. Pesertanya dari lima komunitas tadi: Dusun Simpang Macan, Dusun IV Sungai Beruang, Desa Bukit Makmur, Desa Pinang Tinggi, dan Desa Pompa Air – semuanya berada di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Pelatihan ini merupakan prakarsa Tim Kerja dari Yayasan CAPPA, Setara, Perkumpulan Hijau, dan AGRA yang dimoderatori Sarikat Hijau.

Rinciannya dari yang terendah hingga yang tertinggi adalah Dusun Simpang Macan sebesar Rp 201,5 juta, Sungai Beruang Rp 1,5 miliar, Pompa Air Rp 4,8 miliar, Pinang Tinggi Rp 5,1 miliar, dan Bukit Makmur Rp 57,4 miliar.

Kusnadi Wirasaputra dari Sarikat Hijau, 41 tahun mengatakan bahwa dalam studi kasus ini mengklasifikasikan dalam tiga hal. Pertama, nilai guna langsung (direct use values). Kedua, nilai guna tidak langsung (indirect use values), dan ketiga adalah nilai pilihan (option values).

Menurut Kusnadi, indeks yang terendah berada di Dusun Simpang Macan, penghasilan satu orang hanya sekitar Rp 6.434 per hari atau sekitar Rp 193 ribu perbulan. Perhitungannya dari total produksi pertahun Rp 201,5 juta dibagi 87 jiwa dibagi 12 bulan dan dibagi lagi dengan 30 hari.

Mat Samin dari Dusun Simpang Macan mengaku bahwa hidup mereka masih miskin karena berkonflik dengan PT REKI. Mereka ke luar masuk mesti melalui pos keamanan PT REKI dan PT Asiatic Persada. Setidaknya mereka mesti melewati empat pos penjagaan. Rata-rata satu pos mereka mesti bayar Rp 50 ribu, dengan alasan untuk biaya perbaikan jalan. “Kami harus mengeluarkan biaya Rp 200 ribu untuk melewati empat pos itu,” ujar Mat Samin.

Sebelumnya Kusnadi pernah melakukan hal yang sama di enam lokasi yaitu Pulau Sangihe dan Tomohon (Sulawesi Utara), DAS Kapuas dan DAS Katingan (Kalteng), Kabupaten Mahakam Ulu dan Kabupaten Paser (Kaltim).

Kondisi tempat tinggal warga di Dusun Simpang Macan. Foto: dok Yayasan CAPPA
Kondisi tempat tinggal warga di Dusun Simpang Macan. Foto: dok Yayasan CAPPA

Indeks yang tertinggi yaitu Rp 79.710 perhari setiap jiwa berada di Desa Bukit Makmur. Desa eks transmigrasi ini berdiri pada 20 Januari 1994. Luas desa adalah 8.146 hektare dengan jumlah penduduk sekitar 2.000 jiwa. Aset produksi desa ini antara lain 3.000 hektare kebun sawit, 10 hektare kebun karet, hutan seluas 300 hektare, dan 540 sumur.

Penghasilan desa ini didapat dari hasil kebun sawit, karet, ternak sapi, kambing, durian serta ikan sungai totalnya sekitar Rp 57,4 miliar pertahun. Pendapatan total ini dibagi 2.000 jiwa dibagi 12 bulan dan 30 hari maka hasilnya adalah indeks Rp 79.710 perhari atau sekitar Rp 2,4 juta perbulan. “Kami kaget, tidak menyangka bahwa ternyata desa kami kaya raya,” kata Bambang Kriswono, perwakilan dari Desa Bukit Makmur.

Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jambi sebesar Rp 1,3 juta. Tentu saja pendapatan di Desa Bukit Makmur melampaui batasan tersebut. Sebaliknya pendapatan di Dusun Simpang Macan dengan indeks Rp Rp 6.434 per hari atau sekitar Rp 193 ribu perbulan jelas jauh di bawah pendapatan buruh dengan patokan UMP Jambi.

Apakah artinya pendapatan khusus di Bukit Makmur sudah bisa dikategorikan hidup layak? Menurut Kusnadi jika dibandingkan dengan konflik dengan perusahaan yang tak kunjung padam, kondisi ini merupakan suatu fakta yang fantastis. “Biasanya daerah konflik itu justru membuat ekonomi lumpuh. Ini kan tidak. Mereka masih tetap survive,” ujar Kusnadi.

Kelima komunitas itu sejak tahun 1980-an sudah berkonflik dengan PT Asiatic Persada yang terus berganti-ganti kepemilikan. Selain itu juga berkonflik dengan PT Asialog yang kemudian arealnya sekarang dikelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) atau yang lebih dikenal dengan Harapan Rainforest.

Selama ini, kata Kusnadi, sumbangan dari desa tidak pernah dianggap. Desa seringkali dikucilkan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah daerah. “Masyarakat juga perlu tahu agar mereka tidak berbondong-bondong pindah dari desa ke kota. Namun yang terpenting mesti ada proteksi terhadap aset-aset produksi oleh pemerintah daerah,” ujarnya.

Untuk itu, dia berharap masyarakat bisa mengurangi konsumsi non-primer, seperti pulsa, bensin, dan lain-lain. Kemudian, mengefektikan lahan yang tersedia. Misalnya menanam pinang, pohon kapuk, buah-buahan, atau tanaman pangan.

“Saya usul di Dusun Simpang Macan tanam kopi hutan. Pokoknya optimalisasi lahan yang tersedia sambil menunggu konflik dengan pihak perusahaan selesai. Nanti kan HGU mereka habis tahun 2019, ya hadang di BPN (Badan Pertanahan Nasional),” katanya.

Hasil workshop tersebut, kata Kusnadi, akan mereka tindak lanjuti dengan lebih mendetailkan data-data sumber daya alam yang potensial. Setelah itu, mereka akan melakukan hearing dengan Pemerintah Kabupaten Batanghari. Hingga kemudian, mereka akan melakukan ekspedisi ke semua desa yang berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai Batanghari. “Saya kira, pemerintah perlu mengetahui valuasi ekonomi semua daerah,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,