Komnas HAM : Sengketa Lahan Dengan Perkebunan Sawit Dominasi Laporan Pengaduan Dari Sumatra

Pada tanggal 9 hingga 10 Oktober kemarin, Komnas HAM membuka posko pengaduan di Jambi. Posko pengaduan yang berlokasi di kantor Walhi Jambi ini telah menerima pengaduan dari 3 perwakilan masyarakat.

Laporan pertama datang dari perwakilan Kelompok Tani Maju Jaya (KTMJ) Dusun Batas Desa Bukit Baling, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi. Rombongan kelompok tani ini beramai – ramai mendatangi posko pengaduan sambil membawa spanduk dan melakukan orasi. KTMJ mengadukan masalah sengketa lahan perkebunan sawit dengan PT. Kirana Sekernan (KS). Pada tahun 1993 KTMJ mendapat izin dari bupati Muaro Jambi untuk membuka lahan seluas 163 hektar.

Kemudian pada tahun 1994 kelompok tani yang beranggotakan 257 orang ini kembali mendapat izin dari Bupati Muaro Jambi untuk membuka lahan seluas 1.513 hektar. Pada tahun 1995 lahan milik KTMJ ini dikerjasamakan menjadi perkebunan sawit dengan PT. KS dan total luas lahan yang dikerjasamakan menjadi 2.000 hektar.  Namun setelah 2 tahun kemitraan ini berjalan PT KS melayangkan surat ke KTMJ yang menyatakan bahwa lahan yang diakui oleh PT. KS sebagai milik dari KTMJ hanya seluas 409 hektar saja dengan alasan lahan milik anggota KMTJ tidak terdaftar nama dan tanda tangannya. Pihak KTMJ tidak terima dengan pernyataan PT. KS tersebut dan hingga kini kasus sengketa lahan ini belum ada penyelesaiannya.

Laporan senada juga dilayangkan oleh warga desa Arang – Arang, Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi yang berseteru dengan PT. Sumbertama Nusa Pertiwi (SNP). Lahan seluas 1.170 hektar milik warga transmigrasi di desa Arang – Arang  kini telah dikuasai dan dinyatakan oleh PT. SNP sebagai lahan perkebunan sawit milik mereka.

Penerimaan laporan oleh Komnas HAM. Foto: Komnas HAM
Penerimaan laporan oleh Komnas HAM. Foto: Komnas HAM

Pengaduan seputar sengketa lahan juga datang dari warga desa Sungai Bungur, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi yang tengah bersengketa dengan PT. Puri Hijau Lestari (PHL), anak perusahaan Makin Group. Pada tahun 2004 PT. PHL berjanji akan memberikan lahan perkebunan sawit masyarakat pola plasma seluas 1.200 hektar kepada masyarakat desa Sungai Bungur namun pihak perusahaan hanya memberi warga desa lahan seluas 975 hektar. Sementara itu sejak tahun 2008 masyarakat desa Sungai Bungur harus membayar hutang ke bank atas sisa lahan yang dijanjikan oleh perusahaan yaitu lahan seluas 225 hektar. PT. PHL kemudian menawarkan pada masyarakat desa Sungai Bungur lahan semak belukar seluas 225 hektar yang menjadi lahan sengketa perusahaan dengan desa lain. Masyarakat desa Sungai Bungur menolak tawaran PT. PHL dan menilai tawaran tersebut adalah bukti ketidakseriusan PT. PHL untuk menyelesaikan masalah ini.

Sebelum mengadukan konflik ini pada Komnas HAM masyarakat desa Sungai Bungur juga telah melakukan aksi pendudukan lahan sawit yang saat ini dikuasai oleh PT. PHL pada tanggal 24 September lalu. “Kasus ini sudah dapat dipidanakan karena terdapat unsur penipuan” ujar Rudiansyah,  Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jambi yang mendampingi masyarakat Sungai Bungur untuk menyelesaikan kasus ini. Menurut Rudi masyarakat desa Sungai Bungur telah mengadukan sengketa lahan ini pada pemerintah kabupaten Muaro Jambi. Menyikapi laporan tersebut pemerintah kabupaten telah membentuk tim terpadu untuk menyelesaikan sengketa lahan masyarakat desa Sungai Bungur dengan PT. PHL. Pada tanggal 21 Oktober nanti masyarakat desa akan bertemu dengan tim terpadu dan perusahaan untuk menyelesaikan kasus ini. Rudi memprediksi hanya akan ada dua opsi bagi masyarakat desa Sungai Bungur yaitu menerima hasil pertemuan dengan terpaksa atau menolak hasil pertemuan tersebut.

“Semua pengaduan yang kami terima di posko pengaduan ini telah kami catat dan berikan nomor pelaporan agar lebih mudah dilacak perkembangannya” kata Eko Dahana, PLT Kabag Pengaduan Masyarakat Komnas HAM. Menurutnya laporan warga Desa Arang-Arang dan Sungai Bungur sudah mereka terima di Jakarta bulan lalu. “Mereka datang  kesini untuk melengkapi berkas pengaduan mereka saja” ujar Eko. Eko akan mengupayakan agar kasus – kasus ini dapat segera ditindaklanjuti bulan depan.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Komnas HAM pada tahun 2012 ada 90 berkas pengaduan dari Jambi dan sebagian besar berkas pengaduan itu mengenai sengketa lahan. “Tidak hanya Jambi, umumnya laporan pengaduan masyarakat dari daerah – daerah di Sumatra adalah mengenai konflik lahan” jelas Eko. Ia juga menambahkan bahwa jumlah laporan pengaduan masyarakat mengenai konflik lahan di daerah yang menjadi wilayah produksi PTPN (PT. Perkebunan Nusantara) jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang bukan wilayah produksi PTPN.

“Karena keterbatasan sumber daya saat ini Komnas HAM hanya memiliki 6 kantor perwakilan yaitu di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua” ungkap Eko. Menurutnya posko pengaduan ini adalah langkah proaktif Komnas HAM untuk lebih dekat pada masyarakat dan merubah asumsi masyarakat bahwa untuk mengadu ke lembaga ini harus mendatangi kantor pusat di Jakarta. Jambi adalah provinsi ke-4 yang dipilih Komnas HAM sebagai tempat posko pengaduan. Sebelumnya Komnas HAM telah membuka posko di Bali, Gorontalo dan Purwokerto. Probolinggo akan menjadi lokasi terakhir posko pengaduan ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,