,

Kala Kehidupan Nelayan Sario di Manado Makin Terdesak

Setelah silang pendapat dengan sekuriti Mantos, Senin (7/10/13), nelayan kembali menghadapi perdebatan terkait batas timbunan reklamasi pantai. Mereka mendesak pemerintah kota dan pengembang lebih transparan dan menyertakan nelayan dalam penentuan batas reklamasi pantai.

Jumat pagi (11/10/13), nelayan Sario Tumpaan di Daseng Panglima, Manado, tampak gusar menyaksikan sejumlah orang menuding-nuding laut. Dalam jarak pandang sekira 30 meter, mereka menyaksikan ‘kemesraan’ Franky Mewengkang, asisten bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Kota Manado, dengan Hengky Wijaya, juragan Manado Town Square (Mantos).

Diduga, mereka tengah memperkirakan batas timbun PT Gerbang Nusa Perkasa atau Kembang Utara, pengelola Mantos. Nelayan tak senang. Sebab, nelayan Sario Tumpaan, satu pihak yang terlibat dalam mediasi dengan Komnas HAM, 2010. Mereka diberikan hak kelola dan hak memanfaatkan wilayah terbuka pantai.

Beberapa saat kemudian, seorang utusan datang membawa alat ukur. Tanpa dikomando, sejumlah nelayan yang berkumpul di Daseng Panglima langsung menghampiri dan menghalangi upaya itu.“Ini wilayah kami. Anda masuk kemari atas izin siapa?” kata seorang nelayan.

Mendengar bentakan itu, wajah sang utusan pucat. Belasan nelayan memandangi. Tak bisa berbuat banyak, dia mengaku hanya mengikuti perintah atasan. Melihat keadaan ini, Franky Mewengkang dan Hengky Wijaya, langsung menghampiri kerumunan. Kini, mereka berbalik mendesak nelayan untuk membiarkan proses pengukuran berlangsung. Franky mengatakan, ruang terbuka pantai ini merupakan lahan 16 persen milik pemerintah Manado. “Ini aset pemerintah kota, jangan dikaburkan. Anda bisa dipidana,” kata Franky pada Rignolda Djamaluddin, Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulawesi Utara (Sulut).

Nelayan naik darah. Mereka menilai,  lahan 16 persen milik pemerintah kota ada di darat, bukan laut. Rignolda mengatakan, lahan 16 persen tak boleh memasuki ruang kesepakatan dengan Komnas HAM.

Franky punya pendapat lain. Bagi dia, setelah penimbunan Mantos rampung, wilayah  itu menjadi lahan 16 persen milik pemerintah Manado. “Di lokasi lain lahan 16 persen tak bermasalah, hanya di sini saja ada masalah.”

Rignolda berkeras. Dia menilai, tak ada pembahasan mengenai lahan 16 persen dalam mediasi dengan Komnas HAM kala itu. Malahan, sebagai pejabat pemerintahan, Franky dimintamempelajari notulensi kesepakatan para pihak bersama Komnas HAM.

Tak lama, Hengky Wijaya menggabungkan diri dalam perdebatan itu. Sebagai pengembang,  dia menyatakan menyerahkan permasalahan kepada pemerintah kota. “Saya tidak ingin ribut dengan kalian. Apapun yang pemerintah katakan saya ikut.”

Sesuai di gambar,  kata Hengky, terbuka di air itu 40 meter. Dia tak sepakat ketika Rignolda mempermasalahkan batu di bawah laut yang keluar jalur. “Loh, kan, terbukanya di atas laut bukan di bawah,” ucap Hengky.

Perdebatan makin kusut. Nelayan memilih merundingkan permasalahan ini secara internal. Rehat 30 menit. Perwakilan pemerintah kota sepakat. Setelah itu, para pihak bersengketa kembali diskusi. Namun, silang pendapat kembali menjadi debat.

Perdebatan Rignolda Djamaluddin, Ketua Antra dengan Franky Mewengkang dari Pemerintah Manado. Foto: Themmy Doaly
Perdebatan Rignolda Djamaluddin, Ketua Antra dengan Franky Mewengkang dari Pemerintah Manado. Foto: Themmy Doaly

Marthen Pangoempia, warga Sario Tumpaan, menyatakan, tidak sepakat pada batas yang ditunjuk Frangky. Menurut dia, terjangan ombak cukup mempengaruhi perubahan batas. “Tidak bisa, pak. Perahu saya saja sudah enam kali rusak. Bukan main hebatnya ombak itu.”

Frangky bergeming. Dia yakin benar. Lahan yang dipertahankan diyakini milik pemerintah kota. Melihat itu, Hengky Wijaya membantu Franky. Selembar kertas disodorkan. Isinya, denah lokasi hasil kesepakatan dengan Komnas HAM. “Lebih baik kalian tentukan lokasi, nanti kita tarik 40 meter. Selesai.”

Para pihak sepakat. Masing-masing mengirim utusan untuk mengukur batas 40 meter di laut. Kali ini, Pemkot Manado diwakili Dinas Tata Kota. Hasil cukup mengejutkan. Seorang pengukur sampai naik ke lahan hasil reklamasi. “Lahan hasil timbunan Mantos telah melewati batas kesepakatan,” kata Michael, anggota Antra yang ikut pengukuran.

Ketika diwawancarai, Franky tetap berkeras lahan itu milik pemerintah kota. Menurut dia, ruang terbuka pantai merupakan lahan 16 persen milik PT. Sulenco yang telah diokupasi pemerintah kota.

Dia mengakui, pengukuran itu tetap menggunakan batas  40 meter sesuai kesepakatan. “Kalau memang pas di situ, ya, Pak Hengky harus wellcome. Jika ternyata harus digeser maka pemerintah akan menggeser. Karena lahan ini milik pemerintah.”

Pemerintah kota, akan kembali mencocokkan blok plan dengan hasil kesepakatan bersama Komnas HAM.  Dia tak berkomentar banyak menyangkut hasil timbunan Mantos yang diduga melewati batas. “Memang terlewat beberapa meter. Tapi, itu kan, menurut mereka (nelayan).”

Meskipun sempat menyatakan hasil timbunan akan menjadi lahan 16 persen milik pemerintah kota, Franky memberi jawaban berbeda kepada wartawan. Menurut dia, tak ada masalah dengan lahan itu karena sudah dipatok BPN di sekitar Mantos. “Informasi tentang lahan 16 persen itu tidak benar.”

Rignolda Djamaluddin, mengatakan, masalah batas ini harus menjadi pelajaran bagi Komnas HAM. Baginya, hasil mediasi seharusnya tidak boleh meninggalkan kasus tanpa edukasi pada para pihak.

Dalam tata cara pembuatan izin lingkungan, pemerintah dinilai sangat tertutup dan tak pernah menyertakan nelayan. Dia menyesalkan, ketegasan pemerintah hanya berlaku pada masyarakat tapi mesra dengan pengusaha. “Kalau keadaan terus seperti ini, lama-kelamaan nelayan di Manado akan habis.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,