, , ,

Opera Lingkungan: Toba Terkini Lewat Perempuan di Pinggir Danau

toba3-1240341_519867318096122_1376425087_n

“Siapa kau? Aku tak berbicara tentang masa lampau tetapi aku tentang kekotoran air. Bisakah kau membayangkan bagaimana janin yang tumbuh dalam air ketuban yang kotor? Bagaimana perasaanmu bila bayi yang keluar dari rahimmu dimandikan dengan air yang kotor?” teriak si ibu ikan.

Bersamaan dengan itu, terdengar rintihan dan suara-suara perempuan serta tangisan anak-anak. “Hai para perempuan,  berhentilah  merintih dan menangis. Hapus airmatamu, ikat rambutmu,  tegakkan kepalamu. Pukul genderang, tebarkan senyummu dan nyanyikan dengan nyaring lagu peringatan sambil menyusuri jalan-jalan, lorong dan setiap sudut bumi. Katakan pada setiap orang yang kau temui,  kita masih bisa mengubah keadaan.”

Si ibu ikan tengah berargumen dengan para penentang.  Mereka adalah orang-orang yang membela ‘kerusakan’ di sekitar Danau Toba, demi alasan pembangunan. Dia juga berusaha membangkitkan semangat para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari kerusakan danau.

Itulah cuplikan adegan opera Batak berjudul Perempuan di Pinggir Danau, atau Borua Nadi Duru Ni Tao yang sudah dan akan pentas di beberapa kota. Pertunjukkan ini berlangsung atas kerjasama Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Pelayanan Komunikasi Masyarakat Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (YAKOMA – PGI).

Opera ini mengisahkan legenda Batak tentang asal mula Danau Toba. Tersebutlah satu keluarga, Samosir, Sondang Nauli dan sang anak, Toba. Keluarga ini terpisahkan karena sang ayah, Samosir, mengingkari janji dengan membuka jati diri asli sang ibu, seekor ikan. Samosir bertugas menjaga kebersihan Danau Toba jika ingin tetap melihat bayangan sang istri di air di setiap bulan purnama.

Namun, tugas itu sulit dijalankan Samosir. Hari demi hari, air Danau Toba, tak lagi jernih. Danau sudah dipenuhi tambak-tambak, sampai eceng gondok. Di tepian danau, hutan mulai gundul, hotel-hotel dan penginapan berdiri serta bentuk-bentuk lain yang mengancam kelestarian danau yang sudah dikenal di dunia ini.

Opera yang ditulis Lena Simanjuntak-Mertes ini disajikan dengan serius santai karena dibumbui permainan kata-kata  yang sukses mengundang senyum dan tawa penonton.

toba1-1175208_519866734762847_742500752_n

Thompson HS, Direktur Artistik Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan co.sutradara “Perempuan di Pinggir Danau” mengatakan, opera ini tampil di berbagai kota di Indonesia, dari Sumatera, sampai Jawa bahkan di Jerman. Di Medan, Pematang Siantar dan Balige, sejak akhir September hingga awal Oktober. Lalu, di Bandung 17 Oktober, Yogyakarta pada 21 Oktober di Padepokan Bagong Kusudiarjo, Solo 23 Oktober di Taman Budaya Jawa Tengah. Disusul Jakarta, di Gedung William Soerjadjaya, Fakultas Kedokteran UKI – Cawang pada 25-26 Oktober 2013.

Setelah itu mereka akan manggung di Koeln, Jerman pada 1-12 November 2013. Pementasan di Jerman ini, pada kegiatan Batak Day. Tujuannya, memperkenalkan kebudayaan asli Batak, penyebarluasan kondisi terkini Danau Toba serta peran penting orang Batak di Eropa berkontribusi dalam penyelamatan seni, budaya dan lingkungan mereka.

Tumpak Winmark Hutabarat, Koordinator Pementasan Jakarta, mengatakan, lingkungan dalam naskah “Perempuan di Pinggir Danau” ini menceritakan keindahan Danau Toba yang saat ini dalam kerusakan ekologis. Danau Toba sebagai sumber kehidupan orang Batak harus diselamatkan demi generasi mendatang.

“Pertunjukan ini menjadi menarik karena mengangkat tema lingkungan, air dan perempuan. Sebab orang yang pertama sekali terkena dampak dari kerusakan lingkungan dan air adalah perempuan,”  katanya, Jumat (18/10/13).

Opera Batak dianggap sebagai teater tradisi etnik Batak yang berkembang sekitar tahun 20-an sampai tahun 80-an. Namun seni pertunjukan ini mati suri pada 80-an ke atas karena minim perhatian pemerintah ditambah kehadiran radio dan televisi.

Sekitar 2002 opera Batak lahir satu grup percontohan di Tarutung bernama Grup Opera Silindung (GOS). Penggalian ulang Opera Batak ini berkat kerjasama dengan assosiasi tradisi lisan (ATL). Pada 2005,  dilakukan pengembangan opera Batak dengan membuka Pusat latihan Opera batak (PLOt) di Pematang Siantar.

Setelah PLOt terbentuk, kegiatan-kegiatan terkait budaya dan opera muncul. Dalam tujuh tahun, PLOt mengadakan banyak kegiatan mandiri dan pementasan di berbagai kota.

toba2-969846_519867018096152_43180041_n

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,