Jamlis Lahandu, terlihat serius mengikuti setiap rangkaian acara di KTT Hukum Rakyat yang diselenggarakan himpunan HuMa. Dia dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadu Lako, Sulawesi Tengah (Sulteng), yang getol memperjuangkan hak-hak masyarakat yang kerab diabaikan kala pemodal masuk.
Dia baru menghirup udara bebas. Jamlis mendekam di balik jeruji tahanan selama hampir enam bulan. Dia bebas 24 September 2013. Tak lama, dia terbang dari Sulteng menuju Jakarta untuk berbagi cerita dan menyampaikan gagasan bagaimana PHR dalam mengatasi konflik di daerahnya.
“Saya tinggal di Balaisan Tanjung, kecamatan di Donggala. Di sana ada indikasi logam mulia. Investor dari Bogor mau masuk sejak 2008 dan mendapat banyak tentangan warga,” katanya, Selasa (8/10/13).
Perusahaan itu bernama PT Cahaya manunggal Abadi. Izin eksplorasi perusahaan sudah keluar 2010. Kegiatan eksplorasi sangat meresahkan masyarakat.“Mereka tak sosialisasi dan perencanaan tidak melibatkan masyarakat. Mereka datang ke saya minta bantu. Akhirnya kita komunikasikan dengan masyarakat bahkan pemerintah.”
Pada Juni 2010, perusahaan mengadakan seminar kerangka analisis dampak lingkungan (Amdal). Dia bertindak sebagai penilai. Dalam seminar itu, perusahaan diberi tugas sosialisasi kepada masyarakat, tapi tak pernah dilakukan. “Eksplorasi terus berlangsung. Tiba-tiba 2011, mereka ganti konsultan menjadi Universitas Hassanudin.”
Ketika seminar digelar, masyarakat tetap menolak. “Waktu itu kita usulkan harus ada evaluasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan agar ada menghitung hak hak dan kerugian masyarakat. Konsultan merespon, tapi ini tidak dilakukan perusahaan,” ucap Jamlis.
Dalam dokumen itu disebut kegiatan eksplorasi menggunakan metode tambang terbuka. Kepada Jamlis, masyarakat bertanya mengenai hal ini. Jamlispun menjelaskan model tambang terbuka dan tertutup.“Saya putar film mengenai tambang di Freeport. Kita jelaskan. Kita kasih pengetahuan bagaimana seharusnya tanaman milik masyarakat itu diganti ketika invetasi tambang masuk, misal cengkih. Kita kan harus mengalikan umur cengkih dan jumlah produksi. Kerugian ekologis harus dihitung. Masyarakata akhirnya mengerti.”
Jamlis mengatakan, lahan yang akan dieksplorasi milik warga dan tak bisa dijual. Seharusnya, masyarakat memiliki saham 30 persen. Konsultan merespon, tapi tidak dilakukan perusahaan. “Izin eksplorasi sudah keluar Juli 2010. Luas lahan 5.000 hektar oleh bupati, 90 persen lahan masyarakat. Sejumlah tanaman tumbuh di sana.”
Masyarakat menuntut evaluasi ekonomi SDA dan lingkungan. Dengan cara itu, masyarakat yang mempunyai hak bisa diperjuangkan. Dia memfasilitasi masyarakat hingga sampai ke bupati, DPRD, hingga Badan Lingkungan Hidup. Namun, tak ada tindak lanjut.
Keresahan masyarakat meledak Juni 2012. Mereka aksi penebangan pohon di jalan raya agar bupati mau datang dan mendengar aspirasi. Inipun tak digubris juga. Aksi berlanjut pada 17 Juli 2012. Mereka aksi besar-besaran. Camat, kepala desa ikut diundang, tapi tak hadir.
“Mereka yang geram dan marah spontan membakar eskavator dan gedung milik perusahaan. Suasana begitu genting. Besok hari polisi masuk dan melakukan penembakan. Lima orang terkena tembak, dan satu meninggal dunia.”
Sebelum kejadian itu, pada Maret mereka menemukan pemalsuan tanda tangan dokumen oleh perusahaan. Masyarakat melapor ke Polda, direktur jadi tersangka dan tidak ditindaklanjuti. “Saya dianggap tokoh masyarakat. Hingga perusahaan, kepolisian, pemerintah daerah menganggap sebagai provokator. Saya memutar film tentang Freeport juga dianggap memprovokasi. Ternyata itu tak bisa dibuktikan. Saat kejadian berlangsung, saya tak ada di lokasi. Saya dituduh pasal 170 bersama-sama masyarakat merusak,” ucap Jamlis.
Tak hanya Jamlis, setidaknya lebih 20 orang yang dipenjarakan. “Saya enam bulan dipenjara. Dua bulan di Polres dan hampir empat bulan di rutan Kabupaten Donggala. Semua dipenjara. Vonis macam-macam. Ada satu tahun, enam bulan. Kalau saya divonis bebas. Tapi kemarin sempat ditahan.”
Saat ini, perusahaan tambang emas itu sudah tak beroperasi. Keadaan kembali seperti semula. Namun, bukan berarti permasalahan selesai. Kabar yang Jamlis dengar, perusahaan itu menjual izin eksplorasi kepada perusahaan lain.
Andreas Lagimhu, juga punya cerita. Dia bersemangat memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Suku Kulawi di Palu, Sulteng. Konflik mereka dengan Taman Nasional Lore Lindo. “Awalnya kami pahami hutan itu penyangga hidup. Tiba-tiba ada kebijakan negara yang melintas pada hak-hak kita. Bicara soal hak walaupun diatur kebijakan negara, harus dilihat siapa yang tinggal di situ. Siapa yang banyak berinteraksi di situ?”
Sejak dijadikan Taman Nasional 1984, masyarakat adat tak mendapatkan akses ke hutan. Banyak warga dikriminalisasi karena ketahuan memasuki taman nasional tanpa izin.“Kalau diatur kebijakan kan hanya oleh kata jangan dan boleh. Masyarakat yang tinggal di dalam hutan sebenarnya sudah mempunyai konsep bagaimana mengelola hutan mengedepankan kearifan lokal. Kita juga mempunyai hukum yang mengatur hubungan antara manusia dan alam.”
Andreas bergabung menjadi PHR sejak tahun 1999. Dia mengumpulkan berbagai dokumen mengenai kearifan lokal masyarakat adat setempat dalam hal pengelolaan hutan.“Kami tidak mau berkonfrontasi. Kami hanya mengkomunikasikan dengan taman nasional mengenai konsep konservasi seperti zonasi. Ada zona rimba, zona pemanfaatan dan lain-lain. Kami juga punya konsep mengenai itu. Hanya bahasa berbeda.”
Konferensi pada 8-10 Oktober di Cibubur itu mempertemukan seluruh pendamping hukum rakyat (PHR) dari Aceh hingga Papua. Mereka berdiskusi dan menceritakan pengalaman-pengalaman selama mendampingi masyarakat di pelosok dalam menghadapi konflik lahan.
Myrna Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute mengatakan, ada kecenderungan konflik SDA terus mengalami peningkatan. Selama ini, dalam menangani konflik, pemerintah tak mengupayakan penyelesian dengan satu sistem yang terintegrasi dan komprehensif.
Pemerintah, katanya, cenderung lewat penyelesaian kasus per kasus dan tak menyelesaikan akar persoalan. Pemerintah dianggap menutup dan menggali lubang. “Persoalan dasar ada dua. Pertama, ketiadaan pengakuan hukum kuat dan jelas bagi kelompok masyarakat yang berhak atas tanah itu. Kedua, ketidakadilan pengalokasian ruang dan lahan.”
Salah satu solusi yang ditawarkan Perkumpulan HuMa, pemerintah harus menyiapkan satu kelembagaan independen yang akan berbicara soal proses klaim masyarakat verifikasi, mediasi penyelesaian konflik.“ Jika ada konflik yang agak sulit melalui mediasi, peradilan khusus itu dimungkinkan ada.” Pemerintah juga harus mempercepat pengalokasian ruang untuk masyarakat. “Karena kita berkejaran dengan kebijakan lain yang juga mengalokasikan ruang untuk investasi. Pengalokasian ruang rakyat dan investasi perlu diseimbangkan. Tidak perlu sama tetapi paling tidak seimbang sesuai proposi bagi masyarakat,” ucap Myrna.
Tak jauh beda diungkapkan Rikardo Simarmata, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, konflik lahan makin marak karena agenda reforma agraria sama sekali tak tersentuh pemerintah.“Sepuluh tahun terakhir pemerintah bangga dengan sumbangsih pendapatan dari dua sektor penting tambang dan sawit. Itu kan izin hak berlangsung tanpa ada penataan kepemilikan dan penguasaan agraria.”
Untuk itu, kata Rikardo, agenda reforma agaria harus dijalankan. Salah satu bagian itu dengan ketersediaan data-data lapangan. “Kalau ketersedian data sudah ada, dalam menerbitkan izin hak atau lisensi berbasis pada data itu. Konflik bisa diminimalisir.”
Saat konflik sengketa lahan adat masuk ke ranah pengadilan, seringkali masyarakat kalah. Kata Rikardo, penyelesaian konflik tak maksimal karena salah dalam penanganan.“Mungkin bukan selalu, tapi mayoritas kalah. Karena ada satu dua kasus dimenangkan. Salah satu penyebab logika penanganan kasus, hakim tak mempertimbangkan perkara pokok yaitu klaim atas lahan.”
Menurut dia, hakim terlalu fokus pada kasus yang diadukan. Seharusnya, kasus-kasus seperti itu, perkara pokok dulu diselesaikan.“Siapa yang menjadi pemilik lahan itu? Kalau memang pemilik lahan masyarakat kan tidak logis kalau dikriminalisasi.” Dia mengimbau penanganan sengketa lahan, aparat jangan menggunakan tindakan represif.
Lilik Mulyadi, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengatakan, sengketa lahan makin marak karena banyak penyebab. “Budaya, hukum dan struktur harus dibenahi. Orang kebanyakan siap menang tapi tak siap kalah. Mereka akan mempertahankan walau tahu itu bukan hak dia. Sisis lain, hukum juga tidak jelas mengatur hal seperti itu.”
Mengenai, masyarakat kerap kalah, kata Lilik, itu terjadi karena pembuktian dalam pengadilan bersifat formal.“Kadang-kadang terjadi iya memang lahan itu hak masyarakat, tapi mereka tak bisa membuktikan di pengadilan. Sedang lawan, dalam hal ini perusahaan bisa menunjukkan bukti-bukti formal seperti izin konsesi.
Lilik mengakui, putusan hakim kadang tak menyelesaikan permasalahan. Malah ada beberapa putusan justru membuat suasana makin memanas.“Kelemahan di peradilan kita memang seperti itu. Dalam penyelesaian konflik seharusnya semua pihak bisa duduk bersama, baik masyarakat, investor dan pemerintah. Bicarakan solusi terbaik apa. Jika peraturan yang kurang, segera perbaiki.”