Taman Nasional Kutai: Solusi Konflik Lamban, Taman Nasional Pelan-Pelan Terjual (Bagian I)

Kondisi Taman Nasional Kutai (TNK) kian memprihatinkan. Beragam aktivitas perambahan di hutan konservasi seluas 198.629 hektare ini terus terjadi, dan kian merajalela. Selain aktivitas pembalakan liar, ancaman nyata datang dari aktivitas jual beli lahan yang diduga dilakukan masyarakat setempat.

Hal ini, diungkapkan Kepala Seksi Pengelolaan TNK wilayah Sangatta, Hernowo Supriyanto, beberapa waktu lalu, di Balai Sangkima. Hernowo mengungkapkan, tidak hanya terkonversi menjadi pemukiman dan perkebunan warga. Area TNK khususnya yang berlokasi di sepanjang poros Bontang-Sangatta rawan terjadi transaksi jual beli tanah.

“Dari hasil pengamatan kami ke masyarakat, tanah di TNK ditawarkan berkisar Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta per hektare. Dan dari hasil investigasi juga, penghasilan masyarakat berkisar Rp 30 sampai Rp 40 juta perbulan. Bisa dibayangkan yang dirambah berapa banyak,” ujar Hernowo.

Praktek memperjualbelikan tanah negara yang berstatus sebagai taman nasional ini juga dibenarkan Kepala Balai TNK, Erly Sukrismanto. “Hampir tiap akhir pekan, banyak mobil-mobil mewah ke sini (TNK). Mereka merupakan orang-orang yang mau ngecek tanahnya di TNK,” kata Erly.

Sejatinya, persoalan perambahan di TNK oleh masyarakat telah terjadi bertahun-tahun lalu. Muaranya, muncul permintaan agar kawasan TNK yang kini dikuasai oleh masyarakat di enclave (dikeluarkan dari kawasan TNK). Namun, usulan agar kawasan TNK di enclave tersebut tak semudah membalik telapak tangan.

Buktinya, hingga kini usulan tersebut belum disetujui oleh Menteri Kehutanan yang sudah berganti beberapa kali. “Mulai zaman Pak Kaban (MS Kaban) sampai sekarang, usulan itu belum disetujui. Tapi aksi perambahan semakin menjadi,” ungkap Erly. Enclave di taman nasional, memerlukan proses lebih panjang dibanding dengan enclave di hutan lindung.

Enclave itu dilakukan apabila masyarakat sudah bermukim di suatu kawasan lebih dulu, sebelum kawasan tersebut ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Kalau di taman nasional, sebelum di-enclave, status kawasannya harus diturunkan dulu menjadi hutan lindung misalnya,” lanjutnya.

Guna mengatasi konflik sosial tersebut, sejatinya pernah dibentuk tim terpadu yang beranggotakan masyarakat, pengelola TNK, LSM, hingga Pemkab Kutim. Terdapat tiga  rekomendasi yang telah disodorkan ke Menteri Kehutanan terkait konflik sosial di TNK yakni enclave, zona khusus, dan relokasi.

“Kalau dari pengelola TNK tentu opsi relokasi atau zona khusus. Tapi masyarakat tentu mau enclave. Nah, sampai berganti tiga menteri (kehutanan), belum ada diputuskan mana yang dipilih. Tapi, kesan di masyarakat seolah-olah enclave itu sudah disetujui,” pungkas Erly.

Jembatan Ulin di Sangkima_Tanaman Nasional Kutai. Foto: Hendar
Jembatan Ulin di Sangkima_Tanaman Nasional Kutai. Foto: Hendar

Hutan Terus Berkurang, Warga Tak Mendapat kepastian Hukum

Kepala Desa Sangkima Lama, Murdoko menuturkan kondisi warganya yang hidup dengan ketidakpastian. Warga berharap, usulan enclave yang diajukan bisa segera disetujui oleh Menteri Kehutanan.  Seperti warga negara lainnya, Murdoko menilai warga Sangkima Lama juga berhak mendapat perlindungan atas hak hidup layak. “Kami perlu perlindungan, kepastian, dan berhak dibina secara ekonomi,” lanjutnya.

Persoalan yang dimaksud Murdoko yakni kepastian atas lokasi yang saat ini mereka huni. Menurutnya, status taman nasional, yang melekat pada tanah yang mereka huni terus memberikan rasa khawatir. “Ya kita jadi tidak punya kepastian,” katanya.

Lantas, bagaimana dengan opsi zona khusus yang disebut-sebut sebagai win-win solution atas konflik tersebut? Diketahui, penerapan zona khusus memungkinkan masyarakat untuk tetap tinggal di kawasan TNK, dengan konsekuensi mematuhi peraturan-peraturan taman nasional yang berlaku.

Dengan zona khusus, masyarakat tetap bisa tinggal, dan bercocok tanam di zona khusus, tentu dengan jenis tanaman keras seperti karet dan durian. Masyarakat juga dipersilakan memanfaatkan kayu untuk keperluan pribadi, dan bukan jual beli. “Tapi apa iya zona khusus memberikan jaminan. Bagaimana nanti anak cucu kami, apa ada jaminan tidak diusir. Kami di sini hanya ingin bertani dan hidup tenang,” papar Murdoko.

Murdoko pun menegaskan warganya tidak pernah melakukan praktek jual beli tanah. “Kami hidupnya dari bertani. Tidak ada yang menjual kayu. Apalagi jual beli tanah. Bisa langsung ditanya ke bapak-bapak ini, apa ada yang jual beli tanah,” tegas Murdoko yang kompak dibenarkan oleh tokoh masyarakat Sangkima Lama.

Salah satu tokoh masyarakat Sangkima Lama, Andi A Iskandar mengaskan, masyarakat Sangkima Lama kompak menuntut opsi enclave. “Tidak ada zona khusus, enclave mutlak dilakukan. Dengan enclave, masyarakat bisa dilibatkan menjaga hutan,” tegasnya. Begitu pula dengan opsi relokasi yang secara tegas ditolak warga. “Kami hidup dari pertanian. Bagaimana kalau kami direlokasi,” tegas Andi.

Andi pun mengaku, ia dan keluarganya sudah bermukim di TNK secara turun temurun. “Orang tua saya sudah ada di sini sejak 1917, jauh sebelum tempat ini ditetapkan jadi TNK. Saya ada buktinya,” tandasnya. Senada, Marten juga menegaskan warga Sangkima Lama akan melakukan berbagai upaya untuk memertahankan tanah yang mereka huni sekarang. “Bukan kami menuntut sertifikat. Tapi kepemilikan itu perlu. Kalau statusnya bukan kepemilikan, takutnya dikemudian hari akan ada masalah,” tuturnya.

Saat ini, terdapat sekitar 2.000 jiwa yang bermukim di Sangkima lama. 1.965 diantaranya mengantongi KTP Elektronik. Dari 2.130 hektare lahan di Sangkima Lama yang dikuasai masyarakat, 530 hektare diantaranya digunakan untuk pemukiman. Sedangkan 180 hektare untuk perkebunan karet, 190 hektare untuk kebun sawit, dan 202 hektar lainnya untuk konservasi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,