Mahkamah Militer Banda Aceh menjatuhkan vonis dua dan tiga bulan penjara kepada dua oknum TNI AD yang menyimpan offset atau boneka dekorasi dari harimau Sumatera (Pathera tigris sumatrae) dan beruang madu (Helarctos malayanus) di rumahnya. Mereka terbukti melanggar UU No.5 Tentang Konservasi Keaneragaman Hayati dan Ekosistemnya pasal 21 ayat 2b junto pasal 40 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Dalam putusan yang dibacakan Hakim Ketua Budi Parnomo pada Kamis (24/10/13), Sersan Kepala Joko Rianto anggota Kodim 0106 Aceh Tengah divonis kurungan penjara dua bulan, denda Rp5 juta dan subsider tiga bulan. Sedang Prajurit Kepala Rawali Takesma anggota Yonif 114/Satria Musara Aceh Tengah dihukum tiga bulan kurungan, denda Rp2,5 juta subsider tiga bulan.
Kedua tentara ini sudah beberapa bulan dalam tahanan PM AD di Banda Aceh sebelum diproses hukum di Mahkamah Militer. Mereka ditangkap polisi militer di Aceh Tengah, karena ada laporan ada offset harimau dan beruang madu dari lembaga pemerhati satwa di Jakarta.
Dalam sidang putusan ini, Mahkamah Militer menghadirkan barang bukti dua offset harimau Sumatera dan satu beruang madu ukuran cukup besar. Barang bukti ini diserahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, untuk diamankan negara.
Hakim Budi Parnomo mengatakan, kedua tentara itu menyimpan offset satwa langka bukan sebagai koleksi. Alasan Joko untuk mengobati istri yang sedang sakit. “Menurut penjelasan saudaranya, istri bisa disembuhkan dengan ada kuku beruang dan kulit harimau di rumah,” katanya dikutip dari The Globe Journal. Sedang Rawali menyimpan offset harimau karena sebagai jaminan dari rekan yang meminjam uang Rp9 juta.
Menurut Budi, mereka tetap dihukum karena menyimpan satwa liar dilindungi. “Bila tidak dihukum, nanti perbuatan sama diikuti orang lain yang mengakibatkan akan punah satwa harimau Sumatera yang dilindungi itu.”
Patroli Harimau di Aceh
WWF Indonesia meminta aparat penegak hukum meningkatkan patroli pengawasan perdagangan harimau Sumatera di Aceh karena kasus perburuan dan perdagangan sangat tinggi. Azhar, Koordinator Spesies WWF Indonesia Kantor Program Aceh, Jumat (25/10/13), mengatakan, WWF menyambut gembira proses pengadilan pertama kali digelar di pengadilan militer di Aceh ini. Namun, putusan hakim masih jauh dari harapan para aktivis penyelamat satwa langka dan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Menurut Azhar, bukan rahasia lagi jika Aceh Tengah, daerah asal tugas dari kedua oknum prajurit itu, merupakan sentra utama perburuan harimau Sumatera di Aceh terutama diperdagangkan sebagai offset. “Permintaan cukup tinggi dari kalangan kolektor, dan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, oknum aparat keamanan dan pejabat pemerintah menjadi bagian mata rantai perdagangan offset harimau.”
Dia mengatakan, harimau yang diburu selain jadi offset, juga karpet hiasan. Ada juga harimau diperjualbelikan hidup-hidup terutama anak-anak. Daerah perburuan harimau di wilayah ini di hutan sekitar Beutong Ateuh, Isaq dan Samarkilang. Para pemburu ada yang memakai jerat sling dan senjata api. “Dalam survei kami di dalam kawasan hutan kerap menjumpai slongsongan peluru tajam dan jerat-jerat yang sengaja dipasang pemburu dengan target satwa langka seperti harimau.”
Pada Oktober 2012, seeokor harimau terkena jerat di kebun kopi di Bener Meriah. Harimau ini dibunuh orang kampung, lalu kulit dan kepala dibawa oknum polisi. Sampai kini, proses hukum kasus ini tak berjalan, meski para saksi mata diperiksa di Kepolisian Resor Bener Meriah.
Ratno Sugito, aktivis Forum Orangutan Aceh (Fora) mengatakan, meskipun sanksi masih jauh dari harapan tetapi setidaknya Pengadilan Militer lebih serius daripada BKSDA Aceh. “BKSDA selama ini belum ada satu kasus pun disidangkan.”
Catatan Fora, dalam 10 tahun belakangan belum ada berkas terkait kepemilikan satwa liar terutama orangutan masuk ke ranah hukum. Padahal, bila dilihat orangutan yang masuk karantina di Sibolangit, banyak dari pemelihara ilegal ini para PNS, TNI, dan Polri.