Penelitian: Revolusi Energi Terbarukan Perlu Manajemen Bahan Baku Lebih Baik

Jika umat manusia serius untuk menghindari perubahan iklim yang bisa menuai bencana, maka kita harus sesegera mungkin menggantikan bahan bakar berbasis fosil dengan energi terbarukan, seperti energi matahari, angin, panas bumi dan gelombang laut.

Hal ini terungkap dalam penelitian yang membahas terkait adanya perubahan orientasi kebutuhan bahan baku penunjang energi yang dimuat dalam jurnal ilmiah Nature Geoscience Volume 6.

Sejumlah pakar  dalam penelitian ini mengatakan bahwa revolusi menuju energi terbarukan tak hanya terkait pencegahan perubahan iklim tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi dan menekan polusi yang mengancam kehidupan manusia, dan revolusi seperti ini tak mungkin dilakukan tanpa mengatasi berbagai tantangan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Olivier Vidal, Bruno Goffe dan Nicholas Arndt ini salah satu tantangan terberat dari revolusi menuju energi terbarukan adalah meningkatnya permintaan yang tinggi terhadap bahan baku metal, baik yang jarang maupun yang jenisnya umum.

Kincir pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga angin digabungkan dengan panel surya untuk menerangi desa di Pantai Baru, Srandakan, Bantul. Foto: Tommy Apriando
Kincir pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga angin digabungkan dengan panel surya untuk menerangi desa di Pantai Baru, Srandakan, Bantul. Foto: Tommy Apriando

“Peradaban manusia menghadapi lingkaran setan: perubahan menuju energi terbarukan akan menggantikan sumber energi yang terbatas, yaitu bahan bakar berbasis fosil, dengan sesuatu yang lain, yaitu: metal dan mineral,” ungkap para penulis yang berasal dari Universite Grenoble Alpes di Perancis. Tantangan ini tidak hanya memenuhi metal dan mineral yang jumlahnya jarang seperti selenium dan neodymium – tapi juga yang jumlahnya melimpah.

“Untuk membangun fasilitas pembangkit energi matahari dan angin membutuhkan beton 15 kali lebih banyak, aluminium 90 kali lebih banyak dan juga kebutuhan akan baja, tembaga dan kaca yang mencapai 50 kali lebih banyak dibandingkan fasilitas untuk pembangkit energi berbasis fosil dan nuklir.”

Menurut para peneliti, kecepatan menuju energi terbarukan bisa terhambat oleh adanya perlombaan untuk mengumpulkan metal yang kini semakin jarang dan mahal. Di satu sisi, untuk memenuhi kebutuhan ini memerlukan pertambangan yang merupakan industri yang membutuhkan energi besar; artinya meningkatkan upaya menuju energi terbarukan bisa menjadi lemah akibat meningkatnya kebutuhan energi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan.

Salah satu pusat pengolahan minyak bumi di Balikpapan. Foto: Aji Wihardandi
Energi fosil, saat ini masih menjadi sumber energi uatama di dunia. Ini adalah salah satu pusat pengolahan minyak bumi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Foto: Aji Wihardandi

Jadi, apa solusinya? Menurut para penulis, kerjasama yang lebih baik dengan pihak industri, meningkatkan upaya-upaya daur ulang, meningkatkan inovasi dan mencari material pengganti serta ‘pertambangan skala lokal’ akan mempermudah upaya menuju revolusi energi. Pertambangan lokal, seperti juga gerakan makanan lokal bisa menekan energi yang dibutuhkan dan kebutuhan ekonomi pertambangan metal, ungkap para penulis.

Pertambangan memang masih menjadi isu kontroversial di banyak bagian di dunia ini, karena dinilai memberi banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan menyebabkan terjadinya konflik sosial. Pertambangan tanpa izin seperti di Amazon, Kongo dan Indonesia telah merusak lingkungan dan komunitas lokal. Melihat hal ini, para peneliti menyarankan lebih banyak pertambangan di dunia ini yang bisa mencegah kerusakan lingkungan dan menimbulkan gejolak sosial, salah satunya seperti yang dilakukan di pertambangan Boliden Atik di Finlandia.

“Transisi energi menuju energi terbarukan hanya bisa berjalan jika semua sumber daya dikelola secara simultan, sebagai bagian dari gerakan global, integral dan menyeluruh,” tambah para penulis. “Desain produk-produk baru harus mempertimbangkan kemampuan suplai mineral, dengan mendaur ulang bahan-bahan mentah secara terintegrasi baik di tahap pembuatan dan pada akhir siklus produk tersebut.”

CITATION: Olivier Vidal, Bruno Goffé and Nicholas Arndt. (2013) Metals for a low-carbon society. Nature Geoscience: Vol. 6 No. 11

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,