Greenpeace: APP Alami Kemajuan Dalam Kebijakan Konservasi, Namun Belum ‘Clear’

Salah satu produsen kertas terbesar di dunia, Asia Pulp & Paper yang pernah dicap sebagai penyebab kerusakan hutan hujan tropis dan lahan gambut di Indonesia, kini dinilai telah mencapai perkembangan yang baik dalam menekan kerusakan hutan dalam rantai suplai mereka. Hal ini disampaikan oleh laporan pengawasan terbaru yang diterbitkan oleh Greenpeace.

Penilaian yang diterbitkan Greenpeace tanggal 29 Oktober silam ini mengevaluasi kemajuan program Forest Conservation Policy (FCP) yang merupakan komitmen perusahaan ini untuk tidak lagi mengambil kayu dari hutan alami dan tidak lagi melakukan konversi lahan gambut dalam rantai produksi bubur kertas dan kertas mereka, serta menjalankan prinsip Free, Prior, Infomed Consent (FPIC) terhadap masyarakat lokal dalam mengembangkan perkebunan yang baru.

Laporan yang diterbitkan ini menyoroti keberhasilan APP dalam mengimplementasikan moratorium mereka dalam konversi hutan, dengan pengecualian lahan seluas 140 hektar dibawah kondisi khusus  dan sudah dijelaskan secara terbuka oleh pihak perusahaan. Greenpeace juga menyatakan bahwa APP sudah membuat perkembangan yang baik dalam menyelesaikan konflik sosial, termasuk penandatanganan kesepakatan untuk menyelesaikan kekisruhan yang sudah lama terjadi di Jambi.

Tabel ttupan hutan di Sumatera 1990-2010. Tabel: Margono et al
Tabel tutupan hutan di Sumatera 1990-2010. Tabel: Margono et al

Namun laporan ini tak semuanya indah. Greenpeace menyatakan bahwa APP harus ‘mempercepat implementasi’ terhadap komitmen mereka untuk melestarikan lahan gambut yang padat-karbon dan meningkatkan transparansi terkait sumber kayu mereka dalam operasional mereka di Cina, karena kayu dari hutan yang bernilai konservasi tinggi di bagian lain di Asia Tenggara bisa habis untuk menyuplai pabrik bubur kertas besar milik APP. Perusahaan kertas ini sendiri sudah menyatakan bahwa kebijakan konservasi yang mereka canangkan berlaku di seluruh dunia.

“Greenpeace meyakini bahwa dalam sembilan bulan ini APP cukup serius dengan kebijakan konservasi mereka dan staf-staf senior mereka berkomitmen untuk menyukseskan komitmen ini,” ungkap Greenpeace dalam pernyataan mereka. “Namun komitmen APP ini bisa berhasil atau gagal, tergantung dari kualitas rekomendasi dari penilaian yang dilakukan oleh pihak eksternal, dan jika mereka telah berhasil melalui penilaian ini dan sepenuhnya terimplementasi.”

APP menyambut baik laporan Greenpeace ini, dan menyebut penilaian yang dilakukan oleh Greenpeace (yang pernah disebut sebagai pengkritik paling kejam) serta NGO lainnya merupakan “pendorong yang penting terhadap kemajuan kami menuju target nol deforestasi dan transparansi.”

Luasan Konsesi di Hutan Primer Sumatera. Klik untuk memperbesar gambar ini.
Luasan Konsesi di Hutan Primer Sumatera. Klik untuk memperbesar gambar ini.

“Sangat menggembirakan bahwa Greenpeace melihat kemajuan yang kami miliki sejak memulai program FCP sembilan bulan silam,” ungkap Aida Greenbury, Direktur Operasional APP untuk Keberlanjutan melalui surat elektronik kepada Mongabay.com. “Kami tahu bahwa masih panjang perjalanan ke depannya, namun laporan ini memberikan suntikan kepercayaan diri kepada kami bahwa kami berada di jalur yang tepat seiring dengan tujuan kami untuk mengakhiri deforestasi secara permanen dalam rantai suplai kami.”

APP telah menerbitkan laporan mereka sendiri terkait dengan kajian yang telah dilakukan oleh Greenpeace, memuat berbagai hal bagaimana mereka menangani berbagai isu yang muncul, termasuk membuka beberapa detail tentang konsesi yang tumpang tindih -sebuah masalah utama di Indonesia- dan membentuk sebuah tim pakar tentang gambut untuk membantu perusahaan ini mengadopsi praktek terbaik dalam pengelolaan lahan gambut. APP mengatakan bahwa penyuplai mereka untuk pabrik yang beroperasi di Cina kini tengah menjalani penilaian kepatuhan terkait program konservasi mereka.

Gajah Sumatera, kini naik kelas menjadi 'kritis'. Foto: Rhett A. Butler
Salah satu spesies yang terancam adalah gajah Sumatera, kini naik kelas menjadi ‘kritis’. Foto: Rhett A. Butler

“APP secara penuh memahami skala tugas kami yang masih membentang di depan dan masih banyak tantangan yang tersisa,” ungkap laporan tersebut. “Kami akan memainkan peran kami secara penuh dalam pertemuan, dan jika memungkinkan, memperluas harapan dari banyak pemangku kepentingan kami. Kami berharap untuk meneruskan kerja dalam kemitraan yang baik dengan Greenpeace dan lembaga lainnya untuk meraih tujuan bersama kami menghentikan deforestasi dimanapun kami beroperasi.”

Greenpeace yang sudah menghentikan sementara kampanye mereka melawan APP pada bulan Desember 2012 mengatakan bahwa kemajuan dan komitmen di jajaran petinggi dalam manajemen menunjukkan bahwa “resiko APP untuk mengingkari janji-janji mereka menjadi terbatas saat ini.” Sebelum 2013, APP gagal memenuhi kmitmen mereka untuk tidak melakukan konversi hutan alam untuk produksi bubur kertas mereka.

Tiga buah ekskavator tertangkap basah pada foto ini sedang melakukan penebangan pepohonan hutan alam di konsesi PT. RIA. Foto diambil oleh Eyes on the Forest pada lokasi 10 di Peta 1 (0o4'38.93"N, 102o57'4.18"E) tanggal 8 April 2013. Foto: Eyes on the Forest
Pada awal program Kebijakan Konservasi Hutan mereka, APP masih seringkali menerima laporan pelanggaran  dan penebangan hutan alam di wilayah konsesi mereka. Seperti yang terlihat di foto ini saat tiga buah ekskavator tertangkap basah pada foto ini sedang melakukan penebangan pepohonan hutan alam di konsesi PT. RIA. Foto diambil oleh Eyes on the Forest pada lokasi 10 di Peta 1 (0o4’38.93″N, 102o57’4.18″E) tanggal 8 April 2013. Foto: Eyes on the Forest

Kendati demikian, meski rekam jejak APP dan keberhasilan mereka mengimplementasikan kebijakan konservasi hutan mereka di konsesi seluas 2,6 juta hektar milik mereka, Greenpeace tetap belum memberikan tanda bahwa semua sudah “clear”. Jika dinilai sudah memenuhi syarat lembaga ini kemungkinan akan meminta para pembeli menerapkan standar kepatuhan di level yang lebih tinggi saat mereka berbisnis dengan APP.

“Greenpeace mengingatkan bahwa setiap perusahaan yang berniat melakukan bisnis kembali dengan APP harus memberlakukan persyaratan yang ketat terhadap kontrak-kontrak komersial agar tidak bertentangan dengan kemajuan yang telah dibuat terhadap kebijakan mereka,” ungkap pernyataan mereka, seraya menekankan bahwa APP masih harus tetap menebus kesalahan yang mereka buat di masa lalu.

“Untuk menebus kesalahan APP di masa silam, perusahaan ini harus mengembangkan sebuah program konservasi di level bentang lahan di area-area dimana para penyuplai mereka beroperasi di seluruh Indonesia,” ungkap laporan ini. “Dalam panangan Greenpeace APP harus menyatukan program mereka dengan ambang batas “konversi signifikan” yang dibentuk lewat Forest Stewardship Council (FSC),” dimana kebijakan ini akan membuat perusahaan melakukan konservasi atau restorasi wilayah yang ‘setidaknya setara dengan nilai konservasi di wilayah yang pernah ditebang dalam lima tahun terakhir di seluruh area konsesi mereka.”

Komitmen tersebut akan mewakili puluhan ribu hektar hutan dan lahan gambut di Indonesia. Hal ini juga akan membuat APP berdiri di sisi yang berbeda dengan kompetitor utama mereka, Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), yang hingga kini masih menjadi target utama kampanye lingkungan akibat perusakan hutan dan lahan gambut yang mereka lakukan di Sumatera.

CITATION: Greenpeace International (2013) APP’s Forest Conservation Policy: Progress review October 2013. 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,