, , ,

Pemangkasan Perizinan SDA, Menarik bagi Investor, Ancaman buat Alam

Profil makro ekonomi Indonesia, tengah redup. Ekspor defisit, sampai rupiah terjepit. Pertumbuhan ekonomi semester I 2013, hanya 5,92 persen. Menyikapi ‘kegalauan’ kinerja ekonomi ini, pemerintah hendak mendorong investasi, salah satu, dengan memangkas berbagai peraturan yang dinilai menghambat. Kekhawatiran muncul dari berbagai kalangan, terutama pemangkasan peraturan terkait sumber daya alam (SDA). Kemudahan perizinan dinilai menjadi ‘lampu merah’ bagi kelestarian alam dan lingkungan.

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, pada Oktober lalu, sempat mengungkapkan kekhawatiran pemangkasan perizinan,  khusus SDA. “Kalau dulu, izin HTI itu kadang 10 kali naik turun. (Diteliti) ada gambut ga. Ada hutan alam bagus tidak. Sekarang tidak boleh lagi. Kita dusuruh cepat. Karena itu menuju nol deforestasi itu mari lakukan bersama,” katanya di Jakarta, kala menghadiri peluncuran buku Greenpeace,” Menuju Nol.”

Dia sepakat ada pemangkasan perizinan guna mempermudah investasi masuk, tetapi khusus sektor SDA agak riskan. “Sebenarnya saya sepakat kalau bidang lain, tapi kalo SDA? Hati-hati saja.”

Dia menjabarkan, peraturan mengurus perizinan memang cukup panjang, dari daerah sampai pusat. Antara lain, kabupaten ada sekitar 56 perizinan, provinsi 38, Kementerian Kehutanan 30an, dan lain-lain, total 286 perizinan. “Ini akan diringkas jadi 60 perizinan. Kemenhut akan lakukan hal yang sama.”

Zulkifli mengatakan, izin yang keluar di bidang SDA sudah begitu banyak, dari perkebunan, HTI sampai pertambangan. “IUP pertambangan sudah 12.000. Kok masih dikatakan sulit izin pertambangan. Kawasan hutan ini kalo terus diberikan izin bisa habis.” “Illegal logging jangan-jangan turun bukan karena penegakan hukum,  tapi mungkin karena hutan yang habis.”

Agus Purnomo, Staf Ahli Presiden sekaligus Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) kala dimintai komentar Mongabay, menyatakan, kekhawatiran sama, kemudahan perizinan SDA bisa berdampak buruk. “Bisa jadi masalah jika salah urus.” “Tadi Menhut juga sharing ini,” ujar dia, kala itu.

Menurut Pungky, begitu dia biasa dipanggil, yang bisa dilakukan saat ini, hanya memastikan tak ada pemberian izin di wilayah moratorium, misal dengan mendorong pembukaan HTI di lahan yang sudah rusak atau tak berhutan. “Jadi risiko bisa dibatasi,” katanya.

Sayangnya, kebijakan moratorium izin di hutan dan lahan gambut ini hanya berlaku dua tahun dan berakhir bersama era kepemimpinan SBY. “Kita berharap pemerintahan yang baru nanti melanjutkan moratorium.”

Abetnego Tarigan, Direktur Walhi Nasional juga mengomentari masalah ini. Dia mengatakan, problem perizinan di negara ini sarat korupsi, tak efesien dan tak tepat. “Izin sudah menjadi bak komoditas yang ditransaksikan.”

Menurut dia, jika, upaya perbaikan hanya disederhanakan dengan mempermudah perizinan, sama sekali tak menjawab permasalahan. “Itu saja sama, bahkan mungkin akan lebih bahaya lagi, bagi alam dan masyarakat.”

Dia menilai,  kelesuan ekonomi saat ini dibuat sedemikian rupa oleh swasta hingga mendesak pemerintah membuat regulasi. Seharusnya, pemerintah menjadikan perizinan sebagai mekanisme mengatur pengusaha. “Dengan mempermudah perizinan, berarti pengurangan pengawasan.”

Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, kala berbincang dengan salah satu pemohon perizinan di Kemenhut. Guna mengurangi KKN dan memudahkan perizinan, permohonan izin di Kemenhut dijadikan satu pintu. Menurut Zulkifli, pembuatan layanan terpadu ini digagas bersama KPK. Foto: Sapariah Saturi
Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, kala berbincang dengan salah satu pemohon perizinan di Kemenhut. Guna mengurangi KKN dan memudahkan perizinan, permohonan izin di Kemenhut dijadikan satu pintu. Menurut Zulkifli, pembuatan layanan terpadu ini digagas bersama KPK. Foto: Sapariah Saturi

Tanggapan juga datang dari Merah Johansyah, Manajer Kampanye Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Indonesia. Menurut dia,  pemangkasan demi mempermudah izin ekstraksi SDA, akan membuat Indonesia kebobolan 3 : 0 melawan asing. Mengapa?  Merah memberikan beberapa alasan.

Pertama, sejak awal moratorium kehutanan 2010 oleh Presiden SBY memang tak tulus untuk menyelamatkan hutan dan mencegah pemanasan global. Namun lebih pada kepentingan pencitraan internasional dan demi menangguk hibah US$1 miliar dari pemerintah Norwegia.

“Sikap pemerintah akan mempermudah izin di kawasan hutan untuk kepentingan investasi jelas cermin sikap ketidaktulusan menjaga hutan Indonesia.”

Kedua, sampai saat ini,  daratan Indonesia telah dikapling 11.000 izin pertambangan mineral dan batubara. Jatam menghitung,  izin itu sudah membagi-bagi 35 persen dari seluruh luas daratan Indonesia.

Kata Merah, ancaman hutan ada sejak Presiden SBY menjabat melalui aturan kontroversial. Pada 2008, pemerintah mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008, yang mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.

PP ini, katanya,  memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp1,8 juta-Rp3 juta per hektar.

Lebih murah lagi jika membuka untuk tambang minyak dan gas demi mengejar target lifting migas. Bayangkan,  di Kalimantan Timur (Kaltim), hutan hanya dihargai Rp120–Rp 300 per meter! “Lebih murah dari sepotong pisang goreng oleh perusahaan tambang seperti Kideco Jaya Agung dan Kaltim Prima Coal.”

Bahkan di zaman SBY juga, kawasan hutan lindung boleh untuk pertambangan dengan mekanisme izin pinjam pakai. Dia mengatakan, sejak periode Megawati dan SBY, sudah ada 234 perusahaan tambang diberi izin pinjam pakai di kawasan hutan lindung. Dari jumlah itu, 85 persen izin lahir di era SBY.

Ketiga, di Kaltim, kawasan budidaya hutan makin menyusut dari 14 juta menjadi 11 juta. Jika RTRWP Kaltim disetujui pusat, dari 14 juta hutan hanya 2 juta hutan konservasi atau 10 persen dari luas Kaltim.

Sisanya, masuk kategori hutan produksi terbatas, hutan produksi dan hutan lindung. Kategori ini hanya “hutan-hutanan” karena banyak izin sawit dan tambang. “Kehutanan di daerah akan kebobolan 3 : 0.  Sebab, tak hanya menghadapi investasi yang ada juga keinginan Presiden membuka hutan untuk investasi baru, plus kepentingan pemerintah daerah mengubah kawasan hutan demi mengeruk pendapatan.”

Pada Agustus 2013, ancaman krisis ekonomi makin menghantui, diikuti pelemahan rupiah terhadap dolar AS hingga tembus Rp11.000. Kelesuan perdagangan di bursa saham juga terjadi menyusul kinerja neraca perdagangan Indonesia, yang tak menggembirakan.

Hatta Rajasa, Menteri Koordinator bidang Perekonomian selalu menyuarakan pemerintah pusat dan daerah untuk mempermudah proses perizinan berusaha. Tujuannya, agar nilai investasi makin meningkat dan menyumbang kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Saya betul-betul minta aparat terkait kebijakan publik di pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar memahami perekonomian dunia sedang tidak baik, maka perlancarlah urusan yang berkaitan dengan investasi,” katanya Agustus 2013 di Jakarta seperti dikutip dari medanbisnisdaily.com.

Sumber: Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia

Hatta mengatakan,  pertumbuhan investasi diperlukan agar perekonomian nasional tumbuh di atas enam persen. Terlebih saat ini terjadi perlambatan ekonomi global akibat krisis di negara maju.

“Kita harus menjaga iklim investasi yang saat ini masih ada hambatan. Kita sedang membahas pemangkasan aturan yang menghambat investasi.”  Upaya lain, ujar dia, agar pertumbuhan di atas kisaran enam persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2013 mencapai 5,81% (yoy). Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi semester I 2013 sebesar 5,92%.

Dikutip dari katadata.coid menyebutkan, data neraca pembayaran Indonesia menyebutkan, defisit transaksi berjalan Indonesia kuartal II-2013 mencapai US$9,9 miliar, naik 69 persen dari kuartal I. Kondisi ini melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011.

Dari data itu, surplus neraca perdagangan nonmigas kuartal II-2013 US$1,7 miliar, terendah sejak 2008. Pada kuartal I, surplus neraca perdagangan nonmigas US$4,6 miliar. Penurunan ini karena harga komoditas global cenderung turun hingga menekan ekspor (US$37,8 miliar).

Profil neraca perdagangan tambah suram, karena nilai impor nonmigas Indonesia,  justru naik 12 persen menjadi US$36,1 miliar. Kenaikan ini pada kelompok barang konsumsi dan bahan baku, sedang impor barang modal menurun.

Neraca perdagangan migas kuartal II mengalami defisit US$2,3 miliar, turun 20 persen dari kuartal I,  minus US$2,9 miliar. Penurunan defisit ini karena impor produk minyak turun, baik sisi volume maupun harga. Namun, penurunan ini belum mencerminkan dampak kenaikan harga BBM akhir Juni 2013, karena volume konsumsi BBM mengalami kenaikan 9,6 persen.

Data Bank Indonesia menyebutkan, sejak 2004 neraca perdagangan minyak selalu defisit tetapi bisa dikompensasi ekspor produk gas yang selalu surplus. Neraca migas Indonesia mulai defisit pada kuartal II-2011 sebesar US$1,4 miliar karena impor minyak tinggi, 31 persen menjadi US$10,6 miliar. Kenaikan terutama akibat harga minyak dunia waktu itu mencapai US$125 per barel.

Namun Chatib Basri, Menteri Keuangan mengatakan, kondisi Indonesia tak separah krisis 2008.
Saat itu, dia bertugas mengawasi neraca pembayaran Indonesia jadi bisa membandingkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, jauh lebih baik dibandingkan 2008.

“Situasi sekarang jauh lebih ringan dibandingkan 2008. Kala itu kita jauh lebih berat, pada saat bersamaan pertumbuhan global jatuh, pertumbuhan Amerika Serikat -10%,” katanya dikutip dari Bisnisliputan6.com.

Dengan kondisi pertumbuhan global yang ambruk kegiatan ekspor tidak berjalan, disusul krisis pangan. Kondisi diperparah pada Juni 2008 pemerintah menaikkan harga BBM, tingkat suku bunga mencapai 9,5%, dan rupiah melemah hingga Rp 12.800 per dolar AS.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,