Ignasius Mandor tampak sibuk menerima tamu saat saya mengunjungi kediamannya, di Jalan Panca Bhakti, Kelurahan Batu Layang, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Rabu (6/11/13). Rata-rata tamu yang berkunjung para jurnalis.
Nama Mandor tiba-tiba melejit lantaran peristiwa kematian orangutan di sekitar kampung itu dan berakhir di meja makan. “Saya tahu ini satwa dilindungi. Tapi sudah mati. Daripada membusuk mending kita makan saja,” katanya. Dia memerlihatkan bagian-bagian organ tubuh orangutan seperti tangan, lidah, dan tulang kaki yang masih tersisa di dapur rumah.
Pria 50 tahun ini sangat terbuka. Dia menjelaskan ikhwal penemuan orangutan yang tewas tertembak pemburu pada Minggu (3/11/13). “Pak Hanafi, tetangga saya yang menemukan ini di kebun sawit warga, sekitar satu kilometer dari kampung. Tengkorak kepala orangutan masih ada di sana.”
Mandor pun sukarela mengantar ke kediaman Hanafi yang hanya berjarak sekitar 50 meter. Di sana masih ada sejumlah organ tubuh orangutan yang sedang disalai (diasapi), termasuk tengkorak.
Menurut Hanafi, orangutan itu ditemukan di dalam semak. “Pemburu itu masih kawan juga. Namanya Pak Lau Man. Dia pemburu babi hutan. Di sekitar kampung ini memang masih ada rusa. Mungkin disangka rusa karena warna bulu yang kemerahan, akhirnya dia tembak dan mati. Kalau dia tahu orangutan, tak mungkin dia tembak.”
Sadar yang ditembak orangutan, pemburu tidak membawa pulang. Dia hanya mengabarkan kepada teman-temannya di Jalan Panca Bhakti soal buruan itu. “Saya ke sana dan membawa orangutan itu balik dan kami masak. Dagingnya kita bagi ke warga yang mau makan.”
Kini, seluruh alat bukti itu sudah disita oleh Penyidik Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (Sporc), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar. Tim penyidik juga mendatangi para pihak terkait untuk menggali informasi lebih dalam soal kematian orangutan yang berakhir tragis di meja makan.
Berdasarkan pantauan di atas Bukit Rel, sekitar 200 meter dari permukiman warga, diduga orangutan terdesak karena hutan yang menjadi habitat mulai tergerus perkebunan sawit. Di sekitar kampung, ada dua perusahaan perkebunan sawit beroperasi, yakni PT Mas (Jarum Group) dan PT BPK (Wilmar Group). Bahkan, jarak PT Mas hanya berkisar empat kilometer dari permukiman.
Kehadiran perusahaan ini memancing warga membuka lahan di sekitar kampung guna ditanami sawit. Ini terjadi sejak tahun 2000. Hasilnya, buah tandan segar milik warga dijual ke pengumpul dengan harga Rp700 per kilogram. Pengumpul menjual kembali buah sawit itu ke PT BPK seharga Rp900 per kilogram.
“Saya membeli buah sawit ini langsung dari kebun milik warga. Sekali angkut biasa 700 kilogram hingga satu ton dengan sepeda motor roda tiga. Itu tergantung kondisi jalan. Warga biasa panen satu kali dalam sebulan,” ucap Alex (44), seorang pengumpul sawit asal Pontianak Utara.
Berbahaya bagi Kesehatan
Mayoritas warga yang mengonsumsi daging orangutan di Jalan Panca Bhakti mengakui daging satwa itu enak. Namun, sejumlah kajian ilmiah menyebut, mengonsumsi daging orangutan bisa berbahaya bagi kesehatan.
Dwi Suprapti dari WWF-Indonesia Program Kalbar mengatakan, secara umum genetika orangutan dan manusia 97 persen hampir sama. “Artinya, peluang berpindahnya penyakit yang diderita oleh orangutan kepada manusia (zoonosi) cukup tinggi. Jadi, mengonsumsi daging orangutan dapat membahayakan kesehatan manusia.”
Cerita Si Rimba
Dua tahun sebelum itu, pemahaman mendalam akan keberadaan orangutan datang dari warga kabupaten di ujung Kalbar. Suasana rumah betang, di Sumpak Sengkuwang, Desa Setulang, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, cukup ramai kala itu. Pada 7 April 2011, warga kampung berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Mereka ingin menyaksikan pemutaran film berjudul The Story of Rimba yang diinisiasi WWF-Indonesia Program Kalbar.
Film dokumenter yang diproduksi Wanamedia Lestari Foundation, Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation, dan GMM Film ini cukup menghipnotis warga rumah betang. Filmnya memukau, lantaran bercerita pedalaman Pulau Kalimantan yang elok dengan kekayaan flora dan fauna.
Karuan saja, film ini mampu menukik ke jantung persoalan seperti seringkali terjadi di sekitar hutan masyarakat adat Dayak Iban. Orangutan kian tergusur dari rumah sendiri. Ini konsekuensi dari laju pembangunan sektor kehutanan dan perkebunan skala besar. Orangutan tak kuasa melawan kebrutalan para pemburu liar. “Dooooor….!”
Induk orangutan meregang nyawa. Terempas dari ketinggian pohon. Pemburu bersorak dapat merebut anak orangutan dari induk yang sudah tak bernyawa. Si anak yang diberi nama Rimba ini pun diperjualbelikan hingga tembus dalam keriuhan Kota Jakarta. Rimba pasrah jadi bahan olokan dan tontonan orang-orang metropolitan.
Juliana Sera, bocah 10 tahun yang menyaksikan adegan itu tak kuasa menahan haru. “Kenapa mayas itu ditembak. Kasihan anaknya tidak bisa menyusu,” katanya lirih dengan mata berkaca-kaca.
Bagi orang Iban, mayas adalah sebutan lain untuk orangutan jenis Pongo pygmaeus-pygmaeus. Tak seorang pun mampu menjawab pertanyaan bocah itu hingga riwayat perjalanan Si Rimba berakhir di pusat rehabilitasi orangutan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.
Banying, tetua adat Dayak Iban di Sumpak Sengkuwang, Desa Setulang, menyebut warga Iban pantang makan orangutan. “Warga Iban tak makan orangutan. Ada keyakinan adat kami yang menyebut siapa yang makan orangutan, ketika kelak berhadapan dengan kematian akan bangkit menjadi orangutan,” kata pria 50 tahun itu dengan suara lantang.
Itu pula sebabnya, orang Iban takut melukai spesies kunci itu. Bahkan, mereka banyak belajar dari pola hidup orangutan. Misa, berdukun, atau melahirkan. “Bagaimana mungkin orang Iban melukai orangutan. Kalau ada, kita akan sanksi dia dengan hukum adat.”