, , ,

Pertemuan Perubahan Iklim di Warsawa, RI akan Minta Kesepakatan Tertulis

Dalam konferensi perubahan iklim (Conference of Parties/COP) 19, di Warsawa, Polandia, pada 11-22 November 2013, Indonesia akan meminta kesepakatan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dibuat tertulis agar lebih mengikat masing-masing pihak.

Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sekaligus Delegasi Republik Indonesia ke COP 19, mengatakan, Indonesia mengharapkan kesepakatan 2015 mencerminkan komitmen kuat semua pihak secara konkrit dan ambisius berdasarkan prinsip keadilan dan tanggung jawab bersama. “Jadi yang diharapkan untuk COP 19 mencari negotiating text, jangan ngomong lagi, tapi ditulis. Sekarang ini kan tidak ada di atas kertas,” katanya di Jakarta, Kamis (7/11/13), seperti dikutip dari Antara.

Dia mengatakan, perjuangan melawan perubahan iklim saat ini tidak jelas karena terimbas politik dunia. Padahal, seharusnya, perubahan iklim ini dijadikan musuh bersama.

Rachmat berharap,  hasil COP 19 dari kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) ini bisa digarap di COP 20 di Lima, Peru. Lalu, disahkan di COP 21 di Paris, Prancis. COP-19 ini tonggak penting membahas kesepakatan multilateral baru untuk aksi perubahan iklim pasca 2020, yang akan disepakati pada 2015.

Menurut Rachmat, prinsip keadilan sangat penting mengingat Indonesia sebagai negara berkembang memiliki kebutuhan pembangunan tinggi. Namun, berkomitmen membantu dunia mencegah kenaikan suhu rata-rata global dengan menerapkan pembangunan rendah emisi karbon.

“Keadilan ini perlu diwujudkan antara lain dengan penyediaan pendanaan oleh negara maju membantu negara-negara berkembang meningkatkan investasi dalam kegiatan-kegiatan pembangunan rendah karbon. Juga membiayai upaya mengatasi berbagai dampak buruk akibat perubahan iklim,” katanya seperti dikutip dari website Sekretariat Kabinet.

Selain membahas kesepakatan aksi pasca 2010, delegasi RI akan memperjuangkan pandangan terkait aksi mitigasi dan adaptasi hingga 2020. Delegasi RI,  akan menekankan pentingnya peningkatan komitmen dan aksi negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Baik,  di bawah Protokol Kyoto periode komitmen kedua juga Konvensi UNFCCC. “Ini untuk memastikan pencapaian target global, yaitu kenaikan suhu rata-rata global tidak lebih dari 2 derajat Celsiuc pada 2020,” ucap Rachmat.

Sedangkan isu pendanaan, Delegasi RI akan menekankan negara maju tak dapat menunda lagi realisasi komitmen pendanaan US$100 miliar per tahun sampai 2020 seperti dijanjikan pada COP-15 tahun 2009, di Kopenhagen, Denmark.

Negara yang sejak awal tak mau mengikuti Protokol Kyoto adalah Amerika Serikat (AS). Sedangkan Kanada menjadi negara yang sejak akhir 2012 keluar dari kesepakatan itu. Sedang tiga negara yang masih tetap berpegang pada Protokol Kyoto tetapi tidak ingin menggunakan komitmen yakni Rusia, Jepang, dan Selandia Baru.

“Walau pun Selandia Baru selangkah lebih maju karena akan menurunkan emisi tetapi berkomitmen tidak di bawah Protokol Kyoto melainkan di bawah konvensi. Ini yang kami mau minta kejelasan juga apa artinya jika di bawah konvensi tetapi tidak di bawah Protokol Kyoto?” kata Suzanty Sitorus, Sekretaris Pokja Pendanaan DNPI dikutip dari Antara.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,