, ,

Kala Warga Sungai Enau Kecewa Janji-janji Wilmar

Haji Abdul Azis Munagi usai salat Maghrib di masjid mengunjungi kediaman Tacin, tetangganya. Jalan tanah merah berlubang dan berlumpur. Berbekal sebuah senter yang tidak begitu terang, pria 57 tahun ini berhasil menembus malam.

Di kediaman Tacin, sebuah pelita menerangi selasar rumah sederhana itu. Secangkir kopi tubruk manis menghangatkan suasana sejuk musim hujan di Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. “Perusahaan itu telah menipu kami,” katanya di Kampung Parit Ampaning, Sabtu (9/11/13) malam itu.

Dul Aziz, sapaan akrab Abdul Aziz Munagi, tak kuasa menahan rasa kesal. Sudah 12 tahun lahan miliknya tak menghasilkan apa-apa. Lahan seluas 10 hektar itu sudah diserahkan ke manajemen PT Bumi Pratama Khatulistiwa, perusahaan grup Wilmar International, sejak 2001. Perusahaan hanya memberikan biaya penggantian tebas tebang Rp800 ribu.

Dul Aziz tak sendirian. Masih ada sekitar 146 warga lain tergabung dalam Kelompok Tani Makmur Jaya Ampaning Darat menyerahkan lahan. Total 400 hektar. Warga menyerahkan masing-masing lahan agar masuk dalam hak guna usaha (HGU) PT BPK untuk jadi kebun plasma. Pembagian disepakati sejak awal 80:20 persen.

“Kami ini hidup di bawah garis kemiskinan. Lahan itu tidak dijual ke perusahaan karena itulah harta kami yang paling berharga. Kami menyerahkan supaya diolah menjadi kebun plasma. Tujuannya supaya kami ada penghasilan setiap bulan,” katanya.

Sayangnya, bagi hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Bahkan, sejak penyerahan lahan disepakati hingga 2013, warga hanya jadi kuli bekerja dengan upah sangat rendah. Hanya sekitar Rp40 ribu-an sehari. Sedang surat keterangan tanah (SKT) sudah lapuk di lemari masing-masing petani.

“Perusahaan ini kelewatan pelit. Tidak ada dana sosial apapun yang dikucurkan buat kepentingan warga di sekitar perkebunan. Air bersih yang kami minum sehari-hari hanya berharap dari air hujan. Tidak ada bak penampungan air,” ucap Aziz menyentil dana Coorporate Social Responsibility (CSR) BPK.

Alih-alih dana CSR, perkara kebun plasma pun tak kunjung bisa diselesaikan secara bijak oleh manajemen perusahaan. Warga hanya menjadi mesin pencetak fulus bagi kepentingan pengusaha. Selebihnya, mereka dibiarkan menghirup debu saban hari, atau membiarkan tergelincir di jalan becek berlubang.

Bukan hanya warga Sungai Enau yang merasakan polusi akibat aktivitas perusahaan itu. Di desa tetangga seperti Desa Malaya, juga menanggung hal sama. Bahkan, pihak terkait sudah difasilitasi DPRD Kubu Raya pada 23 Mei 2013 menyelesaikan masalah. Atas nama kesejahteraan, warga menuntut dana CSR BPK.

Kala itu, BPK diwakil Humas Bina Mitra, Grogorius U’us dan menegaskan komitmen membantu masyarakat. Namun, dia berharap jangan hanya memberatkan perusahaan. “Sampai saat ini perusahaan belum ada keuntungan. Meski begitu kami tetapkan menjalan program CSR seperti pembuatan badan jalan.”

Abdul Azis Ketua Kelompok Tani Makmur Jaya Ampaning Darat, Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
Abdul Azis Ketua Kelompok Tani Makmur Jaya Ampaning Darat, Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Mereka sejak lama, sampai saat ini meskipun sudah ada perusahaan masuk, masih juga hidup dalam ketertinggalan, seperti penerangan hanya pakai pelita botol berisi minyak tanah. Foto: Andi Fachrizal

Ambil Alih

Rentetan persoalan yang dialami warga membuat hilang kesabaran. Berbagai upaya merebut kembali lahan mereka selalu kandas. “Pak Frans dari BPK malah menyuruh kami mencari lahan baru dengan kompensasi Rp7 juta. Permintaan itu kami tolak. Mau ke mana lagi kami mencari lahan?”

Frans ketika dihubungi via ponsel mengaku sedang liburan. “Nanti saja baru konfirmasi. Saya sedang liburan,” katanya singkat sambil menutup telepon.

Sebagai buntut dari persoalan itu, Kelompok Tani Makmur Jaya Ampaning Darat pun menggelar konsolidasi. Sebanyak 57 anggota kelompok tani itu membubuhkan tanda tangan dalam sepucuk surat permohonan pelepasan lahan. Mereka bertekad mengambil-alih lahan plasma dari cengkeraman HGU BPK.

“Kita selalu meminta dengan cara baik-baik. Tujuannya pimpinan perusahaan berkenan menyerahkan kembali lahan itu kepada kelompok tani. Kami sudah bosan dengan janji palsu BPK yang sangat merugikan petani.”

Dari lima kelompok tani di Sungai Enau, hanya Kelompok Tani Ampaning Darat yang belum menerima apapun dari BPK. Baik berupa kompensasi maupun lahan plasma sebagaimana dijanjikan perusahaan. “Sering kami mengajukan tuntutan, baik lisan maupun tertulis soal klaim lahan namun tidak pernah direspon perusahaan. Kami minta lahan itu dikembalikan.”

Batas waktu pengembalian lahan hingga 30 Oktober 2013. Sayangnya, hingga kini perusahaan tak juga mampu menyelesaikan masalah itu. Untuk itu, kelompok tani berniat akan aksi tanam, baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim di atas lahan mereka.

Warga bertekad mendirikan bangunan di atas tanah mereka masing-masing. “Jika itu sudah kami lakukan, kami anggap BPK sudah sepakat mengembalikan lahan kami dari kelompok kami. Artinya, HGU sudah dinyatakan habis atau berakhir.”

Kawasan perkebunan sawit milik PT BPK di Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya. Foto: Andi Fachrizal
Kawasan perkebunan sawit milik PT BPK di Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya. Foto: Andi Fachrizal
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,