,

Mengintip Hutan Kemasyarakatan di Bangkeng Buki’ Bulukumba

Siang itu, saya berkunjung ke rumah seorang warga, tempat pertemuan kelompok tani hutan (KTH) Bukit Indah. KTH Bukit Indah merupakan salah satu KTH di Bulukumba bahkan Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dianggap sukses mengelola hutan kemasyarakatan (HKm). Ia berada di Hutan Bangkeng Buki’, Desa Bontonyeleng, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Pertemuan siang itu menjadi istimewa bagi para anggota KTH, karena kedatangan belasan tamu dari negeri tetangga, Kamboja. Lebih istimewa, karena empat tamu itu wakil gubernur, dua orang setingkat bupati, ketua DPRD dan Departemen Kehutanan di Kamboja. Turut hadir sejumlah aktivis NGO Kamboja, Direktur Oxfam Kamboja, Oxfam Indonesia area Timur. Juga wakil bupati dan kepala Dinas Kehutanan Bulukumba.

Baharuddin, Ketua KTH Bukit Indah menjelaskan, bagaimana penerapan HKm menjadi upaya meningkatkan kesejehteraan warga sekitar, tanpa harus merusak kelestarian hutan dan berbenturan dengan pemerintah.“HKm di hutan kami ini mampu meningkatkan kesejahteraan kami.  Sekaligus kami bisa menjaga hutan.  Apalagi, kini sudah terbit izin pemanfaatan hutan dari pemerintah,” katanya awal November 2013.

HKm merupakan skema pengelolaan hutan yang diterbitkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Kehutanan No P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jp P.13/Menhuit-II/2010 jo P.52/Menhut-II/2011. Dalam aturan ini disebutkan ada peluang pengelolaan hutan bagi warga selama pohon yang ditebang hasil penanaman sendiri, bukan tumbuh alami.

Selama ini, dilema pengelolaan hutan dirasakan oleh warga. Mereka memerlukan hutan sebagai sumber penghasilan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun, pengambilan kayu dan perkebunan bisa merusak hutan. Di kawasan ini, upaya reboisasi pernah dilakukan pada era 1990-an, melalui bantuan bibit dari Dinas Kehutanan. Warga membantu reboisasi ini, apalagi jika hasil bisa dimanfaatkan. Namun, setelah pohon-pohon besar tidak bisa ambil warga. Mereka justru dikejar-kejar petugas hutan, yang memicu konflik antara warga dan pemerintah.

Misbawati A Wawo, Kepala Dinas Kehutanan Bulukumba, mengakui perubahan pendekatan pengelolaan hutan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Jika 1990-1999, pemerintah cenderung refresif terhadap warga, kini lebih persuasif. Misbawati membenarkan, ada dilema pengelolaan hutan selama ini, antara kewajiban penegakan aturan dengan kesejahteraan masyarakat.

“Keberadaan masyarakat di kawasan hutan memang menjadi dilema tersendiri bagi kami selama ini, karena mereka dalam hutan sudah lama, bahkan lebih lama dibanding keberadaan aturan itu sendiri. Harus ada jalan keluar mensinergikan semua kepentingan.” Ketika aturan tentang HKm muncul pada 2007, Dinas Kehutanan segera merespon melalui sosialisasi dan pembinaan kepada warga. Pada 2009, konsep HK mini dijabarkan dalam bentuk peraturan daerah.

Menurut Misbawati, upaya sosialisasi dan penyadaran warga ini bukanlah hal mudah. Apalagi karakter dan sikap curiga masyarakat kepada pemerintah.“Perlu kesabaran dan pendekatan persuasif kepada masyarakat agar bersedia menjalankan skema HKM. Kami banyak turun ke masyarakat, dan memperlakukan mereka sebagai keluarga dan saudara, bukan musuh.”

Salah satu tantangan besar dalam proses ini adalah klaim kepemilikan lahan hutan dari warga, karena mereka memiliki bukti pembayaran pajak (SPPT). “Banyak menolak melepaskan klaim lahan dengan bukti pajak ini. Ini kami akui kesalahan bersama, baik kami maupun pemerintah desa selama ini, yang membiarkan warga bisa memiliki surat pajak itu. Kami menyadari dan berusaha memperbaiki.”

Namun, akhirnya KTH Bukit Indah terbentuk 2007 dengan lahan kelola seluas 127 hektar dari 256,25 hektar Hutan Bangkeng Buki’, yang terletak di lereng Gunung Lompo Battang. Di kawasan hutan ini masyarakat melalukan pembibitan dan menanam berbagai macam jenis tanaman perkebunan, seperti kopi, kemiri dan cengkeh, termasuk umbi-umbian. Warga juga mengelola madu hutan, melalui peternakan lebah maupun alami. Ada juga pembuatan gula aren oleh ibu-ibu rumah tangga.

Setelah KTH terbentuk pun tidak serta-merta diterima warga. Mereka kurang menyadari potensi bencana longsor yang bisa terjadi. “Perlu upaya terus menerus meyakinkan warga dampak nyata yang bisa saja terjadi, misal, longsor.”

Enam tahun sejak didirikan, banyak yang datang berkunjung untuk belajar pengelolaan hutan, termasuk dari negara lain. Apalagi, kata Misbawati, HKm di Bulukumba merupakan inisiasi dari pemda, bukan dampingan NGO seperti di daerah lain.“Peranan pemerintah daerah mendorong HKm penting, karena dalam banyak kasus pemda justru banyak menarik titik konflik dengan masyarakat terkait pengelolaan hutan.”

Hal serupa diakui Baharuddin. Dia optimis HKm mampu meredam konflik antara warga dan pemerintah.“Dulu kami dikejar-kejar hanya karena mengambil hasil hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kini kami merasa lagi hal itu tidak terjadi lagi.”

Menurut data Dinas Kehutanan Bulukumba, luas hutan di Kabupaten Bulukumba adalah 8.453,25 hektar setara 7,32 % dari luas kabupaten. Untuk skema HKm, berdasarkan SK. Menteri Kehutanan Nomor. 363/Menhut-II/2011 tertanggal 7 Juli 2011) ditetapkan tiga kawasan hutan yaitu, kawasan hutan Anrang 655 hektar, Bangkeng Buki’ 245 hektar dan Lompo Battang 1.365 hektar, atau total 2.265 hektar.

Selain KTH Bukti Tinggi, terdapat 11 KTH lain, di 10 desa tiga kecamatan, yaitu Gantarang, Kindang dan Rilau Ale. Di hutan Anrang ada tujuh KTH, Bangkeng Buki’ tiga dan Lompo Battang dua KTH. Delapan kelompok telah memiliki izin pengelolaan hutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,