Orangutan, Dilindungi Tapi Tak Terlindungi!

Pengantar Redaksi

Sebagai bagian dari membangun kesadaran publik terhadap perlindungan dan habitat orangutan, Mongabay Indonesia bekerjasama dengan Orangufriends dan elemen-elemen yang peduli terhadap kelestarian orangutan Indonesia tergerak untuk menyelenggarakan Sound For Orangutan, sebuah konser musik penggalangan dana untuk konservasi orangutan. 

Berkaitan dengan kegiatan ini, hari ini Mongabay  Indonesia menurunkan artikel khusus yang ditulis oleh pegiat orangutan di Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation, salah satu yayasan pionir yang peduli tentang kelestarian orangutan di Indonesia.

Rumah mereka hanya dua. Di seluruh dunia, hanya dua. Orangutan hanya hidup di dua pulau, yaitu di Sumatera dan Kalimantan sehingga kita mengenal adanya orangutan Sumatra dan Orangutan Kalimantan. Memang, Pulau Kalimantan bukan hanya punya Indonesia. Kita berbagi pulau itu dengan negara tetangga Malaysia. Tapi 90% dari satwa khas ini berada di wilayah Indonesia.

Katanya, primata besar ini adalah satwa yang dilindungi. Kedua satwa ini sudah pada status terancam punah dan bahkan orangutan sumatera sudah sangat terancam punah.  Satwa ini dilindungi oleh aturan dan perundangan tetapi kenyataannya, mereka kini menuju kepunahan.  Akankah Orangutan hanya tinggal cerita para tetua, tanpa bentuk yang nyata?

Orangutan dan Pemanasan Global

Rumah mereka ini makin menyusut. Alasannya macam-macam. Pembalakan yang tidak bertanggung-jawab, penjualan satwa liar, konversi hutan untuk lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten yang belum berdasarkan prinsip-prinsip ekologi, serta kebakaran hutan, hanyalah beberapa di antaranya.

Tujuannya satu, untuk meraih keuntungan. Tentu saja cari untung bukanlah dosa. Namun caranya yang patut dipertanyakan. Akibatnya, kita semua menuai pemanasan global yang kian parah dan nyaris tak terkendali.  Kenapa bisa? Karena pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan, berkontribusi sangat besar pada pemanasan global.

Pemanasan global adalah jargon yang akhir-akhir ini kerap dilontarkan, namun jarang dimengerti. Apa itu pemanasan global? Pemanasan global diakibatkan bertambahnya emisi gas rumah kaca (GRK). Jangan salah mengerti. GRK bukan sesuatu yang jahat pada awalnya. Planet bumi yang kita mukimi ini justru membutuhkan GRK agar sebagian dari panas matahari yang sampai ke bumi dapat diserap dan bisa membuat bumi ini tetap memiliki panas yang ideal untuk membangun kehidupan di atasnya.

Namun seiring era industrialisasi sekitar 150 tahun silam, jumlah GRK di atmosfir meningkat secara drastis. GRK yang tadinya sebagian besar berasal dari alam, kini ditambah dengan GRK yang diproduksi oleh manusia melalui berbagai inovasinya. Kelebihan kadar GRK inilah yang menyebabkan bumi tambah panas dan terjadilah pemanasan global.

Tentunya kita tidak bisa menyerah kalah begitu saja. Biar bagaimana, berbagai inovasi manusia tersebut telah memberikan kita tingkat kenyamanan yang tak pernah terbayang di masa lalu. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi laju pemanasan global adalah dengan menanam pohon atau menjaga kawasan hutan yang (masih) ada.

Hutan Indonesia terkenal dengan kandungan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga hutan, selain mendukung upaya mengurangi dampak pemanasan global, juga menjaga kelestarian orangutan. Rusaknya hutan sebagai habitat orangutan, menyumbang pada 80% emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap terjadinya pemanasan global ini, yang tentu saja berdampak bukan saja pada orangutan tapi juga pada kita, pada manusia.

Tulang orangutan ditemukan di areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Hilangnya habitat terjadi akibat konversi hutan. Foto: Lili Rambe

Orangutan dan Kita

Jelas sudah, melestarikan orangutan berarti juga melestarikan hutan. Sebagai “imbalannya”, orangutan pun akan memberikan jasanya untuk mempertahankan kehidupan kita. Maksudnya begini. Satwa yang merupakan “saudara” terdekat dari umat manusia ini menghabiskan 99% dari waktunya bergelantungan riang di pepohonan. Itu kita semua tahu.

Santapan mereka terdiri dari buah-buahan, daun-daunan, bunga-bunga hutan, beberapa jenis kulit kayu dan juga serangga. Namun makanan favorit mereka tentunya adalah buah-buahan. Itupun kita semua tahu. Yang kita jarang sadari, adalah setiap kali mereka menyantap buah-buahan dan membuang bijinya ke tanah, mereka telah turut melakukan aksi penyuburan hutan.

Hal yang sama terjadi saat mereka membuang kotoran mereka di tanah. Sebuah aktivitas rutin yang tanpa mereka sadari, dan tanpa kita sadari, telah menyebarkan bibit-bibit baru di hutan, menyebabkan tunas-tunas baru bertumbuhan. Aktivitas orangutan inilah yang turut menyuburkan ekosistem hutan.

Hasilnya jelas. Hutan yang sehat menjadi habitat yang ideal buat orangutan. Hutan yang sehat mempunyai kapasitas menyerap GRK lebih baik dari hutan rusak apalagi dari areal bukan hutan.  Hutan ini akan menyerap emisi GRK yang berlebihan, selain juga melindungi tanah dari erosi, menjaga kualitas dan kuantitas air tanah, melindungi kita dari banjir, serta menjadi salah satu regulator dari iklim dunia. Karena itu, orangutan merupakan elemen alam yang penting untuk menyehatkan hutan dan mempertahankan kehidupan kita di atas planet ini.

Orangutan, Simbol Solusi

Perubahan iklim dan pemanasan global merupakan fakta yang sudah ada di depan mata.   Musim yang semakin susah ditebak, banjir, penyakit-penyakit baru dan lainnya. Al Gore, mantan wakil presiden Amerika Serikat beberapa periode yang lalu, bersama timnya telah menunjukkan informasi betapa terancamnya beruang kutub akibat pemanasan global. Es yang mencair mengakibatkan tidak ada lagi tempat berpijak bagi beruang kutub, tidak ada lagi tempat mereka hidup. Beruang kutub menjadi simbol atau ikon akan adanya persoalan pemanasan global.

Dalam konteks ini, orangutan menjadi simbol atau “canary in a coal mine” bagi sehat atau tidaknya hutan di Indonesia. Dalam peluncuran Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia di ajang UNFCCC pada Desember 2007 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa bila polar bear merupakan simbol adanya problem peningkatan suhu bumi karena pemanasan global, maka orangutan adalah simbol solusinya.

Karena selama populasi orangutan di rumah atau habitatnya tetap terjaga, maka ini juga berarti hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon pun masih ada.  Teknologi yang ada saat ini hanya bisa mengurangi laju pelepasan karbon ke udara dan bukan mengurangi jumlah yang ada.  Satu satunya alat yang bisa mengurangi stock adalah tanaman dan kapasitas penyerapan paling besar dimiliki oleh hutan yang sehat.

Orangutan berperilaku mirip dengan manusia, termasuk dalam aktivitas sosialisasinya. 97% DNA orangutan identik dengan manusia. Foto: Rhett Butler

Dilindungi Tapi Tak Terlindungi

Upaya penyelamatan orangutan adalah upaya penyelamatan habitatnya, karena ancaman terbesar terhadap berkurangnya populasi orangutan adalah hilangnya habitat mereka (habitat loss). Dalam konteks kebijakan, terutama Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, dan aturan ikutan lainnya, maka kebijakan yang kita miliki hanya berfokus pada pelarangan kegiatan penangkapan, pemeliharaan, pembunuhan dan perdagangan orangutan. Inipun belum dilaksanakan dengan semestinya.

Namun lebih jauh lagi, kebijakan ini belum melarang kegiatan perusakan habitat orangutan yang justru menjadi ancaman terbesar mereka. Tidak semua orangutan hidup di kawasan dilindungi, sebagian besar justru berada pada kawasan hutan produksi dan areal konversi. Sangat ironis. Ini berarti orangutan dilindungi, tapi sebenarnya juga tidak terlindungi.  Satwa langka yang jadi ikon solusi pemanasan global ini justru berjalan menuju kepunahan.  Disaat semua orang berusaha menyelesaikan persoalan pemanasan global, orangutan justru terancam di kawasan yang bisa menyerap karbon dan mengurangi pemanasan global. Menyedihkan!

Jamartin SihiteCEO of The Borneo Orangutan Survival Foundation

Rini SucahyoCommunication Advisor for the CEO of The Borneo Orangutan Survival Foundation

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,