Proses pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan (green procurement) tengah diupayakan pemerintah tetapi belum tersosialiasi baik di daerah. Untuk itu, pengadaan barang dan jasa yang makin meningkat ini, harus didorong agar memperhatikan aspek lingkungan.
“Aturannya ada, tapi mungkin belum sampai ke daerah secara merata. Belum banyak daerah tahu aturan baru ini,” kata Rosarica Bernadeta, konsultan lingkungkan Support Islands of Integrity Program for Sulawesi Project (SIPS) dalam diskusi dengan sejumlah lembaga non pemerintah yang konsern lingkungan dan aparat pemerintah daerah, di Makassar, Sabtu (16/10/13).
Green procurement ini penting digalakkan mengingat besaran pengeluaran pemerintah tiap tahun khusus pengadaan sejalan potensi kerusakan lingkungan makin besar. “Secara global besar anggaran 30 persen dari growth domestic product. Di Indonesia, sekitar 31,2 persen dari Rp1.047 triliun total APBN, begitu juga daerah. Bisa dibayangkan dampak lingkungan yang mungkin timbul jika tak dikelola baik.”
Menurut dia, meskipun informasi ini belum tersosialisasi baik, namun penting bagi pemerintah daerah meningkatkan komitmen, sebagai bagian upaya bersama memajukan kualitas hidup.
Dasar hukum green procurement ini antara lain UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU ini disebutkan, pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan salah satu instrumen ekonomi lingkungan ekonomi insentif atau disinsentif. Aturan lain, Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Meski aturan jelas, katanya, tetapi dalam pelaksanaan belum maksimal. “Tidak dapat dipungkiri sampai saat ini penerapan pengadaan mempertimbangkan lingkungan dan sosial sangat minim. Pertimbangan ekonomi masih dominan.”
Dengan green procurement ini, semua proses pengadaan pertimbangan lingkungan sebagai syarat utama, termasuk bagi rekanan. “Ini melalui pemilihan green products and services yang tepat.”
Sejumlah alasan mengapa pengadaan barang dan jasa harus ramah lingkungan antara lain, dan mengurangi dampak negatif lingkungan. Lalu, meningkatkan kepatuhan peraturan lingkungan, meminimalisasi sampah, mendukung konservasi sumber daya, dan efisiensi sumber daya alam seperti energi, air, maupun mineral. “Ini untuk memperkuat pasar green products and services, serta meningkatkan innovasi industri produk ini,” ujar dia.
Martdwita Bayulesthari, Project Officer Program SIPS Sulsel menilai sangat, penting mendorong penerapan green procurement di daerah mengingat konsumsi produk dan jasa makin tinggi. “Konsumsi meningkat diiringi peningkatan produksi dunia usaha. Jika aktivitas ini tak mempertimbangkan lingkungan akan berkontribusi pencemaran lingkungan.”
Muhammad Nur Salam dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Sulsel mengatakan, green procurement telah menjadi perhatian pemerintah Sulsel. Beberapa langkah dilakukan antara lain, pengusulan pembangunan green industrial park di Kawasan Industri Makassar (Kima). Saat ini juga diusulkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) bersama LPSE Sulsel menjadi binaan percontohan.
Pemerintah, juga sedang menyusun rencana pembangunan pendidikan tinggi lingkungan (PTLH), melalui pembangunan Boarding School di bekas daerah tambang Tonasi di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep).
Dalam proses procurement, saat ini pengawasan ketat mulai dari persyaratan, kualifikasi hingga pemilihan rekanan. Saat ini, ada kewajiban perusahaan rekanan menyediakan tenaga ahli lingkungan hidup.”