Sawit Lestari, Antara Tekanan Pasar dan Ekologi Dunia

Pertemuan tahunan anggota-anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-11 atau RT11yang digelar di kota Medan Sumatera Utara resmi ditutup tanggal 14 November 2013 silam. Sejumlah kemajuan, diakui oleh RSPO berhasil diraih dalam pertemuan yang memfokuskan pada upaya menyampaikan kepada seluruh anggota RSPO di dunia tentang revisi-revisi yang telah dilakukan di Prinsip-Prinsip & Kriteria yang diterbitkan sejak bulan Mei 2013 silam. Terutama terkait dengan Perilaku Etika (Ethical Conduct) Pasal C1.3, Tenaga Kerja Paksa dan Perdagangan Tenaga Kerja (Forced and Trafficked Labour) di Pasal C6.12, Menghormati Hak Asasi Manusia (Respecting Human Rights) Pasal C6.13, serta Menekan emisi Gas Rumah Kaca Akibat Penanaman Baru (Minimising GHG Emission from New Plantings) Pasal C7.8.

Revisi Prinsip & Kriteria (P&C) RSPO ini dilakukan setiap lima tahun sekali. Panduan terakhir yang digunakan oleh anggota-anggota RSPO adalah P&C tahun 2007. Berdasarkan perubahan yang sudah dilakukan ini, setiap anggota yang ada di dalam RSPO wajib memenuhi kriteria dan prinsip yang diterapkan untuk memenuhi standar ramah lingkungan sesuai dengan peraturan pasar yang diterapkan di dunia, terutama untuk pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Secara umum sejumlah poin-poin perubahan dan tambahan yang masuk dalam Prinsip & Kriteria RSPO tahun 2013 ini adalah:

RSPO2

1. Perkebunan dilarang melakukan penanaman di lahan yang berada di luar area yang legal yang telah ditentukan (Pasal C2.2)

2. Perusahaan harus memiliki kebijakan untuk tidak menggunakan jasa tentara bayaran atau kekuatan militer dalam pelaksanaan operasional mereka. Perusahaan juga dilarang melakukan intimidasi ekstra-judisial dan kekerasan oleh pasukan pengamanan perusahaan. (Pasal C2.2)

3. Perusahaan harus melaporkan dan melakukan penilaian terhadap emisi Gas Rumah Kaca dari perkebunan dan pabrik yang mereka miliki (Pasal C5.6) dan perkebunan baru (C7.8).

4. Terkait dengan perbaikan di Pasal C5.6 dan C7.8, perusahaan wajib melakukan pilot project tiga tahun sebelum laporan resmi emisi Gas Rumah Kaca kepada publik.

5. Pabrik harus melakukan pencatatan sumber-sumber Tandan Buah Segar (TBS) yang baru dipanen jika berasal dari perusahaan penyuplai pihak ketiga (Pasal C4.1).

6. Penilaian kelayakan pengeringan lahan harus dilakukan sebelum melakukan penanaman kembali di lahan gambut untuk menentukan kemampuan jangka panjang dari proses pengeringan selama masa pertumbuhan pohon kelapa sawit. (Pasal C4.3).

7. Perkebunan yang dibuka di lahan gambut harus dikelola setidaknya sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam ‘RSPO Manual on Best Management Practices (BMPs) for existing oil palm cultivation on peat’ yang diterbitkan bulan Juni 2012. (Pasal C4.3)

8. Seluruh karyawan perkebunan harus disediakan layanan kesehatan, dan asuransi kesehatan (Pasal C4.7)

9. Pihak perusahaan perkebunan dan pabrik pengolahan harus menunjukka upaya untuk melakukan pengawasan dan meningkatkan akses pekerja pada makanan yang memadai, cukup dan terjangkau. (Pasal C6.5)

10. Penilaian High Conservation Value (HCV) harus memasukkan perubahan analisis  tata guna lahan untuk menentukan perubahan vegetasi yang terjadi sejak bulan November 2005. Analisis ini harus digunakan untuk menunjukkan perubahan status HCV. (Pasal C7.3).

11. Lahan yang sudah ditebang sejak bulan November 2005 tanpa penilaian HCV yang semestinya akan dikeluarkan dari program sertifikasi RSPO, hingga proses HCV dilakukan dengan semestinya dan diterima secara sah oleh RSPO. (Pasal C7.3)

12. Perusahaan tidak membuka perkebunan baru secara masif di lahan gambut atau anah lain yang dinilai rentan (Pasal C7.4)

13. Perbaikan berkelanjutan termasuk mengoptimalkan hasil dari supply base. (Pasal C8.1)

Secara umum ada sekitar 40 indikator baru yang ditambahkan dalam P&C RSPO tahun 2013 ini.

Puluhan ton buah sawit segar, dipanen di Kabupaten Asahan, Sumut. Perusahaan-perusahaan sawit anggota RSPO masih banyak melanggar hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Foto: Ayat S Karokaro
Puluhan ton buah sawit segar, dipanen di Kabupaten Asahan, Sumut. Perusahaan-perusahaan sawit anggota RSPO masih banyak melanggar hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Foto: Ayat S Karokaro

Pemerintah Optimis, Konflik Terus Berjalan

Perubahan dalam Prinsip dan Kriteria RSPO ini dinilai sangat penting oleh banyak pihak mengingat berbagai kasus yang masih melibatkan banyak anggota RSPO di berbagai wilayah. Seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah baru-baru ini dimana tulang-belulang orangutan ditemukan di area konsesi milik PT Bumi Langgeng Perdanatrada dan PT Andalan Sukses Makmur yang merupakan anak perusahaan PT Bumitama Gunajaya Agro bulan Oktober 2013 silam. Disusul oleh laporan yang dirilis tanggal 7 November 2013 saat Lembaga Transformasi Untuk Keadilan (TUK) dan Sawit Watch tentang sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit karena melanggar ketentuan dalam RSPO dan mandat PBB, yaitu Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free, Prior and Informed Consent) atau FPIC. Hal ini belum terhitung berbagai kasus lama seperti kesepakatan antara masyarakat di Jambi dengan PT Asiatic Persada yang batal setelah perusahaan ini dijual oleh PT Wilmar dan menyebabkan nasib masyarakat di sekitar perkebunan menjadi tidak jelas selama puluhan tahun.

Tiga kasus di atas adalah secuil dari sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di berbagai wilayah di Indonesia, dan sangat mungkin sebagian tidak diketahui oleh publik karena sulitnya jalur informasi dan akses yang ada di wilayah perkebunan.

0419palmoilshare360

Namun sebaliknya, Wakil Menteri Perdagangan RI, Dr. Bayu Krishnamurti masih meyakini bahwa kelapa sawit adalah komoditi terbaik yang ada di Indonesia. Selain produktif, komoditi ini juga menjadi salah satu andalan bagi Indonesia untuk meraih devisa dan mengubah taraf hidup orang banyak. Hal ini disampaikannya dalam sesi pembuka RT11 tanggal 12 November 2013 silam di Medan. “Kelapa sawit adalah komoditi yang paling produktif dibandingkan komoditi lainnya. Dan kita harus bersyukur karena Indonesia memiliki iklim yang pas untuk kelapa sawit. Medan adalah rumah dari kelapa sawit, dan kini kelapa sawit coming back home. Kelapa sawit adalah anugerah dari Tuhan untuk bangsa Indonesia, karena bisa mengubah kehidupan orang banyak lewat komoditi ini,” ungkap dalam pidato yang berapi-api di pembukaan acara Pertemuan Tahunan Anggota RSPO ini.

Pernyataan wakil menteri perdagangan tersebut mengiringi langkah yang telah dilakukan Indonesia di dunia internasional sebelumnya, yang mengupayakan agar produk kelapa sawit masuk dalam produk ramah lingkungan. Upaya pertama yang dilakukan adalah pada ajang APEC 2012 di Vladivostok, Rusia. Namun upaya ini gagal karena produk minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) Indonesia gagal memenuhi ambang batas emisi gas rumah kaca, akibatnya komoditi ini gagal masuk dalam 54 produk Environmental Goods (EG) List dan berhak atas bea masuk maksimal 5% pada tahun 2015 mendatang. Gagal di tahun 2012, Pemerintah RI kembali mengajukan CPO masuk menjadi EG List di Konferensi APEC 2013 di Bali yang digelar tanggal 1 hingga 8 Oktober 2013 silam. Upaya ini pun kembali gagal. Kelapa sawit Indonesia masih dianggap tidak ramah lingkungan.

Hutan Papua yang terbabat untuk perkebunan sawit skala besar. Foto: Greenpeace
Hutan Papua yang terbabat untuk perkebunan sawit skala besar. Foto: Greenpeace

Terkait hal ini, peran RSPO sebagai lembaga yang menjaga koridor ramah lingkungan seharusnya memiliki peran yang signifikan dalam menjaga kualitas produk yang dihasilkan oleh anggotanya, terutama para perusahaan perkebunan dan pabrikan yang berasal dari Indonesia, mengingat Indonesia adalah penghasil kelapa sawit nomor satu di dunia saat ini dengan level produksi sekitar 25 hingga 26 juta ton CPO per tahun. Sementara anggota RSPO dari Indonesia yang masuk dalam kategori growers (perkebunan) adalah 52 perusahaan dengan hasil 4.618.682 ton CPO bersertifikat ramah lingkungan di tahun 2013 dari lahan seluas 839.925 hektar menurut data RSPO. Artinya, ada sekitar 22 juta ton CPO yang belum masuk kategori bersertifikat ramah lingkungan di Indonesia dan dari 9 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia, kurang dari 10% yang menghasilkan kelapa sawit ramah lingkungan.

Faktanya, kebutuhan kelapa sawit ramah lingkungan di dunia saat ini ke pasar Eropa dan Amerika Serikat sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan kelapa sawit murah yang diekspor ke Cina, India dan Pakistan. Pasar ke Eropa dan Amerika Serikat, tidak lebih dari 12-14% nilai ekspor CPO Indonesia setiap tahun. Sementara tiga negara pengimpor utama, yaitu CIna, India dan Pakistan -yang notabene tidak mempedulikan soal ramah lingkungan-masih mendominasi ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke India sekitar 7 hingga 7,5 juta ton pertahun, sementara Pakistan tahun ini ditargetkan bisa mencapai 2 juta ton tahun ini. Cina sedikit kalah dari India, dengan rata-rata per tahun mengekspor 6 juta ton CPO dari Indonesia.

Sementara sebagai perbandingan, bahkan perusahaan pabrikan barang-barang kebutuhan rumah tangga (manufacturers) yang mengonsumsi minyak kelapa sawit terbesar di dunia, seperti Unilever sekalipun ‘hanya’ membutuhkan sekitar 1,5 juta ton CPO setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan seluruh produksi mereka. Menurut data yang dirilis oleh WWF dalam laporan Palm Oil Buyers Scorecard 2013, total penggunaan kelapa sawit oleh para manufacturers di dunia, yang sudah tersertifikasi, hanya sekitar 48% atau sekitar 3 juta ton. Selebihnya yang 6,4 juta ton, masih belum tersertifikasi ramah lingkungan. Sementara untuk kategori retailer, baru sekitar 52% kelapa sawit bersertifikasi yang digunakan atau sekitar 248 metrik ton dari 475 ribu metrik ton.

Adam Harrison dari WWF Scotland, menjelaskan scorecard pengguna kelapa sawit ramah lingkungan di dunia. Sejauh ini ada perkembangan, namun belum menggembirakan. Foto: Aji Wihardandi
Adam Harrison dari WWF Scotland, menjelaskan scorecard pengguna kelapa sawit ramah lingkungan di dunia. Sejauh ini ada perkembangan, namun belum menggembirakan. Foto: Aji Wihardandi

Perbandingan, ini memperlihatkan bahwa bahkan di tataran pebisnis kategori besar saat ini, kesadaran untuk menggunakan kelapa sawit yang masuk ketegori ramah lingkungan masih belum sepenuhnya terbangun.

“WWF sendiri, sebagai sebuah NGO kami kecewa dengan kenyataan yang ada pada laporan ini. Para pebisnis besar di dunia masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya penggunaan kelapa sawit yang bersertifikasi. Memang ada peningkatan dari laporan Scorecard yang dirilis dari tahun 2011 dan 2012, namun hal ini belum sepenuhnya menunjukkan performa yang baik,” ungkap Irwan Gunawan, Deputi Direktur untuk Transformasi Pasar dari WWF Indonesia.

Sawit Lestari, Masih Dipaksakan

Kekuatan menuju perubahan yang lebih baik, sejauh ini memang masih harus dipaksakan. Keanggotaan RSPO yang bersifat sukarela, menjadi sebuah kemudahan sekaligus masalah yang menganjal bagi pemenuhan standar ramah lingkungan yang diwajibkan. Bukan saja untuk kepentingan negara-negara pembeli, namun juga demi menjaga bisnis kelapa sawit dari kategori merusak lingkungan dan dituding sebagai penyebab munculnya berbagai konflik sosial di Indonesia. Lewat lembaga bernama Indonesia Sustainable Palm Oil, yang mewajibkan seluruh pengusaha dan pabrikan kelapa sawit di Indonesia untuk patuh pada koridor ramah lingkungan dan legalitas, kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam RSPO secara sukarela dikenakan kepada para pengusaha di Indonesia dalam standar yang wajib dipenuhi.

Rosenida Suharto, Direktur Eksekutif ISPO. Foto: Aji Wihardandi
Rosediana Suharto, Direktur Eksekutif ISPO. Foto: Aji Wihardandi

“Bicara soal ketentuan, ISPO ini disusun dari 142 ketentuan, yaitu paling sedikit dari 25 Undang-Undang, kemudian diikuti dengan sekian PP, sekian kepmen dan petunjuk teknis dari dirjen. Jadi betul, peraturan di dalam ISPO itu tidak bisa diubah, dan harus diikuti serta diwajibkan untuk diikuti oleh seluruh produsen minyak sawit di Indonesia, untuk mebghasilkan minyak sawit yang lestari. Mengapa kita mengerjakan hal itu, karena kita ingin apa yang kita kerjakan itu berdasarkan sesuatu yang legal,” ungkap Rosediana Suharto, Direktur Eksekutif ISPO dalam keterangannya di sesi tanya jawab dengan media di sela Pertemuan Tahunan RSPO di Medan pertengahan November 2013 silam.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha meliputi peraturan yang terkait dengan legalitas lahan, memperhatikan kelestarian lingkungan, dan kepentingan masyarakat lokal di sekitar perkebunan. Demi memenuhi kewajiban ini, ISPO menetapkan standar yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh pasar di Uni Eropa, kendati pangsa pasarnya tergolong kecil dibandingkan dengan pembeli utama dari India dan Cina. “Standar yang kami tetapkan memang sesuai dengan standar Uni Eropa agar kita bisa menembus pasar di wilayah itu. Sebenarnya pasar Eropa itu kecil, namun Eropa adalah pasar yang paling rewel. Karena kalau mau bicara pembeli, ya pembeli kita dari Cina dan India, yang membeli kelapa sawit dari Indonesia sekitar 10 juta ton setiap tahun,”  tambah Rosediana.

Apakah ISPO akan mampu memaksa pebisnis-pebisnis sawit Indonesia untuk berada dalam koridor ramah lingkungan dan menekan kerusakan hutan di Indonesia, serta konflik terkait legalitas lahan. hal ini pun masih harus menunggu bukti-bukti lebih lanjut dari lapangan.

Konsumsi kelapa sawit di Eropa
Konsumsi kelapa sawit di Eropa

Pembeli Mengatur, Negara Produsen Melawan

Kendali pasar kelapa sawit dunia yang berada diluar dari negara-negara yang dominan memproduksi kelapa sawit, ternyata tak hanya mempengaruhi para produsen. Namun hal ini juga mempengaruhi pola pikir pola produksi di Indonesia. Dengan pasar India dan Cina yang masih menjadi target utama dari kelapa sawit yang murah, maka sejumlah produsen nampaknya masih berorientasi pada pasar utama ini, dan memilih untuk meninggalkan segala jenis kerepotan di dalam RSPO, seperti yang sudah dilakukan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan rencananya akan disusul oleh Malaysian Palm Oil Association (MPOA).

Asosiasi Kelapa Sawit Malaysia atau Malaysian Palm Oil Association (MPOA) memutuskan untuk keluar dari keanggotaan RSPO karena dinilai terlalu merepotkan, dan yang terpenting adalah, tidak ada jaminan bagi anggota RSPO untuk mendapatkan harga premium di pasar dunia. Meski tidak menyatakan secara terbuka pada media tentang rencana keluarnya MPOA dari RSPO, namun Ketua Eksekutif MPOA Dato’ Makhdir Mardan menyatakan akan segera membuka informasi ini di acara Konferensi Kelapa Sawit Internasional ke-9 yang akan diadakan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 27 November 2013 mendatang. “Kini belum saatnya berbicara. Saya akan datang ke Bandung  pada tanggal 27 (November) nanti. Sebab saya ada dewan yang akan memutukan soal ini, dan saya tidak akan mendahului mereka untuk mengumumkan hal ini kepada publik,” ungkap Dato’ Makhdir.

Dato Makhdar, MPOA menyusul GAPKI keluar dari RSPO. Foto: Ocha
Dato Makhdar, MPOA menyusul GAPKI keluar dari RSPO. Foto: Ocha

Kendati tidak mengungkapkan secara terbuka, sinyalemen keluarnya MPOA dari RSPO sudah tercium kuat sejak pertemuan hari kedua di acara Pertamuan Tahunan RSPO di Medan antara 12 hingga 14 November 2013 silam. Dalam sesi diskusi yang digelar sejak hari kedua acara ini, perwakilan MPOA sudah tidak nampak dalam diskusi-diskusi yang digelar. Menyusul keluarnya MPOA, Malaysia juga akan menetapkan standar kelapa sawit mereka sendiri dengan MSPO atau Malaysian Sustainable Palm Oil.

Hal ini diamini oleh Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Asmar Arsyad seperti dikutip dari harian Suara Pembaruan. Asmar Arsyad menilai, RSPO tidak lagi kredibel karena dua asosiasi produsen sawit terbesar sudah hengkang. RSPO memang dapat berjalan seperti biasa, tapi anggota RSPO sebagian besar adalah anggota Gapki dan MPOA. Asmar menyesalkan mengapa masih ada anggota Gapki yang masih tercatat sebagai anggota RSPO.

“Itu menunjukkan mereka tidak kompak. Apkasindo pernah meminta agar mereka menyetop ekspor minyak sawit ke Eropa dan Amerika. Sebagai gantinya, pengusaha bisa mencari pasar baru yang lebih kompetitif dan tidak terlalu banyak menuntut dan mengada-ada,” ujarnya.

Menurutnya, keluarnya MPOA dari RSPO tidak mengherankan mengingat policy and criteria (PNC)-nya tinggi karena memasukkan hak asasi manusia (HAM), pestisida, korupsi, dan pekerja anak. “Kalau bicara lingkungan, semua berbicara sama. Menjaga lingkungan dan tanah adat bagus, tetapi janji RSPO tidak pernah dibuktikan,” ucapnya.

Buah sawit, sisa olahannya kini bisa menjadi lebih bermanfaat bagi manusia. Foto: ji Wihardandi
Bisnis sawit, masih tunduk pada mekanisme pasar, dan mengalahkan prinsip ekologi. Foto: Aji Wihardandi

Janji yang tidak terpenuhi itu salah satunya adalah tidak terbuktinya harga premium untuk tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit. Di sisi lain, petani membutuhkan biaya besar untuk memperoleh sertifikat RSPO. Akibatnya, tidak ada petani swadaya yang mampu memperoleh sertifikat RSPO. Sedangkan petani yang mengantongi sertifikat RSPO adalah petani plasma karena mendapat bantuan dari inti. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sendiri sudah memutuskan keluar dari RSPO sejak tahun 2012 silam.

Meski beranggotakan produsen, pabrikan, pedagang dan retailer kelapa sawit, anggota RSPO yang cukup dominan masih dari kedua negara produsen besar, yaitu Indonesia dan Malaysia. Keluarnya, dua asosiasi pengusaha kelapa sawit di dua negara ini, mungkin tidak akan menghentikan roda RSPO sebagai sebuah lembaga, namun dengan ketidakhadiran sejumlah produsen dari dua negara terbesar, hal ini tentu mempengaruhi kekuatan lembaga ini sebagai sebuah kekuatan yang memberikan koridor ramah lingkungan bagi produk-produk kelapa sawit dunia.

Tekanan ini masih ditambah dengan munculnya berbagai lembaga yang terus memberikan tekanan untuk menjaga kelestarian bisnis kelapa sawit dunia, seperti POIG atau Palm Oil Innovation Group yang digagas oleh Greenpeace dan sejumlah LSM internasional seperti Rainforest Action Network (RAN), WWF serta sejumlah pabrikan besar pengguna kelapa sawit. Hal ini merupakan sebuah reaksi atas kegagalan yang, menurut sejumlah pendiri POIG ini, berlarut-larut di dalam RSPO sendiri. Seperti yang terjadi dengan grup usaha Colgate Palmolive yang gagal memenuhi tenggat waktu untuk menggunakan kelapa sawit lestari melalui mekanisme yang ditetapkan di dalam RSPO. Hingga kini grup Colgate Palmolive masih menggunakan sekitar 24% kelapa sawit lestari dari seluruh produksi mereka atau sekitar 25 ribu ton saja dari 109 ribu ton kelapa sawit yang mereka gunakan.

Hal-hal serupa juga terjadi dengan Reckit Benckiser, yang masih menggunakan kelapa sawit lestari hanya 4% dalam total produksi mereka dan Procter & Gamble yang masih berkisar di angka 13% dari laporan yang dirilis oleh WWF.

Salah satu sudut di pertemuan RT11 di Medan. Foto: Aji Wihardandi
Salah satu sudut di pertemuan RT11 di Medan. Foto: Aji Wihardandi

RSPO, Masihkah Bergigi?

Kendati sejumlah perbaikan dalam kriteris dan prinsip-prinsip RSPO, namun wacana akan keraguan kekuatan RSPO untuk menjadi sebuah kekuatan yang mampu menjaga koridor produk-produk kelapa sawit lestari masih terus mengemuka. Masih terjadinya pembukaan hutan gambut untuk perkebunan, munculnya konflik-konflik lahan di berbagai wilayah tanah air, serta mandeknya penyelesaian pengaduan di lembaga ini, membuat sejumlah pihak masih meragukan kekuatan RSPO sebagai pengatur pasar dalam menghasilkan produk yang lestari.

Dari artikel di situs Sawit Watch, lembaga ini dan beberapa organisasi lainnya sudah mengeluarkan resolusi yang seharusnya di adopsi pada majelis umum kesebelas RSPO yang berlangsung pada 14 November 2013 di Medan silam. Resolusi ini diharapkan untuk diadopsi untuk menjamin keadilan, transparansi dan keseimbangan dalam mekanisme pengaduan RSPO.

Sawit Watch, LINKS, PAN-AP dan Yayasan Setara didukung oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), WildAsia merumuskan resolusi ini berdasarkan pada tidak berjalannya mekanisme pengaduan yang ada di RSPO.

Menurut Bondan Andriyanu, “Sawit Watch sangat mengapresiasi sistem pengaduan yang diadopsi oleh RSPO pada 2007, namun kami meragukan kemampuan RSPO untuk menjamin anggota dan pemangku kepentingan lainnya dengan proses yang adil, transparan dan tidak memihak, di tingkat lapangan.”

“Ada 50 pengaduan telah diajukan sejak 2008, dan proses penanganannya kami rasa sangat lamban. Seperti tidak ada keseriusan dari RSPO dalam menangangi kasus karena persentase kasus yang diselesaikan sangat tidak memuaskan bagi pihak yang menyampaikan aduan,” lanjut Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch tersebut.

Persoalan terbesar di RSPO terkait penangangan konflik ini adalah besarnya conflict of interest dari anggotanya. Karena Dewan Eksekutif yang mempunyai otoritas besar dalam penanganan konflik adalah terdiri dari anggota RSPO. Ini bentuk cacat kelembagaan karena anggota Dewan Eksekutif bisa menjalankan peran sebagai penggugat, tergugat, panel penerima keluhan, panel banding, penasehat panel keluhan, panel pengawasan badan pengaduan dan penentu akhir untuk memutuskan sanksi final.

“Struktur pengaduan tersebut di atas yang menyebabkan penanganan konflik berjalan lamban. RSPO tidak menawarkan mekanisme pengaduan yang mandiri bagi para pemangku kepentingan. Sistem pengaduan RSPO ini belum memenuhi standard mekanisme keluhan non-hukum sesuai dengan prinsip-prinsip panduan bisnis dan hak azasi manusia PBB yang ada dalam the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework (UNGP),” lanjutnya.

Sawit lestari, nampaknya masih bergantung pada kekuatan besar mekanisme pasar, dan bukan standar ramah lingkungan dari lembaga yang masih terus mengasah gigi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,