,

Kala Kehidupan Nelayan Tradisional Makin Terjepit

Hari Perikanan Sedunia, jatuh pada Kamis (21/11/13). Di Manado, Sulawesi Utara (Sulut), sejumlah kegiatan diadakan, mulai pagelaran seni, pameran foto, pengumpulan tanda tangan solidaritas, hingga pelatihan paralegal bagi nelayan. Perayaan ini sebagai ‘suara’ atas berbagai permasalahan yang menimpa nelayan dari soal zonasi, reklamasi sampai tambang.

Rignolda Djamaluddin, Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulawesi Utara (Sulut), menyatakan, kegiatan ini tindaklanjut permasalahan yang menimpa nelayan di Sulut,  belakangan ini. Berbagai masalah muncul, karena pola  pembangunan ekonomi tak tepat bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Izin yang dikeluarkan pemerintah, katanya, hanya memberi keuntungan bagi pemodal.“Dari hari ke hari ancaman pada nelayan makin bertambah. Banyak ruang hidup nelayan dirampas,” katanya di Manado, hari itu.

Rignolda, menyebutkan, ancaman nelayan melingkupi aktivitas pertambangan, zonasi perairan hingga reklamasi pantai. Fakta ini terungkap, kala nelayan-nelayan dari berbagai daerah berkumpul di Daseng, Sekretariat Antra.

Marthin Hadiwinata, koordinator advokasi hukum dan kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menilai ada pelanggaran oleh pemerintah Manado dalam reklamasi di Sario Tumpaan. Dia berpendapat, sesuai UU nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pemerintah kota wajib melibatkan nelayan dalam pembangunan.

Pemerintah kota,  berkewajiban membuat perencanaan zonasi dan pembangunan di wilayah pesisir. Tanpa perencanaan itu,  walikota dinilai membangun tanpa konsep yang jelas. “Dalam UU 27 juga menyebutkan, pembangunan fisik yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar diancam pidana 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar,” ujar dia.

Anak-anak juga menjadi korban dari perusahaan tambang yang akan masuk ke Pulau Bangka. Anak-anak dengan orang tua protes tambang, dipersulit di sekolah mereka. Foto: dari Facebook Save Bangka
Anak-anak juga menjadi korban dari perusahaan tambang yang akan masuk ke Pulau Bangka. Anak-anak dengan orang tua protes tambang, dipersulit di sekolah mereka. Foto: dari Facebook Save Bangka

William Hadinaung, nelayan dari Pulau Bangka, mengatakan, aktivitas pertambangan di pulau itu berpotensi menggusur penduduk pesisir dari tempat tinggal mereka. William dan warga di Bangka terus berusaha mempertahankan hak. “Bangka tempat lahir, tinggal dan mati kami. Sampai kapanpun kami menolak dipindahkan.”

Pulau Bangka, tak layak jadi pertambangan.  Ia hanya pulau kecil,  sekitar 4.700-an hektar terdiri dari empat desa, yakni Libas, Kahuku, Lihunu dan desa Ehe. Yang dia ketahui, dalam UU No 27, wilayah seluas 200 ribu hektar baru layak jadi pertambangan. “Izin Bupati Minahasa Utara ini merugikan warga.”

Lain lagi di perairan Taman Nasional Bunaken (TNB), nelayan mengaku kesulitan mengakses sumber daya kelautan. Sebab, pemerintah menempatkan titik-titik tertentu menjadi kawasan konservasi.

Zonasi itu dirasakan nelayan Pulau Nain, Kabupaten Minahasa Utara), dan Desa Popo serta Desa Telling, Minahasa Induk. Mereka kesal karena dilarang mengakses perairan yang menjadi tempat ikan berkumpul.

Apolos, nelayan Desa Telling, menyatakan, beberapa kali harus berurusan dengan Balai TNB karena kedapatan memasuki wilayah zonasi. Dia menilai, pemerintah tidak adil menetapkan peraturan ini karena larangan mengakses hanya bagi nelayan tradisional.

Dia menolak anggapan pemerintah yang menyatakan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan di daerah  itu merusak karang. Nelayan tradisional di sana tak pernah menggunakan bom dan racun.

Peringatan Hari Perikanan yang digelar sejak Sabtu (16/11/13) itu diikuti berbagai elemen. Antara lain, Komunitas Pendidikan Anak Pesisir (Pasir), Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola), Asosiasi Nelayan Tradisional dan Kiara.

Masyarakat nelayan yang menolak penambangan pasir laut di Selat Madura. Foto: Walhi Jawa Timur
Alat berat perusahaan tengah bekerja melanjutkan reklamasi di Pantai Sario Tumpaan, Manado. Para nelayan protes karena diduga penimbunan sudah memasuki wilayah ruang terbuka yang dikelola nelayan, sesuai kesepakatan yang digagas bersama Komnas HAM, pada 2010. Foto: Themmy Doaly
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,