Draft Pendanaan REDD+ Disepakati di COP-19, Apa Dampak Bagi RI?

Setelah tujuh tahun berdiskusi panjang lebar, sejumlah negara akhirnya menyepakati naskah final  Draft REDD+ pada hari Jumat 22 November 2013 silam di pertemuan COP ke-19 di Warsawa, Polandia. Dalam dokumen ini termasuk penjelasan terkait safeguards, pembahasan soal penyebab terjadinya deforestasi seperti konversi menjadi perkebunan, juga pembahasan soal pengukuran, pelaporan dan verifikasi (measuring, reporting and verification atau MRV), level referensi untuk mengukur reduksi emisi akibat deforestasi dan terakhir soal keuangan.

Menurut keterangan yang dilansir oleh Ecosystem Marketplace, dokumen ini membuka pendanaan untuk semua fase implementasi REDD, mulai dari kesiapan dan pembangunan kapasitas melalui proyek awal dan pembayaran untuk capaian.

“Dokumen final ini juga memuat pendanaan untuk pemenuhan syarat-syarat dalam safeguards berbasis capaian, peraturan yang jelas untuk transparansi keuangan dan menetapkan syarat minimum sebelum negara-negara yang terkait bisa lolos pendanaan berbasis capaian.”

Hutan Berau, Kalimantan Timur salah satu pilot project REDD+ Indonesia dilakukan. Foto: Aji Wihardandi
Hutan Berau, Kalimantan Timur salah satu pilot project REDD+ Indonesia dilakukan. Foto: Aji Wihardandi

“Hal ini akan menyediakan momentum politik untuk mendesain program REDD+ yang akan memaksimalkan hasil untuk komunitas dan keragaman hayati dan juga karbon,” ungkap lembaga tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh Rosalind Reeve dari Ateneo School of Government di Manila yang juga juru bicara REDD+ Safeguards Working Group. “Hal ini adalah tonggak keputusan untuk safeguards. Sekarang sudah ada prasyarat yang jelas bahwa setiap negara harus memasukkan laporan bagaimana mereka mengimplementasikan safeguards sebelum mereka bisa menerima pendanaan berbasis hasil untuk aktivitas REDD+ mereka.”

“Namun kendati kita sudah berhasil mencapai target di Warsawa, masih banyak pekerjaan besar menanti tahun depan untuk memastikan bahwa Sistem Informasi Safeguards bisa berjalan efektif dan laporannya memang komprehensif. Hal ini menjadi esensial untuk menyediakan jaminan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, masyarakat sipil dan investor bahwa keberadaan safeguards benar-benar serius dan dihargai sebelum negara isa mengakses pendanaan berbasis capaian.”

Kesepakatan formal ini bisa menyediakan penyelesaian bagi pasar REDD+ yang macet, yang berujung ketidakpastian dan lemahnya permintaan akan kredit karbon. REDD+ saat ini hanya terbatas pada pasar yang bersifat sukarela, yang utamanya memberikan kesempatan pada individu dan perusahaan yang tertarik untuk melakukan pembelian karbon offset untuk emisi karbon yang mereka sebabkan, dan bukannya pasar yang berbasis pada keharusan dan kepatuhan.

Keputusan ini tentu berdampak untuk Indonesia yang memiliki sejumlah potensi proyek percontohan REDD+ yang masih berjalan. Sejumlah proyek dengan sumber pendanaan yang masih menggantungkan pada dana Corporate Social Responsibility secara sukarela, tentu akan menerima dampaknya lewat  peran negara yang ditetapkan secara jelas dalam peraturan ini. Lembaga-lembaga yang bergerak di lapangan, seperti misalnya proyek Rimba Raya di Kalimantan Tengah yang kini sudah mengantongi izin resmi dari Departemen Kehutanan RI, akan bisa berjalan dengan lebih leluasa untuk menjalankan proyek pelestarian hutan ini lewat perhitungan berbasis capaian yang ditetapkan dalam peraturan baru ini untuk mendapatkan pendanaan yang lebih berkelanjutan.

Sumber: forestclimatecenter.org
Sumber: forestclimatecenter.org

Proyek yang mendapat izin pada bulan Mei 2013 silam ini sempat terkatung-katung selama 5 tahun. Lewat proyek ini diharapkan bisa menekan emisi karbon sebanyak 131 juta ton karbon lewat program yang berjalan selama 30 tahun. Pengurangan emisi karbon bisa ditekan lewat berbagai upaya menghindari pengeringan lahan gambut yang memiliki kandungan karbon padat, dan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

“Fakta yang tidak terbantahkan terjadi pada saat Rimba Raya sempat vakum, area ini sudah akan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit saat ini,” ungkap pernyataan ini “Sebaliknya, sejumlah komunitas yang secara tradisional masih tergantung pada hutan saat ini masih memiliki harapan untuk melanjutkan cara hidup mereka, dan tidak diperbudak oleh perkebunan kelapa sawit, dan Rimba Raya akan membantu mereka untuk meningkatkan standar hidup mereka.”

Lewat proyek yang dijalankan ini, Infinite Earth, operator proyek REDD+ Rimba Raya ini, juga menyatakan bahwa mereka juga membayar pajak kepada Pemerintah RI lewat izin yang didapat. “Rimba Raya membayar sama persis seperti yang dibayar oleh konsesi perkebunan kelapa sawit dan kayu untuk memberikan program pengembangan masyarakat, dan tidak bisa disamai oleh perkebunan sawit yang selama ini banyak menebar janji saja.”

Proyek Rimba Raya ini melindungi zona penyangga (buffer zone) di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting, sebuah kawasan lahan gambut yang bernilai penting bagi populasi orangutan yang kian terancam. Orangutan Foundation International, adalah sebuah LSM yang mendapat keuntungan langsung dari proyek ini.

Laju deforestasi di Sumatera dan Kalimantan.
Laju deforestasi di Sumatera dan Kalimantan.

Ketetapan baru yang dihasilkan oleh COP-19 di Warsawa ini, sekaligus memberikan peran baru yang lebih aktif bagi Badan REDD+ yang secara resmi ditandatangani oleh Presiden RI pada tanggal 31 Agustus 2013 silam. Lewat keterlibatan negara dalam membantu implementasi proyek yang dilakukan di lapangan dan proses monitoring pelaporan yang komprehensif, maka pendanaan untuk proyek ini bisa dilakukan lebih lanjut.

Teguh Surya dari Greenpeace seperti dimuat dalam berita Mongabay-Indonesia sebelumnya sempat menilai tugas dan fungsi regulasi ini cukup jelas sebagai sebuah badan setingkat menteri di bawah Presiden. Namun, untuk membantu menyelamatkan hutan Indonesia belum cukup. Mengapa?  Menurut Teguh, kewenangan sebatas pada koordinasi, singkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian proyek REDD+. “Juga tidak jelas mengatur koordinasi tupoksi lintas kementerian khusus Kementerian Kehutanan,” ujar dia.

Kondisi ini berarti pokok persoalan kehutanan yang harus diselesaikan masih di bawah kewenangan Kemenhut dan kementerian sektor lain. “Gimana mau mereduksi emisi kalau kementerian-kementerian itu tetap berniat mengkonversi hutan dalam jumlah besar?” Sedang Badan REDD+ tak memiliki kewenangan untuk menghentikan.

Upaya penghentian pembukaan hutan, masih menjadi fokus serius diantara tekanan kebutuhan untuk melindungi laju deforestasi yang terjadi di Indonesia. Simpul paling rumit, tentu berada pada tataran konsep, dimana konsep deforestasi itu sendiri masih belum sepenuhnya jelas. Hingga saat ini, definisi deforestasi hanyalah perubahan dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Sementara perubahan menuju lahan Hutan Tanaman Industri dan kelapa sawit dinilai bukan perubahan permanen, dan bukan menjadi bagian dari deforestasi. Padahal salah satu penyebab terbesar hilangnya tutupan hutan Indonesia, berasal dari pembukaan dua jenis perkebunan ini.

Pertanyaannya, mampukah Pemerintah RI mengikuti ketetapan baru yang dilahirkan di COP-19 ini sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan hutan Indonesia? Jawaban yang masih harus diuji lebih lanjut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,