Byar pêt…Byar pet. Hidup, mati listrik di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), bak menu sehari-hari. Bahan bakar minyak pun makin mahal. Ferdy Ardian, seorang musisi di Pontianak, berpikir bagaimana menyiasati masalah ini.
Pontianak sebagai kota khatulistiwa, daerah dengan limpahan matahari memunculkan ide gitaris band Lemon Tea ini. “Bagaimana memanfaatkan energi matahari untuk kebutuhan sehari-hari? Begitu kira-kira pikiran yang berkecamuk di benak Ferdy, kala itu.
Ferdy multi talenta. Tak hanya gitaris, dia juga bisa mendesain bangunan dan desain grafis. Ide didukung keahlian. Gayung bersambut. Pada 2009, dia merancang studio menggunakan energi matahari. F Studio, namanya. Pohon bambu menjadi peneduh, dan penghijau. Studio di Jalan Imam Bonjol no 1 ini tampak sejuk dan asri. Di bagian depan ada kolam nila.
“Biaya cukup mahal. Kalau dihitung balik modal pasti lama. Tapi, ini kan untuk seumur hidup,” katanya. Tiga Mei lalu, tepat empat tahun studio menggunakan 50 persen tenaga surya. Ia mendukung pemakaian lima jam studio, tetapi para penyewa studio tak khawatir pemadaman listrik.
Modal membuat pembangkit listrik tenaga surya untuk studio, memakan biaya Rp20 juta. “Jika menginginkan rumah murni tenaga listrik, biaya bisa Rp40 juta.”
Ferdy, pecinta lingkungan, dan cinta bersepeda. Dari tahun 2000-an, dia sudah berangkat kerja menggunakan sepeda. “Jarak antara rumah dan kantor tak begitu jauh. Lebih hemat dan lebih sehat,” katanya pada Oktober 2013. Ferdy menilai, jalan raya di Pontianak, lebih ‘ramah’ bagi pesepeda, ketimbang Jakarta.
Dia punya Jackson, sepeda tercinta, yang dibeli 2007. Malang, sepeda tipe road flatbar berukuran lingkaran ban 700/23 C ini hilang Maret lalu. Bersama Jackson, Ferdy, sudah melanglang buana. Mereka telah berjalan ke Kabupaten Sintang. Juga Pontianak – Singkawang, Tanjung Pandan Belitong – Tanjung Tinggi, Jakarta-Bogor-Puncak. Lalu, Pontianak-Ngabang-Sanggau–Sintang.
Pada Maret 2012, Ferdy bersepeda seorang diri dari Pontianak ke Kabupaten Sintang. Perjalanan tak kurang tiga hari. “Jarak Pontianak-Sintang 390 kilometer dengan kecepatan rata-rata 19,8 kilometer per jam, total waktu tempuh sekitar 20 jam. Itu total waktu tak termasuk istirahat.”
Sejalan dengan kecintaan berkendara, sejak 2011, Ferdy mulai ujicoba membuat motor bertenaga surya. Dia membeli sebuah motor listrik dari teman. Motor China merek Trekko ini sudah lama rusak. Dia menambah panel surya berukuran sekitar 63 cm x 55 cm di bagian depan. Biaya pemasangan panel dan perbaikan motor Rp3 juta. Semua perakitan di rumah. Jadi, jika ada kesulitan, Ferdy akan membawa ke bengkel.
Menurut dia, kelemahan rancangan motor listrik ini tak mempertimbangkan kekuatan baterai. Lampu pijar, hingga boros energi. Diapun mencopot lampu dan diganti yang hemat energi.
Motor ini bisa tahan 60 menit, panel surya dibaut persis di bawah dudukan lampu utama. Pengisian baterai minimal enam jam. Motor ini bisa menempuh jarak sekitar 50 km setelah di-charge 4-8 jam. Dia masih mencari cara agar durasi mengisi daya bisa dikurangi sekaligus menambah daya jelajah.
Kelebihan motor ini, ramah lingkungan karena tak mengeluarkan asap dan tak pakai oli . Ia juga tak berisik. Namun, perlu berhati-hati, karena orang tak tahu jika ada kendaraan lewat.
Bereksperimen, bagi Ferdy, bukan gaya-gayaan. “Sudah saatnya orang berkomitmen menjaga keseimbangan lingkungan, mencegah polusi dan bergaya hidup ramah lingkungan.” Terlebih, dalam 10-20 tahun ke depan, harga BBM makin mahal.
Kini, dia kebanjiran order pemasangan panel surya di daerahdaerah pedalaman Kalbar. Beberapa daerah ini, ada yang belum tersentuh listrik. Sudah lima yang memasang dengan arif tarif Rp5,9 juta, termasuk panel dan biaya pasang. Ferdy juga menyediakan suku cadang panel surya. Kini dia menjajaki pengembang, untuk pemasangan rumah bertenaga surya.