,

Rumitnya Pelepasliaran Orangutan, Bukan Sekedar Rehabilitasi Belaka

Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus)  memiliki tiga sub-spesies yang telah diidentifikasi berdasarkan studi genetika. Ketiga orangutan tersebut yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang ditemukan di barat laut Borneo, Pongo pygmaeus wurmbii di Borneo bagian tengah, dan Pongo pygmaeus morio di timur laut Borneo. P.p. wurmbii merupakan sub-spesies dengan ukuran tubuh relatif paling besar, sementara P.p. morio adalah sub-spesies dengan ukuran tubuh relatif paling kecil.

Hal ini dikatakan Drh. Agus Irwanto, Acting Manager Program Samboja Lestari Yayasan Penyelamat Orangutan Borneo (Yayasan BOS). “Perbedaan yang mencolok, orangutan yang ada di Kalimantan Tengah memiliki tubuh langsing sementara orangutan yang ada di Kalimantan Timur memiliki tubuh yang gemuk,” ungkap Agus.

Menurut data yang diperoleh, pada tahun 2004, diperkirakan bahwa total populasi orangutan di Pulau Borneo, baik di wilayah Indonesia maupun Malaysia terdapat sekitar 54 ribu individu. Diantara ketiga sub-spesies orangutan Borneo tersebut, P.p. pygmaeus merupakan sub-spesies yang paling sedikit dan terancam kepunahan, dengan estimasi jumlah populasi sebesar 3,000 hingga 4,500 individu di Kalimantan Barat dan sedikit di Sarawak, atau kurang dari 8% dari jumlah total populasi orangutan Borneo.

Lima Individu orangutan saat dimasukan ke dalam Pesawat di Bandara Sepinggan Balikpapan. Foto: Hendar
Lima Individu orangutan saat dimasukan ke dalam Pesawat di Bandara Sepinggan Balikpapan. Foto: Hendar

Dengan perbedaan tiga sub-spesies orangutan Kalimantan tersebut, maka pada Kamis (28/11) lalu, yayasan BOS di Semboja lestari mengembalikan lima individu orangutan Kalteng (Pongo pygmaeus wurmbii ) yang berada di Semboja lestari. Sementara pada Sabtu (30/11) mendatang tiga orangutan Kaltim (Pongo pygmaeus morio) yang berada di rehabilitasi Nyaru Menteng Kalteng ke rehabilitasi Semboja Lestari Kaltim.

Pertukaran tersebut berdasar pada tes Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) setiap individu orangutan yang akan dilepasliarkan.  Kelima individu orangutan Kalteng yang berada di Semboja Lestari, seharusnya telah dilepasliarkan pada bulan lalu bersama pelepasliaran ke-100 orangutan namun, sebelum pelepasliaran, dilakukan tes DNA, ternyata kelima orangutan tersebut merupakan orangutan Kalteng, sehingga mereka tidak dilepasliarkan di Kaltim dan harus dikembalikan ke Kalteng.

“Kita harus mengembalikan ke habitatnya masing-masing sesuai dengan hasil tes DNA. Setelah 7-12 tahun kelima individu orangutan yang kami sekolah alamkan, memang belum diketahui apakah mereka berada di ruang lingkup orangutan Kaltim atau tidak. Kami baru melakukan pengecekan DNA, setelah orangutan tersebut siap dilepasliarkan,” kata Agus.

marwoto individu orangutan siap berangkat ke kalteng dari bandara Sepinggan Balikpapan. Foto: Hendar
marwoto individu orangutan siap berangkat ke kalteng dari bandara Sepinggan Balikpapan. Foto: Hendar

Sementara itu, setiap individu orangutan, percontoh darah yang akan dites DNA nya memakan biaya sekitar Rp 2,5 juta. Dan seharusnya pemerintah saat melakukan penyitaan dan sebelum diserahkan ke badan rehabilitasi atau konservasi, harus melakukan tes DNA terlebih dahulu, sehingga dapat meletakan individu orangutan ke lokasi yang benar.

“Yang sangat disayangkan, saat melakukan penyitaan orangutan oleh BKSDA, mereka tidak melakukan pengetesan DNA, sehingga terjadi peristiwa seperti ini, dan kami baru melakukan tes DNA, saat akan dilepasliarkan. Biaya untuk tes DNA lumayan mahal, untuk satu sample darah itu mencapai Rp 2,5 juta,” ungkap  Rini Sucahyo Communication Advisor for the CEO of The Borneo Orangutan Survival Foundation

Namun permasalahan kembali timbul, saat lima individu orangutan Kalteng yang dikembalikan dari Semboja Lestari tiba di Nyaru Menteng Kalteng. Karateristik daerah yang berbeda menyebabkan individu orangutan Kalteng yang dikembalikan harus melakukan adabtasi selama beberapa hari untuk menyesuikan dengan kondisi alam setempat.

Kondisi alam di Kalteng, diketahui lebih memiliki banyak rawa dan rawan banjir, sehingga orangutan lebih banyak beraktivitas di atas atau pohon. Sementara di Kaltim kondisi lahan banyak bukit dan hutan, sehingga orangutan banyak beraktivitas di bawah atau di tanah.

“Kalau orangutan Kalteng yang telah disekolahkan di Semboja Lestari dan dikembalikan ke Kalteng, individu orangutan tersebut harus ditaruh di Pulau Kaja, Nyaru Menteng Kalteng, untuk beradabtasi selama beberapa hari agar dapat menyesuaikan diri dengan alam sekitar setelah itu baru dilepasliarkan, sementara untuk tiga orangutan Kaltim yang di sekolahkan di Nyaru Menteng saat dikembalikan ke Kaltim dapat langsung di lepaskan,” papar Rini.

Orangutan Kalimantan, di Taman Nasional Tanjung Puting. Foto: Rhett A. Butler
Orangutan Kalimantan, di Taman Nasional Tanjung Puting. Foto: Rhett A. Butler

Dari Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng di Kalimantan Tengah ke Hutan Kehje Sewen di Kalimantan Timur

Setelah Kamis kemarin lima individu orangutan Kalteng di kembalikan ke Kalteng, pada Minggu (30/11) ini, Orangutan ibu-anak, Yayang dan Sayang, dan satu individu orangutan betina bernama Diah akan tiba di bandara Sepinggan Balikpapan untuk dilepasliarkan ke Hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Pelepasliaran kali ini terbilang istimewa karena merupakan pelepasliaran lintas provinsi pertama dari Program Reintroduksi Orangutan Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, ke Hutan Kehje Sewen yang dikelola oleh PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ini agak berbeda dengan orangutan-orangutan lain yang berasal dari pusat rehabilitasi yang sama, yang selama ini dilepasliarkan di kawasan Hutan Lindung Bukit Batikap, Kalimantan Tengah.

Kelima orangutan Kalteng yang dikembalikan ke Kalteng dari Semboja Lestari, yang memiliki sub-species Pongo pygmaeus wurmbii ini akan menjalani tahap akhir proses rehabilitasi mereka di salah satu pulau pra-pelepasliaran orangutan yang dikelola oleh Yayasan BOS di Nyaru Menteng sebelum dilepasliarkan ke habitat alami mereka di Kalimantan Tengah.

Sepasang induk-anak Yayang dan Sayang akan dilepasliarkan di Kalimantan Timur berdasarkan hasil pemeriksaan DNA yang harus dilakukan sebelum dilepasliarkan. Dari hasil pemeriksaan, ternyata sub-spesies Yayang dan Sayang adalah Pongo pygmaeus morio yang secara alami tersebar di wilayah timur Kalimantan, bukan Pongo pygmaeus wurmbii yang secara alami terdapat di Kalimantan bagian tengah. Sesuai dengan praktik kesejahteraan satwa, Sayang yang masih berusia muda akan dilepasliarkan bersama dengan induknya untuk memastikan kesejahteraannya.

Taman Nasional Tanjung Puting yang menjadi pusat rehabilitasi orangutan di Kalimantan. Foto: COP
Taman Nasional Tanjung Puting yang menjadi pusat rehabilitasi orangutan di Kalimantan.

Sementara Diah, orangutan betina yang kini berusia 17 tahun, akan dilepasliarkan ke Kalimantan Timur karena sub-species-nya adalah Pongo pygmaeus morio yang secara alami tersebar di wilayah timur Kalimantan. Disita dari Sebulu, Kalimantan Timur, Diah menjalani proses rehabilitasi di Pusat Reintroduksi Orangutan Yayasan BOS di Samboja Lestari, Kalimantan Timur. Pada tahun 1998, Samboja Lestari mengalami kelebihan kapasitas akibat banyaknya orangutan yang masuk ke Samboja Lestari karena kebakaran hutan besar. Diah yang baru satu tahun belajar di Samboja Lestari, terpaksa dipindahkan ke Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah yang baru saja dibuka.

Berdasarkan hal tersebut dan sesuai dengan standar nasional dan internasional (IUCN), maka Yayang, Sayang, dan Diah harus dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen, Kalimantan Timur, bukan di hutan lindung Bukit Batikap, Kalimantan Tengah, seperti kawan-kawannya dari pusat rehabilitasi Nyaru Menteng. Hutan Kehje Sewen dikelola oleh PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu –  Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dari Kementerian Kehutanan.

RHOI adalah perusahaan yang didirikan oleh Yayasan BOS pada 21 April 2009 dengan tujuan tunggal  untuk dapat mengelola kawasan hutan secara lestari bagi orangutan rehabilitan dari Samboja Lestari. “Secara naluri DNA, seorang anak individu orangutan akan mengikuti DNA sang ibu, sehingga tiga orangutan beserta anaknya akan dilepaskan di Kaltim,” ungak Rini

Pelepasliaran kali ini melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, serta masyarakat Kutai Timur dan Kutai Kartanegara.

Yayasan BOS terus berusaha keras melakukan kegiatan pelepasliaran orangutan dengan harapan dapat memenuhi target yang ditetapkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Rencana Aksi ini dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007, yang menyatakan bahwa semua orangutan di pusat rehabilitasi harus dikembalikan ke habitatnya paling lambat pada tahun 2015, dan telah disepakati oleh seluruh jajaran pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

Perkembangan populasi orangutan akan terjaga dengan tata ruang yang baik dalam industri kehutanan. Foto: Rhett A. Butler
Perkembangan populasi orangutan akan terjaga dengan tata ruang yang baik dalam industri kehutanan. Foto: Rhett A. Butler

“Latar belakang kenapa Yayang, Sayang, dan Diah harus dilepaskan di provinsi yang lain adalah karena sebagai orangutan yang berasal dari timur Kalimantan, mereka memiliki sifat genetik yang berbeda dengan orangutan yang menempati hutan di daerah lain di Kalimantan. Kami berkomitmen untuk menjaga kemurnian genetika setiap orangutan yang dilepasliarkan karena hal ini penting untuk dilakukan. Dengan sekian banyak orangutan masih menunggu untuk dilepasliarkan, masih besar pula kemungkinan bahwa kami harus melakukan pelepasliaran lintas provinsi di masa yang akan datang.” Jelas Rini.

Anton Nurcahyo, Manajer Program Nyaru Menteng mengatakan, “Hingga saat ini terdapat lebih dari 500 orangutan yang memenuhi syarat untuk dilepasliarkan di Nyaru Menteng, dan nyaris semuanya masih memerlukan proses pemeriksaan DNA untuk menentukan sub-species mereka sehingga dapat ditentukan di mana tepatnya orangutan-orangutan tersebut dilepasliarkan. Padahal biaya untuk melakukan tes tersebut tidaklah kecil. Apabila pemerintah telah lebih dahulu melakukan tes itu sebelum memasukkan orangutan ke pusat rehabilitasi, tentu meringankan beban yang ditanggung oleh pusat rehabilitasi orangutan, dan memudahkan Yayasan BOS untuk menentukan di mana orangutan tersebut akan direhabilitasi dan dilepasliarkan di kemudian hari.

Nyaru Menteng Melepasliarkan 17 Orangutan

Pada 13 Oktober 2013 lalu, dengan dilepasliarkannya 9 orangutan dari Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari, Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) genap melepasliarkan 100 individu orangutan ke habitat alami mereka.  Kegiatan pelepasliaran ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pelepasliaran yang kembali dimulai di Kalimantan pada awal 2012, setelah selama 11 tahun tidak dapat melakukan kegiatan pelepasliaran karena sulitnya menemukan hutan yang layak dan aman sebagai lokasi pelepasliaran.

Kini, untuk mencapai target yang tercantum pada Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017, Yayasan BOS di Nyaru Menteng kembali melepasliarkan 17 orangutan. Kegiatan kali ini menjadikan total orangutan yang telah dilepasliarkan di Kalimantan Tengah 99 orangutan, dan total keseluruhan di Yayasan BOS 117 orangutan.

Orangutan Kalimantan yang semakin terancam akibat deforestasi, konversi hutan untuk lahan sawit dan pulp and paper, dan perburuan. Foto: Rhett A. Butler
Orangutan Kalimantan yang semakin terancam akibat deforestasi, konversi hutan untuk lahan sawit dan pulp and paper, dan perburuan. Foto: Rhett A. Butler

Pada Jumat (29/11) hingga Sabtu (30/11), 17 orangutan rehabilitan berangkat dari Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng menuju titik-titik pelepasliaran yang telah ditentukan sebelumnya di Hutan Lindung Bukit Batikap. Mereka terdiri dari 13 orangutan betina, dan 4 orangutan jantan.

Orangutan-orangutan ini akan diterbangkan dari Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya menuju Bandara Dirung di Puruk Cahu. Sampai di Puruk Cahu, para orangutan akan langsung diterbangkan dengan helikopter ke Hutan Lindung Bukit Batikap. Karena banyaknya jumlah orangutan yang akan dilepasliarkan, para orangutan akan dibagi ke dalam 4 kelompok penerbangan. Hari pertama akan menerbangkan 8 orangutan ke Bukit Batikap, sisanya 9 orangutan akan diterbangkan di hari kedua.

Kegiatan pelepasliaran orangutan ini masih merupakan upaya perwujudan target yang tercantum pada Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 yang diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali, 2007, di mana dinyatakan bahwa seluruh orangutan yang ada di pusat rehabilitasi harus telah dilepasliarkan paling lambat pada tahun 2015.

Anton Nurcahyo, Manajer Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng mengatakan, kebutuhan lokasi pelepasliaran yang baru merupakan hal yang penting dalam upaya pelestarian. “Saat ini upaya konservasi orangutan semakin digiatkan melihat keprihatinan yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu pembunuhan orangutan dan pembukaan lahan baru untuk kepentingan industri. Sejak bulan Agustus, dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan, Nyaru Menteng telah menerima 8 anak orangutan yatim piatu. Bayi orangutan yang telah kehilangan induknya ini membutuhkan proses rehabilitasi sedikitnya selama 7 tahun, sementara itu Pemerintah memiliki target untuk melepasliarkan orangutan yang ada di pusat rehabilitasi paling lambat pada tahun 2015. Jika Pemerintah tidak tegas dalam menegakkan hukum untuk melindungi orangutan dan habitatnya, target yang tertuang dalam Rencana Aksi Konservasi Orangutan tidak akan bisa terwujud. Hal lain yang sangat mendesak agar pelepasliaran orangutan bisa berjalan dengan lancar  adalah kebutuhan akan lokasi pelepasliaran yang baru,”kata Anton

Sementara itu menurut Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, Ir. Hariyadi, “Perusahaan yang dalam wilayah konsesinya terdapat orangutan dan bernilai konservasi tinggi seharusnya bekerjasama dan berkoordinasi dengan BKSDA untuk melakukan pengelolaan perkebunan yang berwawasan lingkungan dan konservasi. Perusahaan harus ikut serta dalam upaya konservasi orangutan dengan membentuk Satgas Penyelamatan Orangutan. Tujuannya untuk mencegah konflik antara manusia dengan satwa liar, dalam hal ini orangutan, di lingkungan perkebunan, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. BKSDA akan menyambut positif setiap upaya kerjasama dalam masalah konservasi orangutan yang berada di lingkungan perusahaan agar satwa langka yang dilindungi Undang-Undang ini tetap lestari”. Kata Haryadi Untuk  kedepannya BKSDA Kalteng  akan merangkul  perusahaan tersebut bekerjasama dalam pengelolaan hutan dan kebun yang berwawasan lingkungan dan konservasi melalui Memorandum of Understanding (MoU).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,