,

Pemerintah Didesak Bikin Aturan Ketat Soal Mercuri

Kalangan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, mendesak pemerintah segera mengatur ketat distribusi dan penggunaan mercuri beserta penegakan hukum bagi pelanggar karena mengancam manusia dan lingkungan. Apalagi, Indonesia telah sepakat menandatangani dan siap meratifikasi Minamata Convention on Mercury, hasil pertemuan di Kumamoto, Jepang pada 10 Oktober 2013.

Dengan perjanjian baru ini,  mengatur perdagangan dan peredaran merkuri, pembatasan dan penghapusan penggunaan merkuri dalam produk dan proses industri. Ia juga membatasi pengelolaan merkuri di tambang emas skala kecil (PESK), pengendalian emisi dan lepasan merkuri ke udara, air dan tanah, pengelolaan limbah merkuri dan penyimpanan stok merkuri, serta remediasi lahan tercemar merkuri. Dampak pencemaran merkuri terhadap kesehatan dan lingkungan adalah signifikan dan tidak dapat dipulihkan.

Di Indonesia, sumber emisi dan lepasan merkuri tertinggi dari sektor PESK, produksi minyak dan gas, pembakaran batubara, pembakaran sampah dengan insinerator dan pembakaran terbuka, serta pembuangan limbah. Berdasarkan hasil studi inventori merkuri di Indonesia 2012, lepasan merkuri ke lingkungan sekitar 339,250 kg hg per tahun, sekitar 59,37% dilepas ke udara, 15,5% ke air dan 14% dilepas ke tanah atau sedimen. Sekitar 57.5% emisi ini dari PESK dengan total emisi sekitar 195 ton per tahun, atau sekitar 20% dari emisi PESK global.

Dalam laporan UNEP Januari 2013, Global Mercury Assessment 2013, menyebutkan, tambang emas skala kecil (artisanal and small-scale gold mining/ASGM) diidentifikasi sebagai sumber emisi merkuri terbesar dari penggunaan merkuri disengaja (intentional use of mercury).

Walhi mendesak pemerintah segera menerapkan prinsip kehati-hatian dini dengan konsisten. “Ini untuk menjamin hak rakyat Indonesia atas lingkungan hidup sehat sebagai hak asasi manusia,” kata Nur Hidayati, Departemen Kampanye dan Advokasi Walhi Nasional, dalam pernyataan bersama akhir November 2013.

Dia mengatakan, memalukan Indonesia menjadi importir merkuri ilegal tertinggi dunia. “Dengan ketiadaan pengaturan dan penegakan hukum jelas dalam legalitas merkuri untuk PESK, pemerintah mempertaruhkan kesehatan generasi kini dan mendatang.”

Yuyun Ismawati, Senior Advisor BaliFokus mengatakan, impor ilegal merkuri 2012 minimal US$31.5 juta atau Rp365 miliar, dengan perkiraan produksi emas minimal 65 ton atau US$1 miliar atau Rp11,5 triliun. Merkuri  ini, katanya, diperdagangkan ilegal di lebih dari 850 titik tersebar di seluruh Indonesia.

Kondisi ini, ujar Yuyun, menyebabkan kerugian ekonomi karena potensi pemasukan negara dari pajak dan royalti hilang. Paling parah, paparan merkuri, berpotensi mengulang tragedi Minamata di Indonesia. “Kita harus stop impor merkuri dan Indonesia harus tetapkan target reduksi merkuri sesegera mungkin dalam rencana implementasi nasional.”

Rossana Dewi dari Gita Pertiwi menyoroti sebaran mercuri ke rantai makanan.  Dia meminta, minimalisasi keberadaan merkuri dalam rantai makanan harus terjawab dalam implementasi perjanjian ini.

“Merkuri yang masuk ke lingkungan akan masuk ke dalam rantai makanan, melalui ikan beras, dan berakumulasi di tubuh manusia. Jika rantai makanan tercemar, pangan tidak sehat, kualitas generasi masa depan kita terancam.”

Arif Fiyanto, Team Leader Climate and Energy Campaign Greenpeace Indonesia, menambahkan, sinergi penghapusan merkuri dibarengi pengurangan batu bara, sangat penting. Indonesia, dengan 50 PLTU dan 117 PLTU bertenaga batu bara yang akan dibangun, akan meningkatkan signifikan emisi merkuri di Indonesia.

“Pemerintah Indonesia harus segera menghentikan kecanduan negeri ini terhadap batubara. Segera memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan.”

Masyarakat sipil dan wakil industri tidak dilibatkan dalam proses konsultasi penyusunan Rencana Implementasi dan Rencana Aksi Sektoral. Di lapangan, masyarakat menjadi penerima dampak. Perempuan usia subur dan anak-anak balita merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi dari keracunan merkuri dan penyakit yang menyerang sistem syaraf sejenis Minamata disease.

Sudaryatmo, Direktur Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan, produk kosmetik mengandung merkuri sangat merugikan perempuan. Sejak 1998,  Indonesia melarang penggunaan merkuri dalam kosmetik untuk melindungi konsumen.

Namun, penegakan peraturan lemah hingga sampai saat ini di pasar banyak dijumpai produk-produk kosmetik bermerkuri. Tak hanya itu. Merkuri yang terlepas karena kebocoran atau kerusakan alat bermerkuri, juga membahayakan kesehatan dan keselamatan pekerja dan pemakai alat.

Indonesia juga perlu mengkaji beberapa peraturan dan regulasi terkait pengelolaan B3 dari hulu sampai hilir. “Pemerintah harus memastikan keterlibatan stakeholders, khusus masyarakat sipil pada proses penyusunan regulasi di tingkat nasional dan lokal,” kata  Henri Subagiyo, Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).

Indonesia,  katanya, harus mampu menerjemahkan beberapa prinsip penting pengaturan merkuri ini, yaitu pemenuhan akses informasi tentang resiko penggunaan merkuri bagi kesehatan dan lingkungan hidup.

Belajar dari Minamata, Indonesia harus memastikan pula pencemar harus membayar kompensasi untuk pemulihan kesehatan para korban dan lingkungan. Juga harus ada mekanisme pertanggungjawaban mutlak bagi pencemar yang menggunakan bahan ini. “Penegakan hukum harus konsisten dan efektif.”  Sedang solusi Eco Park di atas lahan tercemar merkuri seperti di Minamata, dinilai tak realistis di Indonesia, dan di negara-negara berkembang lain.

Mengenai  kegiatan PESK, Gatot Sugiharto, Koordinator Community Green Gold Mining – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyampaikan, masyarakat mendukung implementasi di lapangan teknik tanpa merkuri. Namun, dia mengingatkan, jangan sampai terjadi kriminalisasi petambang kecil atau petambang rakyat.

Kondisi di lapangan, sekalipun mendapatkan perizinan, petambang dan distributor kimia tidak mau masuk ke satu wilayah karena ‘sudah ada yang punya’.  Sinyal ini menunjukkan, ketidaklegalan tambang emas yang dikelola masyarakat diduga terkait aparat-aparat yang punya kepentingan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,