Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) menetapkan dua tersangka penimbunan laut di perairan Kota Makassar, masing-masing Najmiah Muin dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD). Kepastian penetapan tersangka ini disampaikan melalui rilis Polda Sulsel kepada media Kamis (5/12/13).
Kombes Pietrus Waine, Direktur Ditreskrimsus Polda Sulsel, menyebutkan, kedua pihak dinilai melakukan tindak pidana usaha dan atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.
Keduanya dinilai melanggar Pasal 36 Ayat (1) Subs Pasal 109 UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 109 disebutkan, setiap orang berusaha tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar atau paling banyak Rp3 miliar.
Najmiah, pada Oktober–November 2013, menimbun laut di sekitar Jalan Metro Tanjung Bunga, depan Rumah Sakit Siloam, seluas 30 ribu meter persegi. “Pelaku menimbun laut atau reklamasi tanpa dilengkapi izin kelayakan lingkungan dan izin reklamai dari instansi berwenang,” katanya.
Untuk GMTD diduga menimbun laut di Pantai Barombong, Keluarahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Makassar, tanpa izin sekitar awal 2013. Perusahaan ini pembangunan sarana olahraga renang tanpa dilengkapi izin kelayakan lingkungan dan izin reklamasi.
Kala dikonfirmasi AKBP Muh Siswa, Kepala Seksi Penerangan Masyarakat Polda Sulsel, mengatakan, penetapan kedua tersangka berdasarkan temuan penyidik. Untuk Najmiah, ditetapkan berdasarkan LPA/181/XI/2013/SPKT per 26 November 2013. GMTD berdasarkan LPA/161/X/2013/SPKT, per 23 Oktober 2013.
Menurut Siswa, dugaan perusakan lingkungan oleh Najmiah sudah sejak November 2013, pada awal reklamasi. “Temuan penyidik dia tidak memiliki izin, proyek sudah berlangsung.” Begitu juga GMTD, penyidik menetapkan direktur perusahaan Wahyu Tri Laksono, menjadi tersangka. “Meski sudah beberapa kali dipanggil untuk pemeriksaan, Wahyu Tri Laksono tak pernah memenuhi panggilan.”
Kepada media, Najmiah langsung membantah tuduhan penimbulan ilegal itu. Dia merasa, sudah memiliki sejumlah izin, seperti izin prinsip, izin peningkatan hak hingga izin menggunakan akses jalan untuk menimbun. Apalagi, selama ini dia belum pernah dipanggil untuk diperiksa. “Saya baru dipanggil diminta keterangan, tapi tiba-tiba sudah ditetapkan tersangka.”
Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar membantah telah memberi izin kepada Najmiah. Menurut Muh Sabri, Kepala Bagian Pemerintahan Pemkot Makassar, selama ini Najmiah baru mengantongi izin prinzip, hingga tak bisa langsung menimbun. “Selain izin prinsip, seharusnya disertai izin Amdal, izin penimbunan, izin pematangan lahan, izin lokasi, dan izin reklamasi sesuai peraturan presiden, serta peraturan daerah.”
Anwar Lasappa, aktivis lingkungan dari Forum Studi Lingkungan (Fosil) Sulsel, menyambut baik penetapan kedua tersangka ini.“Patut diapresiasi positif dalam penegakan hukum lingkungan, mengingat isu lingkungan saat ini menjadi isu strategis dan menjadi komitmen global.”
Anwar berharap, kepolisian bisa mengusut kasus penimbunan laut ilegal lain, tak hanya pada kedua tersangka.“Ini juga bisa memberi efek jera bagi para pelaku reklamasi ilegal lain,” ujar dia.
Aktivis lingkungan dari Commit, Kamaruddin Azis, menilai, penetapan Najmiah dan GMTD sebagai tersangka bisa dijadikan momentum menilai kembali proyek reklamasi yang di sepanjang pantai Makassar. Selama ini, tidak ada kejelasan apakah reklamasi Pemkot Makassar sudah benar, misal, tak mengganggu keseimbangan lingkungan pesisir, tak berdampak ke drainase kota, atau ekosistem laut.
Tidak hanya itu, peruntukan reklamasi pantai selama ini dinilai tak jelas, terkait siapa yang mendapat manfaat, dan yang dirugikan. Yang terjadi, justru muncul konflik di masyarakat.
Kamaruddin mengatakan, selama ini pemerintah mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Namun, zonasi peruntukan belum dilakukan. Lebih parah lagi, Makassar belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Seharusnya, Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, harus diprioritaskan. “Inilah pedoman. Reklamasi harus sesuai tata ruang wilayah. Reklamasi harus sesuai aspirasi warga, bukan fotokopi negara atau kota lain. Kita butuh ciri khas, jati diri kota.”