, ,

Menanti Realisasi Perda Masyarakat Adat Kajang

Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, di Kabupayen Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel), akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan lewat perda. Sejak 2008, Pemerintah Bulukumba, telah membahas Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Ammatoa Kajang ini. Tahun berganti tahun. Kini, hampir memasuki 2014. Masyarakat adat berharap percepatan realisasi kebijakan ini.

Baso Tanriawo, tokoh adat dari Ammatoa Kajang, mengatakan, penetapan perda ini sekaligus bisa mengangkat kebudayaan Ammatoa Kajang, lebih diakui baik lokal maupun internasional.  Baso pernah menjadi kepala desa di daerah ini. Kini, dia salah seorang anggota DPRD Kabupaten Bulukumba.

Dia sejak awal sangat mendukung inisiatif dari Pemda Bulukumba ini. “Kekayaan budaya Ammatoa Kajang tak terpengaruh modernisasi. Ini  memang harus diakui dan dilindungi melalui regulasi daerah,” katanya dalam pertemuan para pihak akhir November 2013. Dialog ini memiliki makna penting bagi masyarakat Bulukumba.  Tujuannya, mendorong percepatan pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

Pada pertemuan itu, sempat muncul kekhawatiran keberadaan perda akan memecah-belah masyarakat adat di Bulukumba. Karena yang terakomodir dalam perda hanya pada masyarakat adat Ammatoa Kajang. Kekhawatiran reda setelah Misbawati, Kepala Dinas Kehutanan Bulukumba, angkat bicara. Dia yang menjadi perwakilan pemerintah menyatakan, akhirnya nanti seluruh masyarakat adat di Bulukumba, bisa terakomodir dalam perda ini.

Misbawati mengatakan, selama ini masyarakat adat memiliki peran besar dalam menjaga kelestarian hutan. Hal ini bisa terlihat dari mekanisme sanksi adat jika terjadi konflik ataupun pelanggaran dalam pengelolaan hutan.

“Kalau hutan bisa lestari dengan keberadaan masyarakat adat kenapa kita tidak jaga. Harus ada pemberian pengakuan melalui perda masyarakat adat. Itu yang membuat kami mendorong keberadaan perda sejak 2008.”

Meski demikian, Misbawati mengakui ada sedikit kendala dalam percepatan perda  ini. Yakni, belum ada payung hukum secara nasional yang bisa menjadi cantolan. RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat hingga saat ini belum disahkan DPR.

“Semoga RUU segera disahkan. Ini akan menjadi pegangan bagi kita, hingga apa yang kami lakukan saat ini tidak dinilai bertentangan dengan ketentuan.”

Raperda ini sudah hampir rampung, bahkan sudah didaftarkan di Prolegda Kabupaten. Dia berharap, keberadaan perda ini kelak bisa berjalan baik, tak sekedar aturan lalu diabaikan. “Jangan seperti peraturan lain, begitu sudah disahkan justru tidak dijalankan dengan baik.”

Sardi Razak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, mengatakan, upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sudah menjadi agenda besar nasional, hingga pelaksanaan di daerah harus didorong. “Kita berharap seluruh masyarakat adat bisa diakui, termasuk di Bulukumba ini,” katanya. Dia mengapresiasi komitmen kuat Pemerintah Kabupaten Bulukumba. “Semoga ini bisa juga diikuti daerah lain.”

Sardi berharap, perda ini bisa disahkan akhir Desember 2013 dan dijadikan model perlindungan masyarakat adat di Sulsel. Apalagi proses pemetaan sudah rampung tinggal menunggu konfirmasi akhir dari seluruh pemangku adat Ammatoa, terkait batas-batas kawasan adat yang disepakati.

Proses pemetaan kawasan adat telah dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan masyarakat adat Ammatoa Kajang yang difasilitasi  AMAN Sulsel. Foto: Wahyu Chandra
Proses pemetaan kawasan adat telah dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan masyarakat adat Ammatoa Kajang yang difasilitasi AMAN Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Erasmus Cahyadi, pengurus AMAN Pusat mengatakan, penting regulasi khusus terkait masyarakat adat. Masyarakat adat, harus dilihat sebagai salah satu kekayaan budaya nasional, bukan sebaliknya sebagai ancaman.

Menurut Erasmus, perjuangan pengakuan masyarakat adat mendapat titik terang ketika pemerintah menyetujui pembahasan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat pada 2011.

Meskipun, berbagai hambatan tetap ada, misal, persepsi keliru dari DPR yang melihat masyarakat adat sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Padahal, regulasi ini penting dalam menjaga kelestarian nilai-nilai dan budaya di masyarakat adat. “Kalau tidak diatur regulasi akan mematikan nilai-nilai di masyakat adat, termasuk di Bulukumba.”

Kawasan adat Ammatoa Kajang, selama ini dikenal sebagai komunitas yang mempertahankan nilai-nilai leluhur. Mereka menolak segala bentuk modernisasi, termasuk teknologi, listrik, pakaian berlebihan dan gaya hidup modern lain. Bangunan rumah warga sangat sederhana dan tak ada perbedaan mencolok antara rumah satu dengan yang lain. Bahkan dengan rumah pemimpin adat mereka, Amma Toa.

Jalanan di kawasan sekitar 331 hektar itu dibangun tanpa aspal. Penduduk tidak menggunakan alas kaki dan identik dengan pakaian berwarna hitam, dari bahan kain yang mereka tenun sendiri dan berbahan pewarna alami. Penduduk komunitas Ammatoa Kajang saat ini sebanyak 8.563. Mereka hidup dalam kawasan yang disebut Ammatoa.

Masyarakat Ammatoa Kajang dikenal dengan kepedulian mereka terhadap alam. Mereka sangat menentang eksploitasi hutan untuk komersialisasi. Penebangan hutan hanya untuk keperluan mendesak, itupun harus mengikuti ritual tertentu.

Tak heran jika di kawasan ini kondisi hutan masih sangat asri. Beberapa pohon bahkan tumbuh menjulang tinggi besar, kemungkinan berumur ratusan hutan. Berbagai fauna endemik, seperti burung mudah ditemukan di tempat ini.

Kondisi air sangat alami, bersih dan jernih, konon tak pernah kering bahkan di musim kemarau paling parah sekalipun. Mereka tidak mau menggali sumur dalam. Menurut mereka, jika sumur sampai lebih dua meter maka mata air akan lari ke sumur dalam yang digali. Aturan ini diberlakukan untuk meminimalisir persaingan yang tidak sehat antar warga komunitas.

Saat ini, berbagai potensi ancaman berupa menggerus eksistensi masyarakat adat ini, mulai dari pengaruh modernisasi pihak luar hingga degradasi tanah adat mereka, akibat klaim sepihak dari negara dan swasta seperti PT London Sumatera (Lonsum).

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,