, , ,

Rusak Parah karena Timah, Pulihkan Lingkungan Bangka

Indonesia, penghasil timah terbesar pertama dunia dari hasil penambangan. Tahun lalu,  produksi timah nasional sekitar 95 ribu ton, sebagian besar dari Kepulauan Bangka Belitung. Akibatnya, kerusakan lingkungan parah terjadi di daerah ini.

Produksi timah di Indonesia,  mayoritas diekspor ke Singapura 58%, Malaysia13%, Jepang 7%, dan Belanda 6%. Konsumen produk inipun merek-merek elektronik global terkenal, perusahaan penghasil handphone, atau komputer.

Ratno Budi, Direktur Eksekutif Walhi Bangka mengatakan, setelah puluhan dekade Bangka Belitung dikeruk untuk timah global, saat ini masa perbaikan. “Sudah saatnya produksi timah Bangka dikurangi secara cepat tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat lokal. Sebab, telah melampaui daya dukung lingkungan hidup pantai, darat dan ada bahaya radioaktif,” katanya di Bangka, dalam pernyataan kepada media, Senin (9/12/13).

Setelah itu, timah, kata Ratno, harus diperoleh dari daur ulang. Dia mencontohkan, Amerika Serikat, tak memiliki tambang,  tetapi bisa sebagai penghasil timah terbesar dunia dari daur ulang. “Indonesia akan rugi terus bila diposisikan sebagai penghasil timah dari kegiatan penambangan padahal manufaktur elektronik justru terjadi di luar.”

Senada diungkapkan Pius Ginting, Manager Kampanye Energi dan Tambang Walhi Nasional. Menurut dia, sudah waktunya bagi pemerintah, industri tambang dan perusahaan elektronik mempedulikan biaya kerusakan lingkungan hidup dan sosial.

Pemulihan lingkungan, Bangka Belitung, harus dilakukan. Caranya, dengan tak menambang di wilayah tangkap nelayan dan laut, serta memastikan timah merek global tidak menyebabkan jatuh korban. Lalu, melakukan penyebaran informasi dan upaya kesehatan warga dari bahaya radioaktif efek tambang timah.

Nasib Bangka kini sangat menyedihkan. Laut Bangka Belitung,  salah satu lokasi terumbu karang utama dunia. Penambangan menyebabkan pendangkalan hingga terumbu karang hancur (bleaching). Tak pelak, tangkapan nelayan berkurang hingga 80%.  Belum lagi, penambangan timah kini marak di laut. “Tak hanya sedimentasi yang bisa menyebar hingga radius lebih dari 20 kilometer, ekosistem laut pun dirusak, dibongkar,” kata Pius.

Dia mengatakan, pemulihan ekosistem laut lama dan memerlukan biaya mahal. Di lapangan, konflik antara nelayan dan para penambang pun kerab terjadi.  Sedangkan,  kerusakan di darat belum tertangani. Lubang-lubang tambang di darat tak dikreklamasi menjadi sarang nyamuk malaria. “Pulau Bangka salah satu provinsi dengan penderita malaria tertinggi di Indonesia.”

Kondisi tambah parah, kala tanah yang terbuka tak direklamasi menyebabkan bahan radioaktif alami memancarkan radiasi ke lingkungan sekitar. Radiasi radiaoaktif Bangka ini tiga kali lipat lebih tinggi dari normal. Di antara bahan radioaktif alami itu adalah radon.

Di Amerika Serikat, radon tercatat sebagai zat penyebab kanker paru terbesar kedua. Jumlah penderita tuberculosis (TB) paru cukup tinggi di Bangka. Gejala TB paru mirip penyakit terpapar radiasi radioaktif radon.  “Sampai saat ini pemerintah belum serius melakukan tindakan pengamanan. Kesehatan warga dan penambang dari paparan bahaya radioaktif,” kata Ratno.

Belum lagi, katanya, angka kecelakaan penambangan timah di Bangka,  sangat tinggi, lebih dari 50 orang meninggal setiap tahun. Terlebih, penambangan timah seringkali melibatkan anak-anak.

Pada 11 Desember 2013, International Tim Research Institute (ITRI) dan Asosiasi Perusahaan Elektronik Internasional akan mengadakan forum timah khusus Bangka Belitung. Forum ini menindaklanjuti kampanye organisasi lingkungan, seperti Walhi dan Friends of the Earth beberapa negara, yang menyuarakan kerusakan Bangka, karena eksploitasi timah buat keperluan pasar global.  Mereka menuntut industri elektronik global bertanggung jawab memperbaiki lingkungan hidup dan sosial Bangka Belitung.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,