,

Kala Pukat Grandong Hancurkan Habitat Laut Belawan dan Sumut

Hingga kini, aktivitas kapal pukat grandong atau pukat setan, masih berjalan bahkan seakan “dipelihara” sejumlah oknum tertentu demi keuntungan pribadi. Mereka tak memikirkan kerusakan habitat laut akibat pengoperasian kapal ini. Maraknya, kapal grandong ini juga menganggu ribuan kapal nelayan tradisional.

Data dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Medan, Sumatera Utara (Sumut), kapal grandong hingga saat ini beroperasi di lautan Belawan, Medan, mencapai 30-an pasang lebih. Di Sumut mencapai lebih dari 300-an pasang.

Angka itu diperkirakan terus bertambah meskipun sudah mendapat perlawanan dan protes nelayan tradisional. Perlawanan menyebabkan korban jiwa, dan pembakaran kapal nelayan tradisional.

Zulfahri Siagian, Ketua HNSI Medan mengatakan, kapal grandong seolah kuat dan kebal hukum. “Karena hingga saat ini, tidak satupun yang ditangkap, tanpa ada alasan jelas, ” katanya, akhir Oktober 2013.

Saat ini,  alat tangkap ikan, ada pukat teri, dan pukat grandong atau pukat setan. Pukat teri, masih dibenarkan karena menangkap atau menjaring ikan di permukaan laut. Sedangkan, pukat grandong, menangkap ikan hingga ke dasar laut. “Ini dianggap sangat berbahaya, bukan hanya ikan yang ditangkap, tetapi biota laut lain turut menjadi sasaran dan sangat terancam.”

Terumbu karang dan ikan yang bertelur, katanya, juga rusak terkena jaring pukat grandong  itu. Pukat grandong ini, menyebabkan kerusakan cukup parah bagi biota laut, seperti kerang, kepah, dan lain-lain. “Rumah mereka hancur oleh alat tangkap, yang terus mengeruk laut. Akibatnya, khusus di lautan Belawan, kepah dan kerang sudah tidak ada lagi.”

Dari penelitian HNSI Medan, terungkap, dampak pukat grandong ini, setidaknya ada 19 jenis ikan punah dan langka di laut Belawan, seperti lontok, dan lalat. Salah satu penyebab, pukat grandong, sudah merambah hingga ke pinggir pantai, dimana ikan dan biota lain bertelur dan berkembang biak.

Hasil tangkap ikan sedikit, kehidupan nelayan trandisional di Tanjung Balai, ini sulit. Foto: Ayat S Karokaro
Hasil tangkap ikan sedikit, kehidupan nelayan trandisional di Tanjung Balai, ini sulit. Foto: Ayat S Karokaro

Untuk itu, HNSI Medan, mendesak pemerintah menertibkan pukat grandong. Sebab, alat tangkap ini sampai ke dasar laut. Kini, mereka menangkap sampai ke pinggir laut. Padahal, pinggir laut tempat bertelur dan berkembang biak ikan. “Ini baru sebagian kecil biota laut yang terancam punah. Apakah akan kita biarkan? Kemana pihak berwenang?”

Zulfahri mengatakan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) 02 tentang Peraturan Alat Penangkapan Ikan dan Zona Penangkapan tahun 2011, mengatur 10 jenis alat tangkap yang diperbolehkan. Padahal, di tiap daerah memiliki nama dan bentuk alat tangkap berbeda, sedang aturan tidak jelas. Bahkan, tidak melibatkan daerah dalam pembahasan.

HSNI pernah mereka mengundang KKP membahas ini, dan investigasi serta pembahasan mendalam di Belawan, Medan. Namun hasil tak dipaparkan, karena ada dugaan permen itu perlu pembahasan ulang. “Menjaga harga diri mereka, hasilnya tidak disampaikan ke publik.”

Penyelesaian masalah pukat grandong lamban dan penegakan hukum lemah menyebabkan nelayan tradisional mengambil jalan sendiri. Mereka melakukan perlawanan jika melihat kapal pukat grandong menjaring ikan. Perang di laut, hingga pembakaran kapal nelayanpun terjadi.

Setidaknya, ada tiga kapal nelayan pukat teri dan kapal kecil bernama kapal langge, dalam dua bulan terakhir dibakar nelayan pukat grandong di Belawan. Di sejumlah daerah lain, kapal nelayan yang dibakar mencapai ratusan, berada di lautan Sumut seperti di laut Kabupaten Langkat, Kota Tanjung Balai, Kota Sibolga, Kabupaten Nias induk, Nias Selatan, Nias Utara dan sejumlah wilayah lain berbatasan dengan Sumut.

“Jumlah pukat grandong mencapai ratusan pasang. Setiap saat selalu terjadi bentrokan dan perang di laut, akibat para nelayan tradisional melarang kapat itu beroperasi.”

Akibat kejadian itu, ada lima nelayan tradisional meningal dunia, dan puluhan hingga ratusan kapal tradisional dibakar. Sedangkan yang dipenjara empat orang. “Ini korban dari Permen 02 yang tidak dijalankan dan tidak jelas kegunaan hingga nelayan tradisional menjadi korban.”

Di Kabupaten Langkat, bahkan ada delapan nelayan tradisional ditangkap, hanya karena menolak kapal pukat grandong beroperasi. Mereka protes cara kapal itu mencari ikan. Para nelayan yang menjaga kelestarian laut, mendapatkan diskriminasi dan dipenjara dengan alasan melanggar hukum pidana. Ribuan nelayan tradisional di Sumut pun,  terpuruk.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,