Warga di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) resah dengan izin lokasi perkebunan sawit kepada PT Hasnur Jaya Lestari (HJL) seluas 10.079 hektar. Perkebunan ini berada di tiga kecamatan, Paminggir, Babirik dan Danau Panggang, Kabupaten HSU, Kalimantan Selatan (Kalsel). Mereka khawatir, kehadiran sawit bakal merusak tempat hidup mereka.
Kekhawatiran masyarakat tak berlebihan karena di daerah lain di Kalsel, setelah masuk kebun sawit, masyarakat menghadapi masalah. Seperti dialami Warga Desa Bajayau Tengah, Kecamatan Daha Barat Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalsel. Mereka mengeluhkan limbah perkebunan sawit, PT Subur Agro Makmur (SAM), yang diduga mencemari sungai di desa itu. Limbah dari anak usaha Astra Group yang beroperasi sejak 2007 itu mengalir langsung ke Sungai Negara dan diduga menjadi penyebab kematian ratusan ekor ternak kerbau rawa milik warga.
Karani, tokoh masyarakat Desa Bararawa, menolak sawit karena warga Desa Bararawa, Tampakang, Paminggir, Sapala, Amabahai Kecamatan Paminggir, tak bisa dipisahkan dari perairan rawa tempat tinggal mereka. “Lokasi ini, tempat penggembalan dan pemeliharaan kerbau rawa yang sudah terjadi turun temurun,” katanya di Sekretariat Walhi Nasional di Jakarta, Kamis (5/12/13).
Dia memiliki 200 kerbau rawa. Jika rawa tempat kerbau mengembala menjadi perkebunan sawit, dia khawatir lahan berkurang. Hingga kini, peternak kerbau rawa di Kecamatan Paminggir, ada 300 keluarga dengan populasi lebih dari 10 ribu ekor. “Saya tahu bupati mengeluarkan izin perkebunan sawit di lokasi itu dari teman pada Juli. Sampai saat ini tak ada sosialisasi. Agustus kita mengirim surat ke bupati. Dari tiga kali rencana, hanya sekali bertemu.”
Kala itu, bupati mengatakan, perkebunan sawit untuk mensejahterakan masyarakat. “Kami menolak perkebunan sawit dengan harga mati. Membuka sawit akan membunuh kami perlahan.”
Bukan itu saja. Di Kecamatan Paminggir, masyarakat menggantungkah hidup sebagai nelayan 4.215 orang dengan pendapatan Rp70.000 per hari. Di Kecamatan Danau Panggang 3.237 nelayan Rp.55.000 per hari dan Babirik 1.358 nelayan dengan penghasilan Rp50.000 per hari. Data ini menunjukkan, ekonomi berputar dari sektor perikanan air tawar di tiga kecamatan itu.
Bupati sebelum ini, tahun lalu telah menolak permohonan izin dua perusahaan di lokasi yang sama. “Bupati yang sekarang, baru menjabat Oktober 2012. Tak lama menjabat, Juli 2013 mengeluarkan izin lokasi perkebunan sawit kepada HJL,” kata Dwitho Frasetiandy, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel.
Kajian Walhi Kalsel menunjukkan, pemberian izin ini bertentangan dengan beberapa regulasi, seperti . Inpres nomor 6 tahun 2013 tentang moratorium dan SK Menhut no 435 tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Kalsel. “Kita sudah menyampaikan penolakan ke bupati. Disampaikan argumen kajian ini. Kita juga mendampingi masyarakat sekitar yang menolak kebun sawit ini.”
Dwitho mengatakan, dari 30 desa yang masuk perkebunan sawit, 20 menyatakan penolakan. Antara lain, Kecamatan Paminggir (6), Danau Panggang (8), dan Babirik (6). “Di Kalsel ada 19 perusahaan antri memperebutkan 201.836 hektar di Barito Kuala, Tanah Laut, Tabulong, HSU dan Hulu Sungai Selatan,” ucap Dwitho.
Hormansyah, Wakil Ketua Komisi I DPRD HSU menyatakan, DPRD menolak ekspansi sawit karena tak memenuhi kaidah dan prosedur pembukaan lahan.“Saya meminta Bupati Abdul Wahid mencabut surat bupati nomor 414 tahun 2013 tentang izin lokasi HJL. Saya berharap bupati dan jajaran lebih memprioritaskan pembinaan ekonomi produktif yang telah dilakukan masyarakat turun menurun di wilayah itu.” Dia mendampingi Karani ke Jakarta, menyampaikan permasalahan ini.
Hormansyah mengatakan, secara hukum, izin itu melanggar Perda rancangan tata ruang wilayah (RTRW) Kalsel dan HSU.“Daerah Kecamatan Danau Panggang dan Paminggir, merupakan kawasan plasma nutfah kerbau rawa dan harus dilindungi.”
Menurut dia, dari 30 anggota DPRD Kabupaten HSU, 18 orang menolak perkebunan sawit ini. Dia bersama anggota DPRD lain sedang menyelidiki dengan mengumpulkan data dan fakta.
“Pansus sudah bekerja maksimal, kita sudah katakan sejak awal itu melanggar perda. Dalam waktu dekat kita akan survei lokasi. Harapannya awal tahun depan akan mengeluarkan rekomendasi kepada bupati agar mencabut izin.”
Harizajudin, Kepala Departemen Dimensi Sosial dan Inisasi Kebijakan Sawit Watch juga angkat bicara. Menurut dia, perkebunan sawit di Danau Panggang, berpotensi memunculkan konflik sosial, baik antara masyarakat dengan perusahaan, maupun antarmasyarakat.
“Jangan hanya melihat dari 10 ribu hektar yang diambil jadi perkebunan sawit. Kita harus melihat ini sebagai sebuah ekosistem. Jika dibiarkan, lahan masyarakat menjadi berkurang, dan nanti berpotensi menimbulkan konflik antar masyarakat.”
Seharusnya, perusahaan menjalankan prinsip persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free prior and informed consent/FPIC) dalam tahapan awal perizinan perkebunan sawit. Adanya penolakan sebagian besar masyarakat, seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah Kabupaten HSU. “Seharusnya bupati tidak melanjutkan izin lokasi menjadi izin usaha perkebunan untuk budidaya.”
Harizaudin mengatakan, anggapan perkebunan sawit bisa menyerap tenaga kerja harus jadi perhatian. Sebab, selama ini kesejahteraan dan perlindungan hak-hak buruh kebun sawit sangat buruk.
Pendapat sama terlontar dari Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi Nasional. Dia mengatakan, dalam jangka panjang, pemberian izin perkebunan sawit itu ancaman bagi pangan Kalsel.“Selain sebagai penyuplai sumber protein Kalimantan dengan kerbau dan hasil panen ikan, kawasan ini juga daerah pemijahan berbagai jenis ikan yang hidup di DAS Barito.”
Dengan mengganggu ekosistem rawa, berarti memutus mata rantai siklus hidup ikan di DAS Barito. Secara langsung akan membunuh mata pencaharian masyarakat sekitar. “Sebaiknya bupati segera sadar. Pemda gagal mengenali masyarakat mereka sendiri.”