Dikepung Sawit, Bubur Kertas dan Minyak, Puluhan Tahun Warga Hidup Tanpa Air Bersih

Gordon, 34 tahun nyaris putus asa berharap air bersih. Sepanjang hidupnya, warga Desa Taman Raja, Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjab Barat) ini setiap hari mandi dan hidup bersama air keruh, kekuning-kuningan, berminyak, serta berbau tak sedap.

Tanjab Barat adalah daerah berawa dan dekat laut. Sebagian besar airnya berasa asin atau asam, memiliki tingkat keasaman (pH) tinggi dan berkadar zat besi (Fc) di atas ambang batas toleransi. “Kalau kita pakai sabun dan shampoo, busanya tak ada sama sekali, kalah sama air. Bila digunakan untuk menanak nasi, airnya berwarna kehijau-hijauan,” kata Gordon kepada Mongabay-Indonesia, pada 8 Desember 2013 lalu.

Untuk menggosok gigi, minum dan memasak, masyarakat Tanjab Barat sangat bergantung pada air hujan. Setiap rumah memiliki drum-drum berukuran jumbo atau ember dalam jumlah banyak.

Saking seringnya mengonsumsi air hujan, ada anekdot yang umum dibicarakan: “Orang Tanjab Barat itu gampang dikenali. Tengok saja giginya. Kalau ada yang ompong atau rusak, nah itu pasti orang sana!” Beberapa penelitian menyebutkan bahwa mengonsumsi air hujan dalam jangka panjang bisa merusak gigi dan tulang.

Tanjab Barat terbagi dua bagian: hulu dan hilir. Di hulu ada enam kecamatan: Renah Mendaluh, Merlung, Muara Papalik, Tebing Tinggi, Batang Asam, dan Tungkal Ulu. Sementara di hilir terdapat tujuh kecamatan: Betara, Kuala Betara, Bram Itam, Pengabuan, Seberang Kota, Tungkal Ilir, dan Senyerang.

Ada perbedaan antara hilir dan hulu. Di hulu masih mendingan. Terutama masyarakat di empat kecamatan: Merlung, Tungkal Ulu, Muara Papalik, dan Batang Asam, masih mampu menghasilkan air tanah yang layak. Masih bisa mengandalkan sumur gali sedalam 10 meter. Namun airnya mudah kering bila musim kemarau tiba.

Air ledeng hanya dapat dinikmati sekitar 150 kepala keluarga yang tinggal di Desa Pematang Pauh dan Kelurahan Pelabuhan Dagang – keduanya berada di Kecamatan Tungkal Ulu. Airnya berasal dari sumur bawah tanah. Sementara dua kecamatan lainnya: Tebing Tinggi dan Renah Mendaluh sangat sulit mendapatkan air bersih. Mereka hanya mengandalkan air hujan.

Sebelum era tahun 90-an, masyarakat di wilayah hulu ini masih bisa bergantung dengan air Sungai Pengabuan. “Ketika kecil, kami terbiasa minum langsung dari sungai. Sekarang tak bisa lagi. Air sungai sudah tercemar,” ujar Gordon yang tinggal di sana sejak tahun 1989 silam. Praktis hanya warga Kecamatan Batang Asam yang bisa mengonsumsi air Sungai Pengabuan karena terletak di hulu sungai.

Pabrik pengolahan kelapa sawit di Tungkal Ulu adalah PT Dasa Anugrah Sejati, PT Inti Indosawit Subur, PT Mitra Sawit Jambi, PT Citrakoprasindo Tani, PT Trimitra Lestari, PT Rudy Agung Agra Laksana, PT Bakrie Sumatra Platantion, PT Agrowiyana, PT Makin Group, dan PT Tusau. Plus satu pabrik bubur kertas yakni PT Lontar Papyrus Pulp & Paper – anak perusahaan Sinarmas Group.

Menurut Gordon sejak masuknya perusahaan bubur kertas dan kelapa sawit, Sungai Pengabuan tercemar. Airnya hitam pekat. “Kami sudah dikepung kebun sawit, perusahaan, dan hutan tanaman industri. Tanaman-tanaman itu benar-benar menghisap air tanah. Mungkin jika tak ada mereka, air di sini tak mudah kering kala kemarau,” katanya mengeluh.

Kecamatan Tebing Tinggi adalah kawasan yang paling kesulitan air bersih. Anju Saragih, 29 tahun yang bermukim di Desa Purwodadi, Kecamatan Tebing Tinggi mengatakan bahwa setiap hari mereka membeli air bersih. Sebelum tahun 2004, mereka masih bisa memiliki sumur sedalam 3 meter. Kini, mereka mengandalkan sumur bawah tanah sedalam minimal 50 meter. “Itupun terancam kering jika kemarau tiba,” katanya kepada Mongabay Indonesia pada 9 Desember 2013 lalu.

Air bersih semakin sulit, kata Anju, setelah PT PetroChina melakukan pengeboran. Sekitar empat sumur migas hanya berjarak dua kilometer dari desanya. “Bila hujan, aroma busuk tercium dari pabrik PT Lontar. Padahal jaraknya jauh, sekitar 15 kilometer,” ujar Anju.

Namun bagi Arwin, 31 tahun, warga Tebing Tinggi mengaku setiap hari mereka rata-rata mesti mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. Untuk membeli 10 drum air. Satu drum berukuran 200 liter air dijual seharga Rp 10 ribu. Setiap hari ada beberapa mobil yang khusus menjual air dari daerah tetangga Tebing Tinggi.

Penjual air memiliki sumur bawah tanah sedalam hingga lebih 100 meter. Airnya sedikit berasa asam, agak kekuningan serta agak berbau. Tapi lumayanlah buat minum, mandi, dsb. “Kami di Tebing sama sekali tak bisa membuat membuat sumur. Sumur apapun itu tak ada airnya. Jadi ya terpaksa beli,” kata Arwin kepada Mongabay Indonesia lewat telepon selulernya, pada 10 Desember 2013 lalu.

Sementara di hilir, mendapatkan air bersih lebih sulit lagi. Warga harus harus merogoh kocek dalam-dalam. Kenapa? Karena minimal harus sedalam 240 meter. Jika kurang dari itu, air masih berbau dan tak bisa dikonsumsi buat minum.

Sementara berharap air ledeng dari PDAM Tirta Pengabuan masyarakat nyaris putus asa. Hampir setiap hari warga komplain bahwa air ledengnya kuning dan berbau bahkan tersendat-sendat mengalir ke rumah. Sejak puluhan tahun lalu pemerintah Tanjab Barat memprogramkan proyek pengadaan air bersih. Mulai dari pembuat intake, mesin penyedot, pembersih, sampai ke pipa penyuplai ke rumah-rumah warga. Total sudah hampir Rp 500 miliar dana APBD dan APBN dihabiskan merancang proyek air bersih.

Berganti bupati, berganti pula proyek yang diluncurkan dan setiap proyek selalu menyisakan masalah. Yang sangat mencolok adalah dana yang dianggarkan dengan pola tahun jamak atau multi years pada 2008-2010 dengan total nilai Rp 408 miliar.

Sudah setahun lebih masa pengerjaan proyek itu berakhir, tetapi air yang diharapkan datang dari hulu Sungai Pengabuan tak kunjung masuk ke rumah-rumah penduduk. Pipa-pipa hitam ukuran besar tidak terpasang keseluruhan dan dibiarkan berserakan. Sebagian yang sudah terpasang tampak tidak sempurna, nongol ke permukaan tanah.

Reservoir atau bak penambungan air pun dibiarkan bagai tong sampah raksasa. Mesin pemompa dan penyedot air yang sudah dibeli kini diparkir di gedung Dinas Pekerjaan Umum. Kenapa bisa proyek bernilai setengah trilun itu terbengkalai?

Proyek ini, hingga kini tak mengalami kemajuan. Warga tetap hidup tanpa akses air bersih. Foto: dok. Harian Jambi
Proyek ini, hingga kini tak mengalami kemajuan. Warga tetap hidup tanpa akses air bersih. Foto: dok. Harian Jambi

Sejarah Panjang Proyek Air

Sejak kabupaten ini masih bernama Tanjung Jabung, para kepala daerah telah berpikir keras membikin proyek air bersih. Dimulai pada 1979, Bupati Hasanuddin Kamaruddin membangun sumur pompa di Desa Betara Kanan, Kecamatan Betara. Badan Pengelola Air Minum (BPAM) di bawah Dinas Pekerjaan Umum langsung dibentuk. Proyek ini menelan dana Rp 1,6 miliar. Dana yang terbilang fantastis untuk masa itu.

Air bersih mulai sampai ke rumah penduduk empat tahun kemudian, ketika tampuk kepala daerah bersalin jabatan kepada Toegino. Namun, airnya masih belum layak pakai. Dari pengukuran tim teknis, kandungan kadar zat besi (Fc) dalam air yang dihasilkan sangat tinggi: 2,56 mg/liter.

Ketika Selamat Barus menjadi bupati berikutnya, sekitar 1991-1992, proyek air bersih ini dilanjutkan kembali. Barus memprioritaskan pembangunan sarana produksi penghilang kadar zat besi. Bentuknya instalasi penjernihan yang dilengkapi aerator dan filter. Sumur pompa juga ditambah. Dana yang dikucurkan sebesar Rp 668,4 juta. Berasal dari bantuan Sector Program Loan (SPL) yang didanai Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) dari Jepang.

Saat peresmian, Gubernur Jambi masa itu, mendiang Abdurrahman Sayoeti sempat berdemonstrasi meneguk air dari kran, sebagai bukti bahwa airnya siap diminum. Belakangan demonstrasi itu bohong belaka. Masyarakat tetap tak mendapat air bersih. Air ledeng hanya bisa digunakan sebatas mandi dan mencuci.

Pada 1993, BPAM berganti nama PDAM Tirta Pengabuan. Usman Ermulan  yang menjabat menjadi bupati berikutnya pada 2001, kembali memasukkan proyek air bersih sebagai salah satu program penting.

Penerus Usman, Safrial malah menyiapkan megaproyek pipanisasi air bersih dengan sumber air baku dari Kecamatan Tebingtinggi. Tahap awal, pada 2007, dikucurkan dana APBD sebesar Rp 7 miliar plus APBD Perubahan Rp 1,1 miliar. Dana Rp 8,1 miliar itu untuk membangun mesin intake.

Selanjutnya, mulai 2008 sampai 2010, disiapkan sistem penganggaran multiyears, dengan total nilai Rp 408 miliar! Sampai berakhir masa kepemimpinan Safrial –kembali digantikan Usman Ermulan — proyek yang menggerus APBD ratusan miliar ini tak kunjung selesai.

Pada tahun anggaran 2013, Usman justru membuat proyek baru senilai Rp 40 miliar tanpa melanjutkan proyek lama. Usman juga memindahkan lokasi sumber air bakunya. Dari Desa Teluk Pengkah,  Kecamatan Tebingtinggi ke Desa Parit Panting, Kecamatan Bram Itam. Proyek ini tengah dikerjakan PT Systec Tirta Nusabuana.

“Tak perlu sampai ratusan miliar, cukup dengan puluhan miliar saja. Jika terlalu besar, saya juga tak sanggup memikul serta mempertanggung jawabkan anggarannya, “ujar Usman Ermulan kepada Mongabay Indonesia.

“Kalau memang tak sanggup, sebaiknya Pemkab menyerahkan ke pihak swasta. Sudah silih berganti kepala daerah, selalu ada proyek air bersih tapi air bersih tetap tak terealisasi, sementara jumlah penduduk terus meningkat,” ujar Gordon.

Ditemukan Ada Indikasi Korupsi

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Jambi telah mengaudit megaproyek pipanisasi air bersih Tanjung Jabung Barat senilai Rp 408 miliar dari APBD Tanjab Barat. Rinciannya, 2008 dianggarkan Rp 111 miliar, 2009 sebesar Rp 160 miliar dan 2010 sebesar Rp 137 miliar. Proyek tahun jamak (multi years) itu  itu meliputi pengadaan dan pemasangan pipa; pembuatan reservoir atau bak penampungan serta pengadaan dan pemasangan water pump.

Pipa dirancang dimulai di Desa Teluk Pengkah, Tebing Tinggi, melewati hutan tanaman industri (HTI) PT Wira Karya Sakti, Desa Senyerang, Desa Teluk Nilau di Kecamatan Pengabuan hingga ke Desa Parit Panting, Kecamatan Bram Itam.

Sementara reservoir direncanakan dibangun di lokasi sumber air baku Desa Teluk Pengkah, Desa Teluk Nilau dan Desa Parit Panting. Namun reservoir di Desa Teluk Nilau baru dikerjakan sebatas lantai dan dinding, tanpa tutup, sehingga terkesan seperti bak sampah besar. Sedangkan reservoir di Parit Panting tampak miring.

Pemasangan pipa dari Teluk Nilau menuju Parit Panting terputus sepanjang hampir empat kilometer lebih. Sebagian pipa pun tidak tertanam sempurna ke dalam tanah. Beberapa batang pipa yang tak terpasang sempat ditumpuk begitu saja di Terminal Pembengis Kuala Tungkal sebelum dipindah ke workshop Dinas Pekerjaan Umum Tanjab Barat di Pematang Lumut.

Demikian pula dengan mesin water pump. Mesin yang semestinya terpasang di beberapa titik lokasi itu kini seperti barang usang di lapangan parkir Dinas Pekerjaan Umum Tanjab Barat.

Audit terbaru dilakukan pada Juli 2011 atas permintaan Bupati Tanjab Barat Usman Ermulan.  “Istilahnya on call. Karena baru menjabat bupati, saya ingin mengetahui kepastian hukum. Selesainya di mana, pekerjaannya di mana, dan segala macam,” ujarnya.

Berdasarkan salinan laporan hasil audit BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi tertanggal 1 November 2011 No.383/S/XVIII.JMB/11/211 yang ditetapkan untuk itu ternyata “hanya” sebesar Rp 275,7 miliar. Yang mengalir ke rekanan sebesar Rp 264,62 miliar. Dana miliran rupiah itu mengalir ke rekening 17 perusahaan, baik perusahaan yang berbasis di Jambi maupun Jakarta. Dana terbesar mengucur ke PT Batur Artha Mandiri (BAM), yakni sebesar Rp 146,12 miliar.

Sedangkan di deretan kontraktor pelaksana dibagi ke dalam sejumlah lingkup pekerjan sejak 2007 sampai 2010, mulai dari intake, pipa jaringan, reservoir. Di antaranya tersebut nama PT Bina Konsindo Persada (Rp 6,93 miliar), PT Sakti Nusaindo Perdana (Rp 48,77 miliar dan Rp 24,12 miliar), PT Simbara Kirana (Rp 24,20 miliar), PT Delima Raya Merdeka (Rp 4,1 miliar), PT Demang Karya Mandiri (Rp 1,48 miliar), PT Antara Konstruksi (Rp 4 miliar), PT Cahaya Rembulan (Rp 1 miliar), CV Jati Diri (Rp 449 juta).

BPK menemukan bahwa penyusunan Perda No 4 Tahun 2009 yang mengatur penganggaran tahun jamak proyek tersebut, tidak sesuai dengan desain teknik yang mendetil. Tidak hanya itu, BPK mencatat denda keterlambatan yang mesti dibayar PT Batur Artha Mandiri sebesar Rp 7,56 miliar dan indikasi kerugian negara sebesar Rp 1,10 miliar.

Di antara pekerjaan yang tidak beres sampai masa pengerjaan habis adalah pembangunan 13 unit jembatan penyeberang pipa dengan panjang dan nilai kontrak berbeda-beda. Lainnya, pekerjaan reservoir, rumah jaga dan rumah genset di Teluknilau serta pemasangan pipa 300 mm. Terdapat 431 batang pipa yang belum terpasang pada saat pengecekan fisik di lapangan.

Pipa air bersih yang tak berfungsi hingga kini. Foto: dok. Harian Jambi
Pipa air bersih yang tak berfungsi hingga kini. Foto: dok. Harian Jambi

BPK RI Kalah Digugat di Pengadilan

Tak terima dengan hasil audit BPK RI tersebut, PT Batur Artha Mandiri menggugat ke Pengadilan Negeri Jambi. Tergugat pertama adalah BPK RI Cq BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi. Tergugat kedua adalah Pemerintah Kabupaten Tanjab Barat Cq Kepala Dinas PU Kabupaten Tanjab Barat.

Fakta persidangan sesuai dengan salinan putusan yang didapat Mongabay Indonesia tertulis bahwa PT Batur Artha Mandiri berdalih jika keterlambatan proyeknya terhambat karena proyek tersebut melintasi lahan HTI PT Wira Karya Sakti (WKS) – salah satu anak perusahaan Sinarmas Group.

Selain itu karena masyarakat Dusun VIII Desa Bram Itam Kanan yang meminta ganti rugi atas tanam tumbuh dan tanah timbunan serta harga biaya jembatan penyeberangan di Teluk Nilau yang tidak sesuai dengan harga kontrak. Hambatan ini sudah berkali-kali disampaikan kepada pihak Dinas PU Kabupaten Tanjab Barat namun diabaikan.

Gugatan PT Batur akhirnya dimenangkan Pengadilan Negeri Jambi lewat putusan nomor perkara 113/Pdt.G/2011/PN.JBI tertanggal 12 Juli 2012. Kemudian dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi lewat nomor perkara 61/PDT/2012/PT.JBI tertanggal 2 Januari 2013 menyatakan menyatakan bahwa kedua tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Intinya Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Provinsi Jambi yang tertuang dalam surat tertanggal 1 November 2011 No. 383/S/XVIII.JMB/11/211 perihal hasil pemeriksaan atas kegiatan-kegiatan pembangunan sarana air bersih Tebing Tinggi Kuala Tungkal pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanjab Barat sekadar mengenai denda keterlambatan adalah tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat ditindaklanjuti. Selain itu, penetapan denda keterlambatan sebesar Rp 7.567.028.950 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak dapat ditindaklanjuti.

Kuasa hukum PT Batur Artha Mandiri, Gunawan SH yang dihubungi Mongabay Indonesia menolak untuk berkomentar. “Saya belum mendapat izin dari klien untuk bicara kepada media. Klien saya sekarang sedang berada di luar negeri. Sebaiknya kita tunggu saja nanti putusan hukum tetap dari Mahkamah Agung,” katanya.

Ironisnya, di tengah kusutnya harapan soal air bersih, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) justru menerima penghargaan Provinsi terbaik pertama se-Indonesia dalam penyusunan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) dari Presiden SBY pada 10 Juni 2013 lalu. Yang dinilai adalah upaya pencegahan potensi kerusakan lingkungan hidup, kemudian juga sejauh mana upaya pencegahan dan langkah yang diambil oleh pemerintah daerah.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jambi, Hj Rosmeli pernah mengatakan, penghargaan penyusunan SLHD tersebut, merupakan potret kondisi kualitas lingkungan di suatu daerah dalam satu tahun. “Jadi kita motivasi dan memimbing setiap kabupaten kota untuk memotret kondisi di masing-masing di tempat mereka,” kata Rosmeli.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,