ProFauna Indonesia menyesalkan temuan pemasangan jaring penangkap burung di kawasan hutan Cangar dan Watu Ondo, di kompleks Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo, Jawa Timur pada Desember ini. Upaya perburuan dengan memasang jaring penangkap burung ini, telah mencederai semangat konservasi yang seharusnya dilakukan di kawasan hutan.
Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, upaya melakukan penangkapan satwa khususnya burung di Tahura R. Soerjo, diindikasikan melibatkan pengelola Tahura, karena hasil temuan aktivis ProFauna menemukan pemasangan jaring atas perintah pengelola Tahura. Jaring sepanjang 20 hingga 25 meter dibentangkan di antara pepohonan. Jika ada burung lewat, maka burung akan terjerat di jaring itu dan kemungkinan bisa mati.
“Waktu ketemu dengan pemasangnya, mereka mengaku kalau diperintahkan oleh pengelola Tahura untuk mengisi kandang burung yang ada di tempat wisata air panas Cangar,” kata Rosek Nursahid kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (11/12).
ProFauna Indonesia secara resmi melayangkan protes kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang menjadi penanggungjawab pengelolaan Tahura R. Soerjo. Rosek Nursahid mengatakan, Gubernur Jawa Timur harus mengevaluasi keberadaan Tahura R. Soerjo, dan menindak pengelolanya yang terbukti terlibat memerintahkan dan memasang jaring penangkap burung tersebut. “Kami minta Gubernur dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur melakukan evaluasi terhadap Tahura R. Soerjo, dan menghentikan perburuan ini,” ujar Rosek.
Rosek menambahkan, Tahura R. Soerjo merupakan kawasan konservasi alam yang menjadi habitat lebih dari 90 jenis burung, termasuk burung langka seperti Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi), Rangkong, Sikep Madu, dan lain sebagainya. Selama ini ProFauna melakukan pengamatan burung di Tahura R. Soerjo sejak 1994, sehingga keberadaan jaring penangkap burung sangat mengganggu kegiatan pengamatan burung yang dilakukan para aktifis dan pemerhati pelestarian satwa.
“Kandang burung di Cangar itu tidak perlu dan akan menjadi kontradiksi, karena di sisi lain, pihak Tahura R. Soerjo akan mengadakan kegiatan lomba pengamatan burung di hutan Cangar, tetapi di sisi lain justru mengurung burung dalam kandang,” ucap Rosek Nursahid seraya menyebut ukuran kandang yang disediakan pengelola Tahura R. Soerjo sekitar 3 hingga 4 meter persegi.
Tahura R. Soerjo, lanjut Rosek, semestinya menjadi tempat yang aman bagi keberadaan burung-burung liar, sebagai penyangga keseimbangan ekosistem lingkungan. “Keberadaan burung-burung liar harusnya dilindungi oleh pengelola Tahura R. Soerjo, bukan malah diburu dan dimasukkan kandang,” lanjutnya.
Temuan pemasangan jaring penangkap burung menurut Rosek bukan dilakukan saat ini saja, tapi telah dilakukan jauh sebelumnya. Aktivis ProFauna juga menemukan jaring serupa pada November lalu. “Pengelola Tahura R. Soerjo harus membongkar kandang burung itu, akhir tahun ini harus selesai,” kata Rosek menegaskan.
Perburuan burung menurut Rosek menjadi aktivitas rutin para pemburu, yang tidak mengenal waktu atau musim berburu, termasuk perburuan burung untuk mengisi kandang di Tahura R. Soerjo. Selain itu aktivitas perburuan juga dilakukan terhadap satwa lain seperti ayam hutan, rusa, dan lutung jawa, di wilayah hutan di gunung Arjuna dan Welirang. “Satwa itu diburu untuk konsumsi lokal saja, kebanyakan untuk diambil dagingnya,” imbuh Rosek Nursahid.
ProFauna meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan patroli rutin, untuk mencegah terjadinya aksi perburuan satwa di Tahura R. Soerjo terulang kembali. “Perlu patroli rutin di kawasan yang jadi lokasi perburuan, dan harus berani menindak tegas pelakunya. Selama ini kontrol alias patroli masih sangat jarang,” tandas Rosek.
Sementara itu pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Suparto Widjojo mengatakan, pemasangan jaring di kawasan Tahura R. Soerjo merupakan bentuk pelanggaran Undang-undang Konservasi. “Kalau betul, ini berarti telah terjadi pelanggaran prinsip konservasi, karena Tahura untuk konservasi dan perlindungan,” kata Suparto Widjojo kepada Mongabay Indonesia.
Suparto Widjojo juga mempertanyakan tujuan pemasangan jaring di kawasan hutan lindung, yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa timur itu. Pihaknya juga mempertanyakan pertanggungjawaban pengelola Tahura R. Soerjo, bila sampai ada satwa atau burung yang dilindungi terjerat jaring dan akhirnya mati. “Biarkanlah burung itu hidup, kalau ada elang Jawa misalnya terjaring, siapa yang bertanggungjawab, itu sama saja dengan merusak habitat hidup yang ada di situ,” ujar pengajar Universitas Airlangga Surabaya ini.
Pembuatan kandang di Tahura R. Soerjo lanjut Suparto Widjojo seharusnya meminta ijin terlebih dahulu kepada Kementerian Kehutanan, karena semua yang terkait kandang dapat berarti melakukan aktivitas penangkaran. “Kalau ada kandang berarti itu penangkaran, maka harus ada ijin konservasi dari Kementerian Kehutanan, kalau tidak ada berarti itu melanggar prinsip konservasi dan Undang-undang Lingkungan Hidup, karena sudah merusak habitat makhluk hidup disana,” pungkas Suparto Widjojo.
Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Kepala BKSDA Jawa Timur, Suyanto, pihaknya menjawab melalui pesan pendek kepada Mongabay-Indonesia, belum ada koordinasi dengan pihak pengelola Tahura R. Soerjo terkait pemasangan jaring ini.