Tim ahli Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mendesak pemerintah dan perusahaan sawit segera menutup kanal drainase (canal blocking) untuk menghambat pengeringan tak terkendali di Rawa Tripa, Aceh. Kanal drainase oleh lima perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU) sawit berdampak pada kematian vegetasi hutan yang masih utuh di sekitar perkebunan sawit.
Sejumlah tim ahli dari Unsyiah bekerjasama dengan UNDP meneliti selama tiga bulan di Tripa di bawah pengawasan UKP4. Salah satu rekomendasi penting mereka perlu penghambatan aliran dalam saluran drainase untuk mengurangi pengeringan gambut berlebihan (over drain).
Marsimin, Ahli Hidrologi Unsyiah, di Banda Aceh pekan lalu mengatakan, penutupan kanal ini perlu untuk menjaga kedalaman air tanah tak menjadi terlalu dalam. Terutama, menghindari kebakaran gambut dan menghambat proses emisi karbon berlebihan.
Konsepnya, mempertahankan tinggi permukaan muka air rawa di perkebunan sawit minimal 60 cm. Sedang, pada daerah yang dipertahankan sebagai hutan rawa gambut harus tergenang memadai seperti sebelum pengeringan agar ekosistem rawa gambut terjaga. “Agar tidak over drain, perlu diblok, kanal ditutup,” katanya.
Ada lima perusahaan yang memiliki HGU sawit di Tripa, yakni PT Surya Panen Subur II, PT Kalista Alam, PT Gelora Sawita Makmur, PT Cemerlang Abadi dan PT Patriot Guna Sakti Abadi menguasai 43.796,51 hektar atau 71 persen hutan gambut Tripa. Untuk menanam bibit sawit di atas tanah gambut tergenang air, mereka mengeringi rawa dengan membuat drainase selebar 3-6 meter. Ini untuk membuang air rawa ke sungai dan ke laut lepas Samudera Hindia.
Dari perusahaan itu, hanya SPS II telah membuat canal blocking di tujuh titik dengan kontruksi sederhana. Dengan membendung air menggunakan karung diisi tanah gambut dan tumpukan kayu dari hasil tebangan hutan. Ia dibuat seadaanya hingga masih terjadi kebocoran. Canal blocking ideal harga berkisar Rp49 juta. “Canal ini masalah kecil. Problemnya good will dan apa ada duit?” kata Marsimin.
Kanal perlu dibangun pada saluran kolektor (tersier) khusus lahan di sekitar kubah gambut tebal dengan pemanfaatan terbatas. Bangunan pelimpah ambang tipis terbuat dari sheetpile plastik dinilai layak diterapkan sebagai bangunan canal blocking. Ia karakteristik material memenuhi persyaratan pada tanah berkekuatan rendah. Pembuatan dan perawatan konstruksi pun mudah.
Canal ini berfungsi pada musim kemarau. Saat kemarau, air di saluran tinggi hingga tetap mengairi lahan. Seharusnya, setelah membangun kanal, perusahaan wajib membuat waduk penampung air hujan. Kala kemarau, waduk bisa mensuplai air untuk mempertahankan elevasi muka air tanah. Jika waduk kering, harus buat recharge water dengan mengambil air dari sungai. “Dari awal harusnya semua paham mengubah rawa menjadi kebun sawit harus hati-hati sekali karena harus menyusun tata air.”
Pembukaan lahan sawit di Tripa sejak 1990, menyebabkan degradasi lingkungan cukup parah. Tak hanya perubahan muka air tanah dan penurunan ketebalan gambut, juga pelepasan karbon diaoksida cukup besar mencapai 96 juta lebih CO2 ekuivalen per tahun atau setara emisi karbon dioksida Jakarta selama dua tahun. Emisi itu, belum termasuk kebakaran lahan yang kerap terjadi di Tripa.
Para peneliti Unsyiah melaporkan saat ini ekosistem hutan gambut Tripa mengalami deforestasi serius. Hingga hutan tersisa hanya 12.455,45 hektar atau 20,53% dari wilayah Tripa 60.657,29 hektar di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya.
Agus Salim, Ketua Tim Peneliti Unsyiah, mengatakan, akibat pembukaan lahan dengan drainase, praktis tak ada lahan gambut tergenang air. Makin lama gambut kering, kemampuan menyerap air makin kecil. “Praktis, saat ini sebagian besar Rawa Tripa sudah kering. Untuk merestorasi kembali kawasan ini seperti semula tak gampang dan memerlukan dana cukup besar.”
Untuk menjaga ekosistem rawa gambut, katanya, tak cukup dengan menutup drainase, perlu revegetasi dengan jenis–jenis tumbuhan sesuai habitat rawa.
Tim menghitung biaya merehabilitasi rawa gambut Tripa mencapai Rp57,590 juta per hektar, lebih mahal enam kali lipat dari biaya pemerintah setiap tahun merehabilitasi kawasan hutan. Untuk menghijaukan kembali 20 ribu hektar gambut Tripa, perlu dana Rp1,12 triliun. “Perlu rehabilitasi rawa gambut pada tempat-tempat tertentu di Tripa terutama di daerah ketebalan gambut lebih tiga meter dan sempadan sungai dan pantai,” ucap Agus.
Tim merekomendasikan, lahan yang diperioritaskan sebagai konservasi di Rawa Tripa, terbagi dua subkawasan. Yaitu, areal konservasi hutan rawa bergambut 8.318,91 hektar dan konservasi sempadan pantai dan kawasan mangrove seluas 5.639,90 hektar. Saat ini, kedua areal ini masih ada hutan hingga bisa berfungsi sebagai konservasi flora dan fauna.
Areal konservasi lain, sempadan sungai seluas 4.549,76 hektar dan sempadan pantai atau laut seluas 748,96 hektar. Pada areal ini bisa menanam tumbuhan dengan pola hutan budidaya campuran (agroforestry).
Sedang lahan yang sudah dikonversi menjadi budidaya pertanian dan perkebunan, kondisi tanah berubah total dalam menyerap air, dari hidrofilik (menarik air) menjadi hidrofobik (menolak air). “Ini akibat pengeringan berlebihan.” Untuk itu, disarankan lahan tetap dipertahankan sebagai budidaya. Hanya, pengelolaan air permukaan dan air tanah harus dibenahi kembali hingga kestabilan tata air tanah terjaga.
Dari kajian biodiversitas, Tripa merupakan ekosistem rawa gambut unik yang kaya tumbuhan dan hewan, namun rentan dan sulit kembali ke bentuk semula jika rusak. Hasil survei menunjukkan, fauna di Tripa saat ini tinggal 91 jenis, 18 bernilai ekonomi dan ekologi dan 14 jenis endemik dan harus dilindungi.
Satwa langka seperti orangutan, harimau, beruang madu, lutung hitam, rusa, trenggiling, burung bangau tongtong, punai, serindit hitam masih ditemukan. Namun, populasi mereka terus menyusut dan dilaporkan jarang terlihat. Keberadaan flora fauna terisolir dan di lokasi terfragmentasi di sepanjang pantai.
Hutan rawa gambut meliputi tumbuhan spesies palem, pandan, Podocarpus dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan di hutan tropis basah, termasuk familia Dipterocarpaceae. Banyak spesies khas hutan rawa gambut.
Menurut dia, penyelamatan habitat flora fauna Tripa, bisa melalui pendekatan konservasi berbasis masyarakat. Pendekatan konservasi habitat dan spesies bisa dilakukan pada lahan yang masih tersisa di habitat terfragmentasi. “Segera benuk kawasan perlindungan satwa untuk menampung flora terutama mamalia dan burung yang masih tersisa. Ada peluang pembentukan koridor satwa di sepanjang panjang hutan Tripa terdiri dari koridor I dan II.”
Tim menyebutkan, penurunan kualitas lingkungan di Tripa berdampak besar pada kehidupan masyarakat lokal terutama ancaman bencana banjir dan erosi tinggi. Masyarakat juga mulai kehilangan mata pencaharian dari alam seperti madu hutan, limbek (lele rawa), dan lokan (kerang). “Kami merekomendasikan agar tak dilakukan pembukaan lahan baru untuk perkebunan di Tripa. Ini mencegah degradasi lahan lebih luas,” kata Agus.